Bab 6 Hinaan Keluargaku
“M-Mas … marah, ya?” tanyaku takut-takut.
“Kenapa mesti marah? Toh, kamu pakai dana itu untuk hal yang sangat penting. Nggak apa-apa, pakai aja uang cadangan kita, toh kita bisa mengumpulkannya lagi. Yang terpenting sekarang, Bapak sembuh dan sehat.”
“Kamu nggak marah, Mas? Beneran?” tanyaku lagi, memastikan jika apa yang telingaku dengar nggak salah.
“Iya, nggak apa-apa, kok. Sangat tidak apa-apa, malah aku bersyukur uang cadangan kita kamu gunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat.”
“Mas, boleh aku tanya sesuatu?”
Terdiam sejenak, kepalaku berusaha menata kalimat yang tak membuat Mas Dendi tersinggung atau terintimidasi.
“Kok malah diam. Katanya tadi mau tanya? Tanyalah, nggak perlu banyak berpikir, Maya.”
“Mas berapa lama, sih kerja di Naga Mas Abadi?” tanyaku untuk memancing.
“Sekitar tiga tahun. Kenapa?”
“Tadi tuh aku ke kantor Mas Dendi. Terus kutanya tapi nggak ada yang tahu nama kamu. Aku kan jadi bingung, sebenarnya Mas kerja di perusahaan itu apa enggak?”
Mas Dendi sedikit terkejut dengan pertanyaan dan intonasi bicaraku.
“Mas, kenapa diam? Apa jangan-jangan Mas nggak kerja di perusahaan itu?” ujarku penuh kecurigaan.
“Astaghfirullah, Sayang. Kenapa kamu bisa ngomong begitu? Mas kerja di sana, demi Allah.
***
Keesokan paginya, aku terkejut saat bangun tidur sarapan telah tersedia di meja makan, rumah sudah bersih dan wangi.
“Mas.”
“Eh, udah bangun, Sayang?” senyumnya mengalahkan indahnya matahari pagi.
Aku mengangguk. “Kamu bangun jam berapa Mas? Sarapan, rumah … itu semua Mas yang kerjakan?”
“Emangnya kita punya pembantu, Sayang? Iyalah, suamimu ini yang kerjakan,” jelas suamiku tersenyum lebar. “Maya, kamu mandi duluan gih, nanti baru aku. Terus kita pergi.”
“Pergi ke mana, Mas?” tanyaku penasaran.
“Ya tentu saja menjenguk bapak, ke mana lagi memang?”
Aku terkejut bukan kepalang. Bukan rasa bahagia yang kurasa, tapi kekhawatiran karena aku tahu betul keluargaku sangat tak menyukai Mas Dendi.
“Mmm, aku aja yang ke rumah sakit, Mas. Kamu kerja aja, nggak apa-apa kok, kedua orang tuaku pasti mengerti,” kilahku.
“May, aku ini suamimu … kepala rumah tangga. Apa jadinya kalau aku tidak datang saat mertuanya sedang sakit? Menantu durhaka itu namanya.”
“Tapi, Mas-”
“Nggak ada tapi! Ini perintah!”
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi jika suara Mas Dendi sudah meninggi. Aku hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja.
“Nanti beli buah untuk bapak dan ibu juga Gita, ya. Nih uangnya.” Lima lembar seratus ribuan diberikan Mas Dendi padaku.
“Banyak banget, Mas!!! I-ini ….” mataku melotot saat menerima uang pemberiannya.
“Ini sedikit, Sayang. Nanti belikan apa yang mereka butuhkan, ya. Yuk, ah. Kita ke rumah sakit biar nggak kesiangan ngantor.”
Kulihat punggung suamiku sambil berlinang air mata. Inikah menantu yang Ibu anggap tak berguna dan hina?
“Sayang, ayo cepetan.”
“I-iya, Mas.” Kuusap air mataku dan menghampiri suamiku.
Saat tiba di rumah sakit, perasaanku mulai tak karuan. Rasa cemas dan gelisah menggelayut di relung batinku. Aku berpikir apa yang akan terjadi nanti, sepanjang jalan terus menerawang layaknya paranormal.
“Ayo, dong, Sayang. Kamu ngapain masih berdiri di sana.” Mas Dendi mengulurkan tangannya padaku dan menarikku.
“Kita pulang aja, yuk, Mas. Nanti aja tengok Bapak kalau udah di rumah,” pintaku memelas.
“Nengokin orang sakit itu ibadah, apalagi ini orang tuamu dan mertuaku. Pahalanya besar, Sayang.” Seolah tak memedulikan ucapanku, langkah Mas Dendi sangat mantap untuk menemui kedua orang tuaku.
Ya Allah … semoga tak ada apa-apa nantinya.
“Assalamualaikum.” Salam kami berdua pada ibuku yang duduk di samping bapak.
“Ibu, bagaimana kabarnya?” Mas Dendi menghampiri ibu hendak mencium tangan, tapi baru di ujung jemarinya, ibuku langsung menarik tangannya.
“Maya, kamu bawa makanan untuk Ibu nggak? Ibu lapar, dari semalam belum makan!” ketus ibuku melirik ke arah suamiku.
Astaghfirullah, Ibu! Bikin malu aja, batinku.
“Maya tadi belikan buah dan nasi Padang buat Ibu-”
“Terus adikmu, Gita? Apa kamu udah beliin dia makan juga? Kasihan dia kalau kuliah sampai nggak sarapan!” nada ketus ibuku membuatku ingin mengamuk!
“Nanti selepas dari rumah sakit, kami akan ke rumah, Bu dan mengantarkan makanan untuk Gita,” tutur Mas Dendi dengan lembut.
“Bagus deh kalau kamu bisa mikir Dendi!”
“Bu, tolonglah, ini rumah sakit. Tolong jangan buat keributan,” pintaku tak enak dengan pasien lain yang sedang istirahat di ruang UGD.
“Kenapa? Biar dia tahu kalau dia itu emang menantu nggak ada gunanya! Kerja di perusahaan tambang, tapi beli motor buat kamu aja nggak bisa! Kemanain itu gajinya?! Jangan-jangan untuk mantan istrinya!”
“Bu, cukup! Tolong!” Aku hampir memekik di ruang UGD jika tak ingat ada banyak orang yang sakit.
“Dendi!”
Aku buru-buru menghapus air mataku saat seorang dokter yang bertugas di UGD menyapa Mas Dendi.
“Eh, i-iya, halo.”
Kulihat Mas Dendi agak kikuk menjawab sapaan Dokter muda tampan depan kami.
“Ish, kaku banget, sih. Apa kabar? Kapan balik dari Ame-”
“Dokter, boleh minta tolong memeriksa keadaan pasien?” Mas Dendi menunjuk bapak yang masih belum siuman. Dokter yang ada di depan kami juga kikuk hingga tersenyum pasi.
“O-o, iya, baiklah.”
Ibuku yang melihat kejadian barusan melihat dengan lirikan tajam dan menyipit. Hingga saat dokter telah selesai memeriksa, ia mengatakan jika nanti bapak akan dipindah ke ruang perawatan dan kami lebih dulu mengurus administrasinya.
“Kami sudah mengurusnya, Dok semalam. Jadi sekarang hanya tinggal menunggu kamar,” ucapku.
“Oh, baiklah kalau begitu. Saya tinggal dulu, ya. Dendi, nomor kamu masih yang lama, kan?” tanya Dokter itu lagi sebelum pergi.
Dokter ini temannya Mas Dendi?
Namun suamiku hanya mengangguk dan memberikan senyum penuh arti.
“Siapa Mas? Kenalan Mas?”
“Oh, dia-”
“Hah, mana mungkin suami kamu punya kenalan dokter! Lihat aja pakaiannya! Lusuh nggak terawat, kalaupun dia punya kenalan dokter, paling karena pernah sakit di sini! Ga usah ngimpi deh!”
“Iya, Bu. Dokter tadi adalah dokter yang merawat saya waktu saya sakit di rumah sakit ini,” papar Mas Dendi lembut.
“Tuh, kan! Ibu bilang juga apa, mana mungkin suami kamu punya kenalan dokter! Liat-liat juga kali kalau mereka mau temenan!”
Astaghfirullah, apa yang sebenarnya terjadi dengan ibuku, ya Allah? Kenapa setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu merendahkan suamiku, salah apa suamiku, ya Allah ….
“Mas, kita pergi, yuk. Udah telat.” Kukalungkan tanganku di lengan suamiku. Tak tahan lagi telingaku mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ibuku sendiri.
“Iya, Sayang. Mas juga udah telat ini.” Balasnya kemudian kami hendak mencium tangan ibuku, tapi lagi-lagi ia menarik paksa tangannya yang hendak dicium suamiku.
“Mampir ke rumah dulu sebelum ke kantor, Maya! Ingat adikmu, dia juga butuh makan! Jangan cuma ngurusin suami nggak bergunamu itu!”
“Mas, kita pergi.” Tanpa kupedulikan kata-kata ibuku, kami meninggalkan ruang UGD dan kulihat dokter yang menyapa suamiku memperhatikan kami dengan saksama.
“Kamu nangis, Maya?” tanya suamiku mendengar Isak tangis saat hendak ke parkiran motor.
“Maafkan ibuku yang selalu menghinamu, Mas. Maafkan dia yang belum bisa menerimamu sebagai suamiku.”
Mas Dendi menarik tanganku dan memeluk tubuhku erat. Dicarinya tempat yang agak jauh dari keramaian sambil mengusap lembut kepalaku.
“Sudah, Sayang. Kan Mas udah bilang, nggak apa-apa Mas dihina, direndahkan, dicibir. Emangnya kamu mau Mas melawan mereka, apalagi yang mencibir ibumu. Anggap saja itu sebagai cambukan untuk Mas agar lebih giat lagi bekerja, ya.” Kecupan lembut di rambutku sejenak melupakan Kemarahan yang membakar hatiku, rasanya sangat nyaman dan tenang.
“Tapi mau sampai kapan Mas akan direndahkan seperti ini oleh keluargaku? Aku tak terima, Mas! Meski aku putri mereka, tapi kini aku istrimu! Aku tanggung jawabmu! Mereka tidak lagi berhak atas diriku! Kapan kita akan membalas hinaan kedua orang tuaku tentangmu, Mas?”
