BAB 8: New Hope
“Maaf, aku hanya ingin memberikan bantal dan selimut ini kepadamu,” ucap Leona ketika suasana semakin terasa tegang. Lebih menegangkan dibanding film horor yang pernah ditontonnya bersama dengan Mark dulu.
Dia menarik napas panjang sebelum mundur sedikit ke belakang. Entah kenapa jantungnya menjadi terusik ketika melihat wajah West dari jarak dekat. Apalagi mereka sempat berbagi pandang beberapa saat. Untuk pertama kali dalam sepuluh tahun, Leona merasa debaran tak biasa di dalam diri.
Ini hanya karena terbawa suasana saja. Jangan berpikir aneh-aneh, Leona, gumamnya dalam hati.
“Selimutnya hanya satu, Leona.” West mengubah posisi menjadi duduk, lantas menyerahkan lagi selimut kepada Leona.
Wanita itu menggeleng. “Buatmu saja. Lemakku masih cukup untuk menghangatkan tubuh,” sahutnya setengah bercanda.
West tergelak mendengar perkataan Leona barusan. “Di sini dingin ketika malam hari. Kau yakin lemakmu itu bisa menghangatkan?”
Leona menggangguk cepat, lantas berdiri.
Dengan cekatan West menahan tangannya dan menyerahkan lagi selimut tersebut. “Aku yakin kau akan menggigil tiga jam lagi, jika tidak mengenakannya.”
“Bagaimana denganmu? Apa kau tidak kedinginan?” protes Leona melebarkan mata.
“Aku bisa menggunakan jaket dan menyalakan perapian,” balas pria itu menaikkan sebelah alis.
“Tetap saja di luar dingin, West.” Leona menyodorkan lagi selimut yang diberikan pria berambut cokelat tersebut.
West menarik napas panjang. “Kalau begitu kita sama-sama tidak mengenakan selimut.”
“West?” Wanita bertubuh gempal itu memberi tatapan memohon. Dia tidak tega melihat West kedinginan di luar.
“Aku juga tidak bisa membiarkanmu kedinginan, Leona. Kau belum tahu bagaimana dinginnya di sini ketika pagi menjelang.”
Leona terdiam sambil menggigit bibir bawah. Pandangannya terangkat melihat plafon yang didominasi oleh kayu.
“Bagaimana kalau kau tidur denganku di dalam?” Wanita itu menggelengkan kepala cepat. “Jangan berpikiran negatif. Maksudku malam ini kita berbagi selimut dulu. Besok kita ke kota mencari selimut.”
West tergelak lagi mendengar usulan Leona. “Kota terlalu jauh, Leona. Supermarket di sini tidak menjual perlengkapan tidur. Mereka hanya menjual barang harian.”
Wanita itu melongo mendengar perkataan West. “Apa kau mau tidur tanpa selimut?”
“Setidaknya sampai Cassie dan Shaun datang ke sini lagi.”
“Kalau begitu minta mereka datang mengantarkan selimut besok,” saran Leona.
West melipat tangan di depan dada dengan pandangan melihat Leona. “Dengarkan aku baik-baik Nyonya Sinclair. Ko—”
“Panggil aku Leona. Jangan pernah sematkan nama itu lagi!” sela Leona keberatan.
“I am sorry. Maksudku Nona Parker.” Pria itu menempelkan kedua tangan di depan kening. “Jarak dari sini ke kota empat jam perjalanan. Aku tidak bisa meminta mereka datang ke sini, karena kasihan Shaun harus mengemudi lagi hanya untuk mengantarkan selimut.”
Bahu Leona turun ke bawah ketika tidak bisa lagi berargumen. Dia kalah, tapi tidak bisa juga membiarkan West kedinginan di luar.
“Sekarang kau tidur saja di dalam dan bawa selimut ini,” suruh West mengerling ke kamar.
“Tapi—”
“Apa kau mau kita tidur berdua di kasur yang sama?” cicit West sebelum wanita itu berkata lagi.
Leona terdiam sebentar. Dia kembali memutar otak agar bisa mencari solusi yang tepat. Buntu! Tidak ada ide cemerlang yang diproduksi oleh pikirannya yang lelah.
“Sebaiknya begitu dulu,” desisnya pelan.
“Kau yakin?”
Kepala yang dihiasi rambut lurus berwarna hitam tersebut mengangguk pelan.
“Bagaimana jika nanti aku—”
“Kau tidak akan macam-macam denganku,” potong Leona penuh keyakinan.
West tertawa melihat wajah Leona yang menurutnya lucu ketika mengatakan kalimat tadi.
“Tidak ada yang tertarik dengan wanita gendut sepertiku, West.” Leona nyengir memperlihatkan gigi putihnya.
Pria itu hanya geleng-geleng kepala mendengar apa yang diucapkan oleh Leona.
“Ayo tidur, aku sudah mengantuk,” ajak wanita tersebut melangkah memasuki kamar.
Leona tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau, ia harus berbagi kamar dan selimut dengan West. Bagaimana bisa ia tega membiarkan pria itu tidur di luar sendirian dan kedinginan?! Lagi pula rumah ini adalah milik West.
Begitu mencapai tempat tidur, Leona menunjuk ke sisi kanan kasur. “Aku tidur di sana. Kau tidur di sisi kiri.”
“Selimutnya besar, jadi masih bisa digunakan jika tidur berjarak,” sambungnya lagi.
West mengangguk singkat sambil meregangkan tubuh. Otot-ototnya terasa pegal setelah perjalanan panjang tadi siang.
Tak lama kemudian mereka mengambil posisi masing-masing, seperti yang telah ditentukan oleh Leona. Suasana hening dalam canggung kembali menyelusup di antara keduanya.
Leona memilih menghadap ke dinding, sementara West telentang melihat plafon.
“West,” panggil Leona tanpa menoleh ke belakang.
“Hmmm….”
“Apa kau yakin berat badanku bisa turun dalam waktu singkat?” Leona kembali gamang memikirkan tenggat waktu yang diberikan West.
“Tentu saja. Kau memiliki niat yang kuat sekarang,” sahut West memejamkan mata.
Leona mengangguk pelan. “Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”
Dia memutar balik tubuh, sehingga kasur itu bergoyang. Leona tersenyum lembut kepada pria yang ada di depannya sekarang.
“Aku akan membuatmu bangga, West,” janji Leona tanpa ragu.
Dukungan penuh dari pria yang baru saja dikenal beberapa hari yang lalu, membuat harapan baru tumbuh dalam dirinya. Dia berjanji kepada diri sendiri akan berusaha semaksimal mungkin, agar bisa terlahir kembali menjadi sosok yang baru.
***
Napas mulai keluar memburu dari sela hidung dan mulut Leona bersamaan. Baru berjalan sebentar, ia sudah kewalahan. Ingin rasanya berputar arah dan kembali lagi ke rumah kayu yang baru saja ditinggalkan tiga puluh menit yang lalu.
“Masih jauh, West?” gumamnya sembari menyeka keringat yang bercucuran di kening.
Lelaki berambut cokelat itu mengangguk. “Belum setengahnya.”
Langkah Leona langsung berhenti. “Apa maksudmu bukit yang ada di sana?” katanya menunjuk bukit yang masih jauh dari tempat mereka berada.
West kembali mengangguk. “Aku sudah bilang, jaraknya lima kilometer.”
Mata Leona melebar tanpa berkedip. “Kau jangan bercanda, West.”
“Aku sedang tidak bercanda, Leona.” Pria itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang dikenakan. “Kita akan rutin melakukan ini pagi-pagi setelah sarapan.”
Tubuh gempal itu lemas seketika. Tilikan netra abu-abu Leona berpindah ke arah bukit yang ada empat kilometer dari tempat mereka berdiri.
“Kenapa harus ke sana?” keluhnya lesu seperti orang yang baru putus harapan.
“Agar berat badanmu turun dengan cepat.” West mendesah pelan lantas menunjuk ke arah kepala turun ke kaki Leona. “Lihatlah berapa banyak kalori yang selama ini mengendap dalam tubuhmu, sehingga menjadi lemak seperti ini.”
“Dengan banyak bergerak, seluruh lemak yang ada dalam tubuhmu itu akan luruh,” lanjutnya lagi.
“Tapi West, aku—”
“Kita sudah sepakat sebelumnya, Leona.” Pria itu melipat kedua tangan di depan dada dan mematut Leona lekat. “Tadi malam kau bersemangat, kenapa sekarang jadi seperti ini?”
Wanita bertubuh besar itu hanya diam sambil mengangkat bahu. “Aku hanya khawatir jika pingsan di jalan atau terjadi sesuatu denganku. Kau pasti akan repot.”
West menghela napas singkat, lantas menarik tangan wanita itu. “Berhenti mengeluh dan berpikiran yang tidak-tidak. Itu akan menghambat keinginanmu untuk balas dendam. Sekarang fokus dengan tujuanmu.”
Leona bergeming membuat laki-laki itu tidak bisa menarik tangannya. Dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ikut ke mana West akan membawanya.
Dua jam kemudian, mereka akhirnya tiba di bukit tersebut. Leona memandang takjub hamparan pepohonan dan aliran sungai kecil yang mengalir dari atas menuju bawah bukit. Lelah yang terasa di sepanjang perjalanan sirna sudah.
“Bagaimana menurutmu?” desis West sedikit mengeraskan suara agar bisa mengalahkan suara aliran sungai.
“Amazing!” Wanita itu berjalan ke bibir sungai, lalu duduk di atas batu besar. “Aku tidak pernah menyangka akan pergi ke tempat seperti ini.”
Kening West berkerut sebentar. “Apa ini pertama kalinya kau ke bukit yang ada aliran sungai?”
Kepala Leona bergerak ke atas dan bawah, sebelum menoleh kepada West dengan semringah. “Ternyata dunia sangat luas.”
“Ini belum seberapa, Leona. Setelah misi kita selesai, aku akan membawamu ke tempat yang lebih indah dari ini.”
“Ke mana?”
West mengambil tempat duduk tepat di samping Leona. “Mount Everest.”
Bibir mungil yang terisi penuh itu terbuka, perlahan mengeluarkan suara tawa. Tangan Leona naik menepuk lengan berotot West.
“Kau jangan bercanda, West. Itu jauh sekali.”
“Tidak a—” Kalimat yang akan dilontarkan West harus berhenti saat ponselnya berdering di tengah suara aliran sungai.
“Apa di sini ada sinyal?” tanya Leona kebingungan, mengingat mereka berdua ada di area perbukitan.
“Terkadang ada. Sebentar,” jawab West mengeluarkan ponsel dari saku.
Mata biru West bergerak melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ternyata sebuah panggilan masuk dari Shaun.
“Ya, Shaun. Ada apa?”
“Bos. Aku baru saja mendapat kabar. Kalau su … ajukan … rai,” sahut Shaun terdengar jelas di awal namun putus-putus di akhir.
“Kalau apa, Shaun? Suaramu tidak jelas. Terputus,” ujar West.
Dia menyalakan loudspeaker, lantas mengulurkan tangan yang memegang ponsel ke atas.
“Mi … adil …rat,” ulang Shaun masih terputus.
Rupanya jaringan yang tidak terlalu bagus membuat komunikasi tidak berjalan lancar.
“Shaun. Coba kirimkan pesan sa—”
Tuuut!
Lagi-lagi kalimat yang akan diucapkan West berhenti saat panggilan terputus.
“Shaun?” tebak Leona.
West mengangguk singkat seraya mengetikkan pesan kepada Shaun.
“Aku jadi tidak enak kepadamu, West.” Leona menatap nanar aliran sungai yang tampak begitu jernih. “Kau meninggalkan pekerjaan demi membantuku di sini.”
Pria berahang tegas itu menoleh kepada Leona. Senyum tipis tergambar di parasnya.
“Jangan berkata begitu. Aku hanya ingin melakukan perintah malaikat.”
Leona tetawa mendengar kata malaikat yang diucapkan pria itu. “Apakah benar malaikat yang menyuruhmu?”
“Kau tidak percaya?”
“Siapa yang percaya, West? Jangan konyol.”
Bunyi pesan masuk menyela pembicaraan mereka. Itu pasti pesan dari Shaun.
West langsung membuka layar ponsel dan membaca pesan yang baru saja diterima. Embusan napas keras keluar dari sela bibirnya.
Mata abu-abu Leona mengecil ketika melihat perubahan wajah West. “Kenapa? Apa ada masalah?”
Pria itu memperlihatkan tampilan layar ponsel kepada Leona. “Aku tidak menyangka dia akan mengajukan berkas perceraian secepat ini.”
Udara mendadak lenyap di sekitar Leona berada, sehingga napasnya terasa sesak. Tubuhnya bergetar hebat membaca pesan yang baru saja dikirimkan oleh Shaun. Ditambah lagi dengan foto formulir yang dibubuhi tanda tangan Mark.
Shaun: Mark sudah mendaftarkan perceraian kemarin. Dia menggugat Leona atas tuduhan perselingkuhan. Fotomu dan Leona juga dijadikan sebagai bukti.
Bersambung....
