1. Luka Baru (Prolog)
Banyak orang yang bilang kalau rumah adalah tempat pulang paling nyaman setelah lelahnya perjalanan panjang tapi nyatanya semua hanyalah omong kosong. Rumah yang kata orang adalah tempat pulang paling nyaman tapi tidak untuk Bulan, ada banyak kerinduan yang tertanam tapi hanya bisa dipendam dalam hati sendirian tanpa pendengar, tanpa penenang.
Melewati luka demi luka yang selalu menjadi bayangan setiap perempuan itu melangkah maju demi menyembuhkan lukanya sendiri juga mencari penawar yang mampu menyembuhkan lukanya dengan tulus.
Kisah hidupnya pelik, terlalu rumit hingga pada akhirnya ia tenggelam dalam kebingungan antara ingin menyerah atau bertahan.
Terlihat perempuan cantik berjalan sendirian dengan wajah tertunduk dengan telapak tangan yang saling bertautan satu sama lain. Banyak pasang mata yang melihat ke arahnya membuat perempuan itu berjalan tidak nyaman dan langkahnya dipercepat untuk menuju kelas.
Bulan Aurora, perempuan cantik yang memiliki sejuta luka, rindu, dan harapan pada hidupnya yang kelam dan menyedihkan.
Perempuan cantik yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata manusia lain membuat semua orang yang melihat menatap iri tapi kehidupan yang dijalani tidak secantik wajahnya, bahkan dirinya iri melihat manusia lain yang memiliki kehidupan sempurna bersama orang yang disayang.
Miris
Hidupnya selalu diwarnai dengan kesedihan tidak ada kebahagiaan di dalamnya, dirinya sendiri pun bingung mengapa harus ia yang mengalami kehidupan sulit seperti ini padahal ia sudah melakukan yang terbaik pada dunia tapi semesta selalu mudah mempermainkan hatinya yang sudah sangat lelah.
“Woy.”
“Astaga,” kaget Bulan
“Makanya jangan melamun pagi-pagi, ngelamunin apa sih? Gua ya? Ahh jadi malu deh,” ujar Velvet dengan pedenya
“Kegeeran banget mau dilamunin huhh,” dengus Bulan
“Yaiyalah Bulan secara gua tuh kan cantik dan mempesona jadi harus, kudu, wajib, mesti dilamunin hahah,” tawa Velvet menggelegar
“Iya-iya terserah lu aja deh.”
“Ada luka baru lagi ditangan lu Bul?” tanya Velvet yang tidak sengaja melihat kearah lengan
“Ahh enggak kok Vel ini masih yang kemarin,” bohong Bulan
“Sayangnya lu gak pandai bohong di depan gua.”
“Gak baik tahu nuduh orang gitu.”
“Gak nuduh tapi memang faktanya begitu.”
“Tugas dari Bu Layla sudah dikerjakan belum Vel?” tanya Bulan mengalihkan topik
“Bisa-bisanya mengalihkan topik ya lu Bul,” ujarnya sinis
“Gua serius Vel hari ini kan dikumpulkan.”
“Belum sih heheh,” kekeh Velvet menggaruk tekuknya yang tidak gatal
“Sana kerjakan dulu nanti lu dihukum sama Bu Layla,” perintah Bulan
“Yaelah slow aja lagi kayak di pantai Bu Alay kan sudah cs sama gua Bul,” ujar Velvet santai
“Dih sok banget lu Vel nanti dihukum nangis terus ngadu.”
“Ih gua mah bukan tukang ngadu ya enak aja main tuduh kayak gitu.”
“Halach kemarin gua lihat ya lu ngadu sama ayank bebeb di taman belakang.”
“Heh jadi lu suka ngintipin orang Bul, wah kriminal namanya nih.”
“Heh gua gak sengaja ya lihat lu ada di taman belakang pakai acara nangis lagi tapi gak keluar air matanya kan kocak.”
“Heh jangan buka kartu gua kayak gitu dong, rese banget sih lu Bul.”
“Hahah mukanya kayak kepiting rebus.”
“Kurang ajar lu Bul gua sleding nanti kicep lu.”
“Haha lucu juga lihat lu kayak gitu Vel.”
Bulan tertawa dengan sumringah seperti beban yang selama ini ada di pundaknya hilang seketika, Velvet yang melihat itupun ikut tertawa karena wajah bahagia Bulan yang sangat cantik saat tertawa bahagia seperti saat ini.
“Gua berharap lu selalu tertawa seperti ini Bul.” Batin Velvet
~Tringggg~
Bel pertanda masuk berbunyi membuat murid-murid yang ada di dalam kelas menjadi ramai dengan suara meja yang bergeser karena terdorong oleh murid yang berlarian menuju mejanya.
Guru yang mengajar datang memasuki kelas dengan mata tajam yang diperlihatkan kepada semua murid yang baru saja di masuki olehnya.
“Selamat pagi anak-anak…”
“Pagi Bu.”
“Minggu kemarin ada tugas bukan? Segera kumpulkan!” perintah Bu Layla
Satu persatu murid maju ke depan memberikan tugasnya masing-masing setelah semua terkumpul Bu Layla langsung memeriksa satu persatu buku murid-muridnya, terlihat dari wajahnya yang kesal dengan satu buku entah itu milik siapa.
“Merkurius Velvet…” panggil Bu Layla dengan suara menggelegar
“Hadir Bu.”
“Maju ke depan.”
“Saya punya salah apa ya Bu?”
“Maju ke depan!” ucap Bu Layla tertahan
“Iya Bu maaf,” ujar Velvet yang sudah berada di depan
“Kamu ini gimana sih Vel ngerjain kok cuma sebagian aja yang lain ke mana?”
“Saya tidak mengerti Bu sisanya,” jawab Velvet polos
“Kenapa minggu kemarin tidak tanya sama Ibu?”
“Kemarin pas Ibu terangi saya paham tapi saat sampai di rumah saya jadi gak paham,” ujar Velvet jujur
“Kenapa kamu tidak tanya dengan Bulan? Diakan satu meja sama kamu.”
“Heheh saya baru ingat tadi pagi kalau ternyata tugas saya belum selesai.”
“Selesaikan hari ini juga Velvet!”
“Baik Bu laksanakan.”
“Kerjakan di luar kelas,” sambung Bu Layla
“Hah?”
“Sekarang Velvet.”
“Iya Bu.”
***
“Nyebelin banget sih tuh guru,” dumal Velvet
“Ngedumal terus itu mulut.”
“Habisnya aku kesal tahu gak masa cewek cantik kayak aku gini disuruh ngerjain tugasnya di sini, gak adil banget.”
“Kamunya juga kali yang suka bikin Bu Alay marah-marah terus.”
“Enggak Yang emang dianya aja sensi banget sama aku.”
“Sudah kita kantin aja yuk, laper nih belum sarapan tadi pagi.”
“Kebiasaan banget sih gak sarapan dulu padahal aku sering bilang juga,” omel Velvet
“Maaf Yang tadi tuh kesiangan jadi gak sempat sarapan.”
“Halach alasan doang kesiangan basi banget.”
“Ayo kantin aku traktir sepuas kamu.”
“Serius nih?”
“Serius dong.”
“Jadi makin cinta deh sama Abang Venus.”
“Hahaha.”
“Tahu gak Yang?”
“Kamu mau tahu? Tumben.”
“Minta ditonjokin.”
“Hahah apaan?”
“Tadi aku gak sengaja lihat tangannya Bulan.”
“Kenapa emang sama tangan dia?”
“Ada luka baru lagi.”
“Luka baru? Maksudnya gimana?”
“Itu lho sayatan gitu, aku kan udah pernah cerita sama kamu tentang mentalnya dia gimana.”
“Ohh yang self injury itu?”
“Iya itu susah banget namanya.”
“Nama kamu aja ribet.”
“Dih apaan sih bawa-bawa nama aku.”
“Emang iya kok nama kamu ribet.”
“Nama kamu juga ribet.”
“Ribet dari Hongkong.”
“Ayo kita ke Hongkong sekalian ajak Bulan jalan-jalan.”
“Gak jelas banget siapa juga yang mau ke Hongkong.”
“Dih jahat banget jadi pacar.”
“Sejak kapan aku jadi pacar kamu?”
“Oh gitu oke,” ucap Velvet yang terlihat kesal
“Vel…” panggil seseorang dari arah belakang
“Oitt.”
“Gua cariin juga malah asik pacaran di sini.”
“Ngapain nyariin gua? Kangen sama gua?”
“Idih pede banget kamu Yang.”
“Bul…”
“Hmm?”
“Kok kayak ada yang ngomong sih.”
“Dih ngambek padahal cuma bercanda.”
“Tuh Bul ada yang ngomong lagi.”
“Vel jangan ngambek dong,” bujuk Venus
“Ngapain nyariin gua Bul?”
“Ditanyain sama Bu Layla.”
“Kenapa lagi sih tuh guru?”
“Katanya udah selesai belum tugas lu gitu.”
“Belum.”
“Terus lu dari tadi ngapain aja Maemunah.”
“Curhat sama Venus terus makan deh habisnya gua lapar nih.”
“Yaampun Vel buru kerjain gua ajarin deh.”
“Mual perut gua Bul lihat angka-angka itu, sayang kalau sampai keluar lagi.”
“Sudah ayo buru gua ajarin.”
“Lu aja yang ngerjain Bul.”
“Dih ogah.”
“Lu kan baik Bul.”
“Gak ada gak ada, enak aja.”
“Ayolah Bul bolehlah kali-kali,” mohon Velvet
“Enggak Vel harus kerjain sendiri.”
“Gua malas banget Bul lihatin angka-angka itu, pakai segala ngitungin kecepatan mobil, angin, dan kawan-kawannya.”
“Venus lu bujuk tuh pacar lu biar mau ngerjain tugasnya Bu Layla.”
“Orangnya aja lagi ngambek sama gua Bul.”
“Cobain dulu aja siapa tahu mempan.”
“Sayang…kerjain dulu ya tugasnya nanti Bu Layla ngamuk, kan kamu tahu sendiri Bu alay sensi banget sama kamu.”
“Tadi aja ngeledek terus bilang kalau kita gak pacaran sekarang malah manggil sayang,” balas Velvet
“Maaf Yang tadi cuma bercanda.”
“Ya sudah Bul ajarin gua sini.”
Bulan mengajarkan Velvet dengan sabar sedangkan Venus hanya memperhatikan dengan seksama walau sebenarnya dia paham dengan materi itu. Jangan salah dengan Venus meski dia laki-laki yang terkenal dengan tingkahnya yang suka buat onar tapi otaknya bisa dibilang memiliki kecerdasan yang setara dengan Bulan.
“Gila Bul sudah gak kuat otak gua nih,” ngeluh Velvet
“Yaelah Vel baru juga satu nomor.”
“Satu nomor tapi jawabannya banyak banget sampai satu lembar gini yang ada buku tulis gua habis nanti.”
“Buku tulis bisa beli lagikan lu anak orang kaya.”
“Kita sama Bul gak usah kayak gitu ngomongnya,” ujar Velvet tidak suka
“Iya sudah lanjutin deh tuh soal selanjutnya cuma beda angka aja.”
“Lah lu mau ke mana?”
“Mau ke toilet sudah gak tahan nih.”
“Gua temani ya?”
“Gak usah ngadi-ngadi deh lu, kerjain aja tuh tugasnya.”
“Kalau gua yang temani mau gak Bul?” tanya Venus polos
“Kamu ngomong apa Yang?” tanya Velvet horor
“Ahh enggak Yang heheh.”
“Awas kamu ya…”
“Slebew aja kali yang aku cuma bercanda juga serius banget.”
“Jangan macam-macam kamu sama aku Yang.”
“Iya Ibu negaraku yang cantik.”
Perempuan cantik itu jengah melihat perdebatan sepasang kekasih yang tidak ada habisnya jika sudah bertemu ia memilih untuk melangkahkan kakinya ke toilet.
Di sinilah Bulan, disalah satu bilik kamar mandi yang masih terdiam sembari mendengarkan obrolan orang-orang di luar.
“Eh lu tahu gak sih Bulan?” tanya perempuan entah siapa
“Bulan? Yang anak kelas XI jurusan Otomotif itu?”
“Iya itu.”
“Kenapa emang sama dia?”
“Gua dengar-dengar sih orang tuanya mau cerai karena si Bulan itu.”
“Lho emang Bulan itu kenapa?”
“Katanya Bulan itu bukan anak kandung jadi tuh ayahnya minta cerai karena Ibunya selingkuh sama laki-laki lain.”
“Ihh gila jangan-jangan si Bulan ngambil jurusan otomotif karena pengen diperhatiin sama cowo-cowo di kelasnya lagi.”
“Bisa jadi secara kan dia cantik kenapa gak ambil jurusan lain aja ya.”
“Ternyata wajah cantiknya itu menipu ya.”
“Iya gua gak sangka dia kayak gitu.”
“Sudah selesai?”
“Sudah ayo kita kantin.”
Bulan yang mendengar percakapan dua perempuan itu hanya bisa menangis dalam diam dan menyalahkan diri sendiri kenapa dia harus lahir ke dunia ini juga menyalahkan keadaan yang menimpa hidupnya.
Perempuan cantik yang masih berdiam di toilet mengeluarkan pisau lipat yang selalu dibawa kemanapun dari dalam sakunya, pisau itu diarahkan ke lengan sebelah kiri dan mengalirlah darah segar dari lengannya. Lengannya tidak merasakan sakit seperti hatinya merasa belum cukup untuk menenangkan dirinya, ia menambah lagi luka di lengannya berharap luka hatinya bisa terobati dengan cepat.
“Kenapa harus aku yang merasakan sesakit ini Tuhan…. aku sudah sangat lelah,” batin Bulan sambil memukul dadanya yang berasa sesak
