Kado
Adzan Subuh berkumandang, aku segera menghentikan kegiatanku meracik bumbu-bumbu. Aku terbiasa bangun jam empat pagi, kemudian menyiapkan bumbu-bumbu. Aku bermunajat kepada sang pemilik hidup, memohon ampun atas segala kesalahan, dan meminta diberi kesehatan agar bisa melaksanakan aktivitas seperti biasanya.
"Dek, ini belanjaan sudah diantar sama Iwan." suara Bang Jo mengagetkanku yang sedang melipat mukena.
"O ya Bang, sebentar," jawabku sambil mengambil uang dan menyerahkan pada Iwan sebagai ongkos mengantar belanjaan.
Setiap pagi Iwan selalu mengantar barang belanjaan, jadi aku tidak perlu repot-repot ke pasar pagi. Aku sudah punya langganan belanja, tinggal kirim pesan saja malamnya. Nanti siang mereka mampir ke warung sekalian mengambil uang belanja. Sesekali aku pergi ke pasar juga, jika ingin membeli sesuatu.
Bang Jo membantuku menyiapkan masakan, ada beberapa masakan yang ia masak. Masakan Bang Jo memang enak. Untuk masakan tertentu, aku yang memasaknya.
Jam tujuh pagi, Bik Sarni sudah datang untuk menanak nasi dan membantuku memasak. Bik Sarni orangnya sangat cekatan dalam bekerja. Ia janda dengan dua orang anak. Suaminya meninggal karena sakit.
Sebelum berangkat sekolah, Intan selalu datang ke rumah untuk meminta uang saku.
"Assalamualaikum Bu." Kudengar suara Intan mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam Intan! Ayo masuk dulu." Aku menjawab salam Intan.
"Nay belum bangun, Bu?" tanya Intan.
"Belum, tuh masih tidur," sahutku sambil menunjuk ke arah Nayla yang sedang tidur.
"Eh Intan, sudah sarapan?" tanya Bang Jo.
"Belum, Yah!" jawabnya dengan polos.
"Ini bekal untuk Intan dan ini uang jajan dan uang untuk ditabung. Ini sarapan untuk Makwo ya? Tolong diantar dulu ke rumah!" perintahku pada Intan.
"Iya Bu, terima kasih! Ayah, Ibu, Intan berangkat sekolah ya?" kata Intan sambil mencium tangan ayahnya dan tanganku.
"Iya, Nak! Hati-hati ya?" jawabku dengan tersenyum.
Aku sangat bangga dengan perilaku Intan yang sopan dan penurut. 'Semoga kamu besar nanti jadi orang sukses nak' kataku dalam hati.
Tak lama kemudian Dewi datang.
"Yah, minta uang saku," kata Dewi.
"Sudah sarapan, Dewi?" tanyaku.
"Sudah," jawabnya dengan pendek.
"Ini uang jajannya ya?" kataku sambil memberikan uang saku pada Dewi. Dewi hanya mengangguk dan langsung pergi tanpa mengucapkan salam, apalagi ucapan terimakasih. Aku sudah maklum dengan kelakuan Dewi dan aku tidak mau menasehatinya. Karena ia akan marah kalau aku nasehati, kemudian mengadu pada Emak. Akhirnya Emak akan merepet panjang padaku. Ah, beda sekali sifatmu dengan Intan.
Hari ini aku tidak pergi ke kantor, karena Bang Jo ada urusan dan tidak bisa menunggu warung. Kesibukan di warung sudah dimulai. Warti dan Minah sudah datang dan menyiapkan semua perlengkapan warung. Sebenarnya capek buka usaha warung makan, tapi yang namanya bekerja itu memang capek. Kalau semua dilakukan dengan ikhlas dan senang hati, insyaAllah capek pun akan tetap senang. Inilah hidup yang harus aku syukuri.
"Bu, Nayla sudah bangun," kata Warti.
"O ya?" Aku segera masuk ke kamar, Nayla suka menangis kalau dia bangun tidak ada orang disebelahnya.
"Bu, Nay mau susu!" kata Nayla.
"Nay pipis, ibu bikin susu! Ya?" kataku membujuk Nay untuk buang air kecil.
Nayla bergegas bangkit dari tempat tidur dan segera ke kamar mandi.
"Nay sudah pipis Bu! Nay mau nonton televisi ya, Bu?" kata Nayla.
Aku segera menghidupkan televisi dan mencari acara kesukaan Nayla. Nayla menonton film kartun sambil minum susu.
"Ibu ke warung ya? Kalau Nay mau apa-apa panggil Ibu!" kataku pada Nayla.
"Iya Bu!" jawab Nayla.
Aku kembali ke warung, ternyata sudah ada pembeli yang dilayani oleh Warti. Kesibukanku di warung pun dimulai. Biasanya waktu jam makan siang, warung cukup ramai.
***
"Nova, kamu sudah beli kado?" tanya Emak yang datang tiba-tiba. Emak memang suka seperti itu. Datang tiba-tiba tanpa salam, pulang juga tanpa pamit.
"Sudah, Mak!" jawabku sambil membereskan meja.
"Beli berapa?" tanya Emak lagi.
"Beli dua, untuk Intan dan Nayla."
"Kok Sheila nggak dibelikan sekalian?" sahut Emak.
Aku menghentikan kegiatanku dan menatap Emak. Aku berusaha berhati-hati berbicara dengan Emak. Jangan sampai membuatnya tersinggung.
"Mak, Sheila punya orangtua. Ya orang tuanya yang beli! Masa aku juga yang harus membelikan kado."
"Susah ngomong sama orang pelit. Sama keponakan sendiri perhitungan," jawab Emak.
"Mak, kata Emak gaji papanya Sheila banyak. Mella tabungannya juga banyak, kok untuk beli kado saja harus aku yang membelikan? Kado ulang tahun Sheila kemarin kan masih ada, ambil saja satu untuk kado hari ini. Hutang Mella padaku saja belum dibayar, janjinya hari ini! Sampai siang ini belum kelihatan batang hidungnya!" jawabku kesal.
"Ya sudah, sini Emak minta uang untuk beli kado."
"Mak, ini ada uang untuk jatah Emak hari ini. Kalau mau dipakai beli kado, ya silahkan. Tapi Emak jangan minta jatah lagi untuk hari ini," kataku sambil memberikan uang pada Emak.
"Dasar menantu durhaka, sama mertua juga perhitungan. Mudah-mudahan warungmu ini bangkrut, dan kamu jadi miskin!" teriak Emak, sampai beberapa pelanggan melihat ke arah Emak.
"Mak, ada apa?" tanya Bang Jo yang baru datang.
"Istrimu pelit, sama keponakan sendiri perhitungan. Beli kado hanya dua untuk Intan dan Nayla. Untuk Sheila nggak dibelikan!" Emak mengadu pada Bang Jo.
"Sheila kan punya Mama, ya suruh minta sama mamanya. Katanya uangnya Mella banyak, masa beli kado saja sampai menyuruh Emak minta sama Nova," sindir Bang Jo.
"Huh, kamu dan Nova sama saja! Sama-sama pelit. Semoga warungmu bangkrut!"
"Amin Mak, semoga doa emak terkabul. Jadi Emak tidak akan meminta uang sama Nova lagi!" kataku dengan geram.
"Emak, kalau mendoakan itu yang baik-baik! Selama ini siapa yang sering memberi uang sama Emak? Apakah Deni dan Mella? Yang ada justru Deni dan Mella yang selalu minta uang sama Emak! Emak memang benar-benar pilih kasih sama anak sendiri! Kalau susah larinya kesini, kalau sedang senang, lupa sama kami. Bahkan sama cucu sendiri saja pilih kasih. Selalu Sheila yang dibela! Nayla itu juga cucu Emak! Kalau memang Emak benci sama Jo dan Nova, nggak apa-apa! Tapi jangan benci dengan Nayla, cucu Emak sendiri!" teriak Bang Jo, kemudian Bang Jo masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya.
"Apa salah kita ya? Kok Emak sampai tega mendoakan yang jelek untuk kita," keluh Bang Jo.
"Sudah Bang, nggak usah diambil hati omongan Emak. Dari kemarin Emak selalu mendoakan kita seperti itu. Yang penting kita tetap mendoakan yang terbaik untuk Emak," kataku meredakan emosi Bang Jo.
Bang Jo menarik nafas panjang.
"Benar ya Dek, watak Emak memang seperti itu. Harus sabar, kalau Abang marah-marah malah nanti tekanan darah Abang naik," sahut bang Jo.
"Nay...Nayla!" suara Intan memanggil Nayla.
Aku lupa, Nayla belum siap-siap mau ke acara ulang tahun Irsa. Gara-gara Emak kesini tadi jadi lupa semuanya.
"Sebentar Intan, masuk saja!" seruku sambil menyiapkan baju untuk Nayla.
"Nayla belum ganti baju ya?" tanya Intan.
"Iya Intan, Ibu tadi banyak kerjaan jadi sampai lupa!" jawabku dengan berbohong.
"Oh, pasti gara-gara Makwo marah-marah tadi! Dari rumah sudah marah terus Makwo tadi!" kata Intan.
"Marah kenapa?" tanya Bang Jo.
"Sheila ngambek karena belum dibelikan kado sama Tante Mella. Tante Mella sibuk main hp terus," jawab Intan.
Bang Jo melirik padaku. Aku hanya mengangkat bahu saja. Memang seperti itu kerjaan Mella, aktif di medsos. Sering posting-posting foto selfie. Seolah-olah masih gadis remaja padahal sudah punya anak. Maklumlah, baru kenal medsos jadi semua kegiatan di-posting di medsos.
"Nah, sudah selesai! Intan, jaga adiknya ya?" kataku pada Intan.
"Iya Bu!"
"Ayo Ayah antar kalian!" kata Bang Jo.
"Ini kadonya jangan lupa. Nay, jangan nakal ya? Nurut sama Mbak Intan!"
"Oke bos!" kata Nayla sambil cengengesan.
