2. Malam Yang Dingin
Aku masih berdiri diam di depan sebuah kamar. Kamar yang selama aku mondok menjadi tempat yang sering kubersihkan ternyata kini bakalan menjadi kamarku. Namun, melangkahkan kaki ke sana pun aku tak sanggup. Kedua kakiku terasa berat bagai ada lem cap gajah yang menahannya.
"Ngapain berdiri di sana? Masuk!" Suara dingin yang sudah kuhapal terdengar. Aku tak perlu menoleh, karena jelas suara ini pasti suara Gus Arnaf.
Gus Arnaf membuka pintu dan masuk duluan. Dengan hati dan langkah yang sama beratnya aku pun masuk. Tak lupa salam aku ucapkan meski tak ada sahutan dari Gus Arnaf. Padahal dia dengar.
"Tutup pintunya!" Lagi, suara dingin itu yang keluar.
Aku pun segera menutup pintu dengan pelan.
"Kunci!"
Dan aku pun menguncinya sesuai permintaan yang punya kamar.
"Duduk!" Gus Arnaf memintaku duduk, aku melihat sekeliling, hanya ada sofa panjang yang sangat nyaman dan ranjang, serta kursi belajar. Aku memilih duduk di kursi belajar karena sofa sudah diduduki Gus Arnaf. Ranjang kubiarkan saja dengan bunga-bunga berbentuk hati masih tertata rapi, belum tersentuh.
"Dengar ya Kirana, aku menikahimu hanya demi ibuku. Suatu hari nanti, aku ingin kita bercerai. Aku mencintai Salma dan akan menjadikan dia istriku, ngerti?"
"Nggih, Gus."
"Sampai saatnya tiba, kamu harus berperan seolah-olah pernikahan kita baik-baik saja. Ngerti?"
"Ngerti, Gus."
"Aku akan mencari cara agar kita bisa bercerai, tanpa drama, tanpa apapun. Ngerti?"
"Ngerti, Gus."
"Bagus. Pokoknya jangan sampai Umi tahu pernikahan kita tidak baik-baik saja. Dan jangan sampai Umi tahu masalahku dan Salma. Aku gak mau Umi berpikiran buruk tentang dia. Dia baik saja, tidak Umi setujui gimana kamu ngata-ngatain Salma?"
Aku hanya diam. Sungguh picik sekali pemikiran lelaki yang kini bergelar suamiku. Dia maunya tambatan hati tampak harum mewangi sementara aku? Sejak berita perjodohan kami, banyak sekali gunjingan, ucapan sinis bahkan perlakuan tak baik yang kudapatkan dari para santriwati dan para ustazah. Tapi aku diam dan tak bicara apa pun. Untuk apa? Aku hanyalah gadis yang baru lulus MA, sementara Ning Salma seorang ning dari Purworejo. Sudah lulus kuliah setahun yang lalu. Cantik, pintar dan menyenangkan. Berbeda sekali denganku yang dari segi apa pun jelas kalah.
"Pokoknya akan aku cari cara, agar kita berpisah secara baik-baik. Tanpa menyakiti pihak mana pun. Kamu ngerti, kan?"
"Nggih."
"Satu lagi. Aku tidur di sofa, kamu di ranjang. Dan jangan meminta nafkah batin dariku dan ...."
Gus Arnaf menaruh sebuah ATM di atas meja dekat sofa panjang.
"Untukmu. Meski aku gak bisa memberikan nafkah batin, tapi aku tidak akan melepas tanggungjawabku. Kamu mau sekolah lagi, gak masalah. Malah kalau bisa sejauh mungkin dari sini. Agar kita bisa menjadikan LDR sebagai alasan bercerai dan aku akan menikahi Salma."
Aku hanya diam. Tak mengatakan apa pun. Bahkan ketika Gus Arnaf menyebutkan peraruran-peraturan seperti :
1. Tidak boleh saling menyentuh
2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing
3. Harus bersikap layaknya pasangan di depan Umi
Dan entah peraturan apalagi yang dia ucapkan, aku tak peduli. Karena begitu tahu kalau aku akan menikah dengannya, aku tahu bersamaan dengan itu duniaku pasti hancur.
"Ngerti, kan? Apa yang harus kamu lakukan?"
Aku hanya mengangguk. Tak ingin mengatakan apa pun.
"Bagus. Aku mau tidur."
Dan tanpa perasaan Gus Arnaf mematikan lampu kamarnya, dia bahkan tak memberikan cahaya sedikit pun agar aku bisa mencapai ranjang. Luar biasa sekali suamiku ini. Padahal aku perlu ke kamar mandi untuk gosok gigi dan membersihkan diri. Ya Allah, hamba benar-benar pasrah.
Akhirnya dengan minimnya cahaya, aku berusaha berjalan menuju ke ranjang.
Duk!
"Aduh!" Aku memekik cukup keras. Segera saja kututup mulutku agar tidak kena omel. Tapi tetap saja kena.
"Matamu ke mana? Pakai ponsel atau apa kek! Sebelah nakas ada lampu tidur. Bisa kamu gunakan itu!" hardik Gus Arnaf dengan suara yang mendesis pelan namun menusuk.
Aku hanya diam. Sambil menahan rasa sakit, aku meraba-raba nakas, menyalakan lampu tidur. Sedikit penerangan sangat membantuku berada di kamar. Aku menatap ke arah Gus Arnaf yang kini berbaring dengan memunggungiku. Aku mengucap istighfar. Belum satu hari aku menjadi istrinya. Tapi dia sudah berlaku kasar dan semena-mena padaku. Entahlah, aku bisa sabar atau tidak aku tak tahu.
Malas berurusan dengan si Dokter Galak, aku memilih menuju koperku, mencari daster panjang dan kerudung instan serta pounch yang berisi peralatan kosmetikku. Lalu begitu sudah menemukan apa yang kucari, segera saja kamar mandi menjadi tujuan.
Malam ini, kami lewatkan acara malam pertama kami dalam keheningan. Pagi harinya, saat baru keluar dari kamar, Umi Saroh menyambut kami dengan senyum lebarnya. Aku segera menyalami setelah Gus Arnaf.
"Tidurnya nyenyak?"
Aku hanya mengangguk saja. Umi Saroh kembali tersenyum lalu mengajak kami ke ruang tengah. Beliau menyuruhku duduk di samping Gus Arnaf. Karena tadi malam, tulang kering sebelah kanannku terantuk sudut ranjang cukup keras hingga terjadi memar, maka jalanku jadi tidak seperti biasanya. Cara jalan yang malah menimbulkan ledekan dari Alina.
"Cieee, yang habis ngamalin si Qurotun, ahay!"
"Apaan sih, Dek! Diem gak?!" bentak Gus Arnaf. Wajahnya merona merah tanda marah.
"Cieee yang pipinya merona, pasti malu ya, cie cie cie, kayaknya bakalan cepet dapat ponakan ini, hihihi."
Alina terus saja menggoda kami. Gus Arnaf sesekali menghardik sang adik. Umi dan Ning Ulya hanya terkekeh melihat perdebatan putra sulung dan anak bungsu.
"Sudah, jangan ribut. Kamu ya, Lin, suka banget godain kakakmu, dan kamu Naf, masa kamu masih saja suka tersulut emosi kalau ngadepin Alina," tegur Umi Saroh kepada putra sulung dan putri bungsunya.
"Hihihi, iya ya Umi. Mas mah emosian mulu heran kenapa jadi dokter? Kayaknya mana ada pasien yang mau diperiksa sama dia. Lihat tuh muka galak dan dinginya, hiiii. Gak punya pasien kamu, Mas."
"Diem gak, Lin! Kalau gak, jatah jajanmu aku potong."
"Monggo, gak takut kan ada Umi weeee!"
Alina seperti biasa tak pernah takut pada kakak sulungnya yang galak. Ning Ulya sendiri lebih banyak diam karena dia memang orangnya pendiam dan kalem.
"Wes to, jangan gelut wae ayok makan. Kirana, jangan lupa ambilin buat umi ya Nduk, setelah kamu ngambilin buat Arnaf. Umi pengen disayang sama mantu," ucap Umi dengan binar bahagia.
Aku tak perlu disuruh dua kali dan segera melaksanakan apa yang Umi perintahkan.
"Segini, Gus?" tanyaku pada Gus Arnaf saat mengambilkan nasi.
"Cukup."
"Mau lauk apa?"
"Sop, ayam goreng sama sambal."
Aku segera menuangkan apa yang dia inginkan lalu menyerahkan pada Gus Arnaf.
"Makasih," ucapnya lembut sambil mengulas senyum manis.
Aku terhenyak, sempat terpesona karena ternyata lelaki dingin seperti dia bisa tersenyum. Namun aku kembali ingat, poin-poin yang tadi malam dia utarakan. Ah, rupanya hanya sandiwara.
Berkat pemahaman ini, aku jadi tidak baper dan memilih segera mengambilkan makan untuk Umi lalu diriku sendiri. Akhirnya kami pun makan dengan tenang.
Selesai makan, Umi mengajak kami bercerita hingga ada satu kalimatnya yang membuat aku begidik ngeri sementara Gus Arnaf sampai tersedak minuman kopinya.
"Umi harap, kalian gak nunda momongan. Umi pengen cepet punya cucu!"
"Uhuk. Uhuk. Uhuk."
Ucapan Umi benar-benar membuatku takut sementara Gus Arnaf kini sibuk mengatasi batuknya.
