Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Suami Jahat

Sejak tadi aku merasa Gus Arnaf menatapku dengan penuh selidik. Tapi aku memilih tak menggubris dan sibuk melanjutkan hapalanku yang tinggal lima juz saja.

Mukena maupun Alquran yang kupakai saat ini adalah pemberian Kang Amar tiga hari yang lalu. Sengaja aku langsung mencuci mukena dan gamisnya. Pokoknya akan kupakai terus. Sementara mukena yang katanya hantaran dari Gus Arnaf masih terbungkus palstik dan kusimpan di dalam lemari. Aku malas memakainya.

"Itu kayaknya bukan mukena yang kupilihin deh."

Mataku yang awalnya sedang terpejam karena sibuk menghapal, terbuka.

"Memang bukan, Gus."

"Begitu rupanya. Kenapa gak dipakai?"

"Masih ada yang ini Gus. Ini juga baru beberapa kali kupakai," alibiku.

Ya memang baru sehari ini kupakai untuk beberapa kali waktu sholat. Jadi, aku tak bohonh kan?

Hening. Tak ada pembicaraan lagi. Baik aku dan Gus Arnaf sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi sepertinya Gus Arnaf masih penasaran. Buktinya dia bertanya lagi.

"Dikasih siapa?"

"Beli, Gus. Niatnya mau dipakai sejak dulu tapi belum sempat. Gak tak pakai eman-eman wong sudah dibuka."

"Oooo."

Gus Arnaf tak bertanya lagi. Tapi tatapan matanya terlihat melihat ke kotak kado yang kemarin dibawa oleh Kang Amar. Beruntung kotak itu sengaja kuletakkan di tempat yang mudah dilihat. Alasannya agar tidak timbul fitnah. Aku merasa aku harus melindungi diriku saja. Pasti kabar Kang Amar yang tadi siang mengunjungi Umi dan memberiku kado sudah tersebar luas. Meski antara aku dan Kang Amar tak ada hubungan apapun selain cinta yang terpendam, aku harus menunjukkan aku berbeda dengan Gus Arnaf. Yang sudah jelas-jelas beristri tapi masih suka berhubungan dengan mantan.

Mungkin saking keponya Gus Arnaf, dia melongok isinya. Setelah tahu isinya, terlihat gus Arnaf sibuk kembali dengan laptopnya. Dia juga tak bicara apa pun lagi. Aku hanya tersenyum mengejek ke arahnya.

Beruntung, kemarin aku berinisiatif mengisi kotak itu dengan gamis lain yang entah kado dari siapa. Aku tak tahu. Setidaknya bisa menyamarkan kado dari Kang Amar yang memang ingin kupakai terus demi bisa mengenang akan sosoknya.

Aku tahu ini dosa. Menyimpan kenangan dari mantan tambatan hati, bahkan masih sering memikirkannya. Tapi bagaimana lagi, hatiku masih belum ingin kuberikan pada sosok halalku. Sementara aku yakin, dia pun tak berencana memberikan hatinya padaku. Jadi daripada aku sakit hati, mending aku memagar diriku lebih dulu.

"Bacaannya salah. Gak seperti itu."

Aku sedikit kaget. Kulirik Gus Arnaf dengan tatapan bertanya.

"Bacaanmu salah. Harusnya begini."

Gus Arnaf mengoreksi bacaanku. Aku menghela napas. Sadar kalau tadi terlalu banyak pikiran sehingga tidak fokus hapalan.

"Coba lagi. Yang bener."

Gus Arnaf kembali mengoreksi bacaanku. Mau tak mau aku kembali menghapal. Kalau tadi aku sedikit tak fokus. Kini fokusku lebih baik. Hanya sedikit saja yang diperbaiki oleh Gus Arnaf. Setelah sesi menyimak selama satu jam, Gus Arnaf kembali sibuk dengan laptopnya. Aku sendiri kini sibuk dengan buku-buku persiapan masuk perguruan tinggi.

"Kamu mau ambil apa?"

"Keguruan, Gus."

"Oh. Unnes?"

Aku mengangguk. Setelah itu kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aslinya aku ingin menjadi dokter juga. Makanya aku belajar dengan tekun. Tapi jika aku menjadi dokter, aku takut Gus Arnaf akan berpikir yang tidak-tidak tentangku. Jadi ya sudahlah. Akhirnya aku banting setir masuk ke fakultas keguruan.

Suara ketukan terdengar. Aku berdiri dan segera membuka pintu.

"Iya Mbak Ulya, ada apa?"

Ning Ulya terkekeh setiap aku menyebutnya dengan sebutan 'mbak'. Padahal dia sudah wanti-wanti agar aku memanggilnya dengan nama. Tapi aku segan. Karena secara umur, Ning Ulya lebih tua dariku. Beda dengan Alina. Kami seumuran jadi aku tak terlalu segan padanya. Apalagi kami berteman akrab.

"Dipanggil, Umi."

"Oh nggih, Mbak. Aku tak siap-siap."

Ning Ulya mengangguk. Aku segera menutup pintu. Bergegas membuka mukena, melipatnya. Rambutku akhirnya tergerai. Segera saja aku mengambil sisir, merapikan rambut sebokongku, mengikatnya agar rapi dan segera menggunakan kerudung instan. Setelah itu, aku berbalik. Aku sedikit kaget karena baru menyadari kalau ada Gus Arnaf. Tapi, segera saja kuubah mimik wajahku dan memilih berpamitan.

"Gus saya----"

Aku tak jadi melanjutkan perkataanku. Sebab aku baru sadar, tatapan Gus Arnaf terlihat aneh. Refleks aku melihat penampilanku. Bajuku mungkin terbalik atau kerudungku yang terbalik atau nabrak warna. Tapi tidak ada hal yang aneh dengan penampilanku.

"Ada yang aneh, Gus? Dengan penampilan saya?" tanyaku.

Gus Arnaf terlihat keget. Dia berdehem lalu tanpa mengatakan apapun, malah kembali sibuk dengan laptopnya. Aku melongo, lalu menggelengkan kepala. Dalam hati menertawai diri sendiri.

"Apa sih yang kau pikirkan? Dia kan sukanya gitu, entah apa yang dipikirkan. Bikin orang bingung aja takut salah kostum atau gimana," gumamku saat sudah berada di depan kamar.

Aku pun bergegas menemui Umi Saroh. Rupanya Umi sedang menemui tamu. Aku mengucap salam, menyalami beliau dan juga menyalami dua tamu yang datang. Sedikit kaget tapi beruntung, aku bisa mengkondisikan mimik mukaku.

"Sini Nduk, duduk dekat Umi."

Dengan jalan menggunakan lutut, kudekati ibu mertuaku lalu duduk di lantai, beliau sendiri duduk di sofa single.

"Ini Ning Salma sama Ustazah Fani mau mengurusi perihal khataman anak-anak yang direncanakan tiga bulan lagi. Kamu kira-kira bisa ikut gak ya?"

"Kiran usahakan Umi. Insya Allah."

Umi Saroh tersenyum senang sementara sepintas kulihat ekspresi Ning Salma tampak tidak suka dengan perkembangan hapalanku atau malah kedekatanku dengan Umi.

Aku yakin dia merasa cemburu karena Umi Saroh lebih memilih diriku sebagai istri putra tunggalnya daripada Ning Salma yang sudah jelas nasabnya. Ning Salma berasal dari Purworejo. Dia anak seorang kyai yang pondoknya cukup besar. Kudengar, dia bungsu dari tiga bersaudara. Dia juga cantik, penuh prestasi dan menjadi primadona di sini.

Makanya Gus Arnaf jatuh cinta dan menjadikan Ning Salma pacarnya. Aku tahu keduanya sering ketemuan di luar alias pacaran. Sudah jadi rahasia umum. Kami semua tahu hubungan dekat mereka. Hanya saja aku tak mengerti, kenapa dia yang begitu sempurna malah tidak dipilih oleh Umi Saroh sebagai menantunya. Aku yang justru bukan siapa-siapa malah dipilih.

"Bagus. Saya minta tolong ya Ning Salma. Tolong bimbing Kirana. Njenengan kan yang paling mumpuni di sini. Nitip Kirana. Tolong bimbing dia."

"Nggih, Umi. Salma usahakan."

"Bagus."

Umi dan kedua tamunya ngobrol cukup lama. Aku memilih sebagai pendengar.

Saat Ning Salma dan Ustazah Fani akan pamit kembali ke pondok, Gus Arnaf terlihat berjalan ke arah ruang tengah. Kami semua melirik ke arahnya.

"Ada apa, Naf?"

"Gak papa, Umi. Cuma mau lihat Kirana ada di mana? Aku pingin dibikinin kopi."

Gus Arnaf menatap ke arah kami. Tapi aku sadar fokusnya jelas pada Ning Salma. Ning Salma terlihat senyam-senyum dengan ekspresi malu. Aku hanya menghela napas.

'Dasar katanya anak kyai, dua-duanya gak bisa jaga hati dan pandangan.' Aku kesal sendiri melihat aksi genit keduanya. Tapi aku tak bisa berbuat apapun selain memilih diam.

"Nduk Kiran."

Sedikit kaget aku menatap ke arah Umi. "Nggih Umi."

"Bikinin kopi buat suamimu."

"Nggih, Umi."

Aku segera pamit. Tapi bukannya ke dapur, aku memilih menuju ke kamar dan kembali sibuk dengan hapalanku. Setengah jam kemudian Gus Arnaf kembali ke kamar dengan wajah semringah.

Aku tersenyum mengejek. Sepertinya dia memang terlalu bahagia bertemu dengan pacar tersayangnya sampai lupa alasan kenapa aku bisa meninggalkan ruang tengah.

"Kamu gak bikin kopi?"

Aku menggeleng. "Njenengan kan cuma jadikan saya alat agar bisa ketemu pacar njenengan jadi makanya saya menyingkir."

"Pinter juga kau, bagus. Pertahankan itu."

Aku hanya mengangguk saja. Malas berdebat dengan lelaki yang lagi keblinger bujukan jin Dasim.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel