Tragedi Micin
"Selamat pagi, Mas." Hana menyapa Juan yang keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Kemeja krem pas tubuh, celana bahan cokelat muda, jangan lupa dasi marun menyempurnakan penampilannya.
"Pagi Hana, kamu masak apa? Wanginya kuat banget?" Juan duduk di sofa untuk mengenakan kaus kaki.
"Nasi goreng sama telur ceplok, Mas." Hana menjelaskan sambil menata meja makan untuk Juan.
Juan menghampiri kursi makannya. Sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya terlihat kurang menggugah selera. Warna nasi gorengnya pucat, Juan yakin Hana tak menambahkan kecap, saus, atau sejenis saus tiram ke dalamnya.
"Porsi sarapan saya tak sebanyak ini, Hana. Besok-besok kurangin, ya."
"Siap, Mas."
"Tolong ambilkan piring kosong, saya mau pindahkan sebagian." Meski begitu Juan tetap duduk dan mencicipi kerja keras sang pembantu. Setelah mengungsikan separuh dari nasinya ke piring kosong. Juan mulai menyantap suapan pertama yang membuat matanya Juan melebar.
"Kenapa? Ada duri ikan yang ketelen Mas Juan?" Hana panik menyaksikan ekspresi wajah Juan yang tampak sedikit terkejut.
Pertanyaan Hana membuat Juan makin tersedak. "Huk, huk, huk, enggak apa-apa. Bisa kamu ambilkan saya minum?"
"Bisa Mas," tanggap Hana cepat.
Selagi gadis itu menghilang untuk mengambilkan Juan minum, bosnya malah buru-buru memindahkan kembali nasi dari piring sebelah ke piringnya lagi. Kenikmatan pada suapan pertama agaknya mengubah pikiran Juan tentang porsi yang kebanyakan.
"Ini, Mas." Hana kembali membawa nampan berisi segelas air putih dan segelas jus berwarna putih kecokelatan.
"Apa itu?" Juan menunjuk ke arah jus.
"Ini jus apel dan pisang kepok, saya lihat di youtube resepnya. Katanya bagus untuk asam lambung," jawab Hana bersemangat.
Juan jadi penasaran, bagaimana cita rasa pisang dan apel. Ia mengambil gelas jusnya dan menyesap cairan berbuih lembut itu. "Wah, ternyata enak. Segar dan gurih. Kamu pintar, Hana. Saya mau jus kayak gini setiap pagi, ya."
Senyum Hana kian lebar. "Siap, Mas."
"Oh, iya. Kamu enggak makan?"
"Habis ini saja, saya masih banyak kerjaan, Mas."
Juan mengangguk sambil lahap menghabiskan nasi gorengnya. "Lain kali sarapan dulu, kerjaan bisa menunggu, tapi lambung kamu tidak. Jangan sampai asam lambung kayak saya hanya karena lalai makan tepat waktu."
Hana mendengar wejangan Juan dengan khusyuk. Setelah selesai sarapan, Juan pamit pergi ke kantor. Beberapa detik setelah Juan pergi, Hana senyam-senyum sendiri melihat piring dan gelas jus yang bersih. Hana tak menyangka Juan akan menyukai masakannya. Rasa bahagia membuat Hana spontan melompat girang sambil mendesiskan kata, "Yes, yes, yes."
Siapa sangka Juan masuk lagi ke apartemen dan menyaksikan tarian absurd pembantunya. "Hana, kamu baik-baik saja?"
"I-iya, Mas." Hana menutup mukanya yang malu bukan main.
"Jas saya ketinggalan, bisa tolong ambilkan di---," belum selesai Juan memberi intruksi, Hana sudah menghilang dan kembali ke hadapan Juan dengan jas yang majikannya maksud.
"Ini, Mas?"
"Ah, benar. Terima kasih, saya pergi dulu."
Sepeninggal Juan, Hana terduduk lemas di lantai ruang tamu. Meratapi kebodohan sikapnya yang selalu saja memalukan. Suara kata sandi pintu apartemen dipencet. Apakah Juan kembali lagi? Hana sigap berdiri, pura-pura mengelap apapun yang bisa ia raih. Rupanya Mayang yang muncul dari balik pintu.
"Pagi, Hanaaaaa." Mayang menyapa Hana dengan senyum cerah. Ia meletakkan tas belanjaan di atas meja makan.
"Eh, Nyonya. Pagi, Nya. Mas Juan baru saja pergi," tutur Hana pada Mayang dengan santun.
Mayang tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa ia paham kalau putranya sudah ngantor di jam ini. Toh Mayang sengaja mengunjungi Hana setelah Juan pergi. Sebut saja ini semua inspeksi dadakan.
"Kamu masak apa pagi ini?" tanya Mayang kepo setelah melihat piring Juan bersih. Mayang sangat paham Juan tipikal pemilih sekali soal makanan. Jarang Juan menghabiskan makanannya kecuali itu sangat-sangat-sangat enak.
"Nasi goreng ikan asin sama ceplok, Nya."
"Apaaaaaaaaaaaaaaaaa? Ikan asin? Kenapa kamu kasih anak saya ikan asin?!" Nada bicara Mayang meninggi.
"Ya karena Mas Juan tidak terlalu suka ayam, Nya."
Mayang meremas kepalanya yang pening. "Ya tapi kamu bisa pakai ikan salmon, ikan cod, atau minimal tuna. Kenapa harus ikan asin?"
"Ta-tapi ini ikan asin mahal, Nya."
"Tetap saja. Ikan asin ya ikan asin!"
Hana mengambil catatan untuk menulis semua ucapan Mayang, ia kemudian menyusul mayang yang kini sedang raziah dapur. Diambilnya sendok makan dari dalam laci dapur untuk mencicipi sisa nasi goreng di wajan. Mayang yang sebenarnya akan melanjutkan sesi nyinyirnya auto bungkam. Cita rasa masakan Hana telah memenangkan hatinya.
"Ya ampun. Nasi goreng kamu enak sekali, Hana. Kenapa Saroh tidak pernah masak nasi goreng seperti ini ya? Kamu kasih bumbu apa saja?" Alih-alih marah, Mayang malah meminta resep nasi goreng Hana.
"Bumbunya bawang merah dan bawang putih, saya cincang, lalu cabe hijau besar saya rajang. Tumis ketiga bumbu itu, setelah itu masukan suwiran ikan asin bawal yang sudah direndam air gula untuk mengurangi asinnya. Jika sudah harum, baru tambahkan nasi, aduk rata. Terakhir tambahkan garam, lada, sama micin, Nya."
"MICIN?? KENAPA ANAK SAYA KAMU KASIH MICIN, HANAAAAAAAAAAAAAAA?"
***
Bersambung ...
