Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Memulai Permainan

"Apple, apa yang kau lakukan di sini?"

Alona spontan mendongak, merasa familiar dengan wajah ganteng bertampang playboy itu. Ia nyaris terjungkal karena mengetahui kebenaran bahwa pria di club malam itu sedang ada di sini. Masih ingatkan dua pria yang digelanyuti gadis menggiurkan malam itu? Nah, dia ini adalah salah satunya.

"Ap … apa ...." Alona merasa lidahnya tiba-tiba saja kelu.

"Berikan aku satu yang seperti dia," ucap pria itu memerintah.

Alona mendengus tidak suka dengan sikap pria ini yang sangat tidak sopan.

“Oh, serta sebotol vodka,” imbuh pria itu lagi.

"Ini kedai mie, bukannya bar seperti tempat tongkronganmu," tukas Alona sewot, "pergi sana ke klub kalau ingin mabuk-mabuk!" usir Alona yang enath mengapa menjadi sensitif sekali.

Bukannya marah atau tersinggung, pria itu malah tertawa senang. "Aku lupa mengatakan padamu, Apple, selamat datang di kiblatnya hiburan malam, yang bahkan kedai terkecil sekalipun menyimpan minuman beralkohol."

"Tapi, di sini tidak," bantah Alona mendahului pemilik kedai yang hampir membuka suara, "dan jangan panggil aku seperti kau menyebutkan nama buah!"

"Ohh ...." Pria itu mengetuk dagu berpikir. "Jadi, kau hanya mau dia yang memanggilmu seperti itu?" tanyanya sambil tersenyum mengejek.

Alona spontan melotot marah. "Kau bicara apa sih?" hardik wanita itu mulai merasa kesal . "Sana ... sana pergi, hush!" usirnya lagi.

"Kau menyalahi aturan, Cantik," ucapnya geli. "Bisa saja pemilik kedai ini tidak terima dengan perbuatanmu mengusir pelanggannya." Mata pria itu teralih pada wanita paruh baya yang berdiri canggung di antara mereka. "Bukan begitu, Nyonya?" tanyanya pada pemilik kedai.

"Bibi ini tidak akan marah kalau pelanggannya kurang ajar sepertimu," tukas Alona.

Selera makan wanita itu rasanya langsung menghilang karena perdebatan tidak penting ini, yang ada malah rasa mual yang bahkan selama ini jarang sekali dialaminya, mungkin bayinya anti dengan pria aneh di hadapannya ini, tampan pun kalau gila untuk apa?

Drrt … drrt … drrt ….

Sura getaran ponsel membuat Alona melirik saku pria itu.

Pria itu memutar bola mata sebelum mengangkat panggilan itu. "Ada apa?" tanyanya malas-malasan sambil menempelkan handphone di telinga.

"..."

"Huh, Kau ini pelit sekali sih? Baru bicara sebentar, aku tak akan merebutnya darimu!" keluhnya.

"..."

"Iya, iya aku pulang. Tidak perlu mengancamku!" ucap pria itu jengkel.

"Dasar idiot, dia kira aku selicik itu ingin merebut wanitanya," gerutu pria itu lagi sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku.

"Habiskan makananmu dan cepat pulang, Cantik. Kau tidak mau 'kan tiba-tiba ada macan yang menerkammu saat kau pulang kemalaman?" Pria itu tertawa geli. "aku pergi dulu," pamitnya seraya bersiul senang.

Alona menampilkan raut wajah tidak peduli. "Pergi sana," usirnya ketus.

Senyum simpul terpampang di wajah pria itu. "Sampai bertemu lagi, Apple," ucapnya tanpa mempedulikan wajah jengkel Alona. Ia berlalu seraya bersiul senang di setiap langkah kakinya.

Alona melengos mengabaikan pria yang membuat nafsu makannya mendadak hilang. Tapi, tiba-tiba hatinya merasa gelisah, jika laki-laki itu berada di sini, kemungkinan besar pria yang tidur dengannya malam itu juga tinggal di sini bukan? Jika benar begitu, apa yang harus dilakukannya?

Alona sempat berharap pertemuan mereka di bandara itu hanya sebuah kebetulan saat pria itu hendak mendarat atau terbang entah kemana, dan ternyata ketakutan terbesarnya mungkin saja benar terjadi. Pria itu memang tinggal di sini dan ia sudah salah memilih kota untuk pelarian. Bukannya menjauh, ia malah mendatangi kandang singa itu sendiri. Memikirkan hal itu membuat Alona ingin segera pulang dan berlindung di dalam kamarnya. Semoga saja selama pelariannya ini, ia tak dipertemukan lagi dengan pemilik bayi di dalam perutnya ini. Hanya doa itu yang bisa Alona lakukan untuk permasalahannya kali ini.

---

Pagi yang sangat cerah, sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Alona terbangun di pagi hari dengan perut bergejolak, buru-buru ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya, tapi hanya ada cairan putih di sana. Herannya, ia seperti mengalami morning sickness, padahal sebelumnya Alona belum pernah mengalami mual di pagi hari seperti ini.

Alona menentralkan detak jantungnya, lalu berjalan menuju jendela kaca dan menyibakkan tirai. Cahaya pagi menyapu wajah tirusnya dan Alona menikmati itu, tak sengaja tatapannya jatuh pada jendela besar di seberang jalan. Matanya seolah terpaku pada sosok dibalik kaca bening itu. Alona bisa merasakan pria itu juga menatap lurus ke arahnya.

Diperhatikannya sosok pria di seberang sana, tubuh liatnya hanya dibalut handuk putih yang melingkar di pinggul, rambut basahnya terlihat berantakan. Alona meneguk ludah susah payah ketika suatu kilas ingatan menyadarkannya bahwa pria di seberang jalan itu adalah pria di bandara waktu itu, dan ... dan ... ia tersadar jika pria itu juga adalah orang yang sama dengan seseorang di malam bersejarah Alona satu bulan yang lalu.

Bulu kuduk wanita itu meremang, lengannya spontan mengusap perut datarnya. Rasa mual tiba-tiba kembali ia rasakan, kali ini bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Seolah bayinya sedang bersorak karena merasakan kehadiran ayahnya.

Alona tak sanggup menahan getar di tubuhnya yang berimbas pada keringat dingin yang mengucur di pelipisnya.

Sreek ….

Tirai tertutup tepat saat wajah bengis di seberang jalan sana menyeringai lebar. Alona merasakan detak jantungnya menggila, bahkan merasa takut jika detaknya mampu membuat letak jantungnya bergeser bahkan lepas dari tempatnya. Ini terdengar gila, lebih gila dari kejadian apa pun yang selama ini membuat kerja jantung Alona menghebat. Kali ini Alona seperti ... akan mati. Tubuhnya meluruh ke lantai dengan napas tersengal, benarkah itu yang dilihatnya?

Alona merasa tak ingin percaya, jauh-jauh melarikan diri dari Indonesia, tapi kenapa malah bertemu kembali di sini. Tiba-tiba Alona ingat satu hal bahwa malam itu si pria tengah mabuk, dan juga pencahayaan kamar begitu minim, harapan Alona satu-satunya adalah semoga pria itu tidak mengingat atau memgenali wajahnya.

Namun, lagi-lagi Alona di landa kepanikan, menyadari fakta bahwa pria itu menyapanya di bandara, bukan ... bukan hanya menyapa, tapi ... memberi sambutan seakan-akan ia akan masuk ke dalam hidup pria itu. Ketakutannya malam itu menjadi kenyataan, pria itu benar-benar berada di sekitarnya bahkan mungkin sudah sejak lama mengintainya.

Alona mengusap wajahnya berulangkali berharap hal itu mampu meredakan sedikit kepanikannya hingga ia mampu berpikir untuk mencari jalan keluar. Tapi lagi-lagi nihil, Alona seolah menghadapi jalan buntu yang membuatnya makin merasa panik.

Bagaimana jika pria itu hendak membalas dendam padanya? Mungkinkah ia merasa tertipu? Atau yang lebih parahnya, mungkinkah ia tahu kehamilan Alona?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel