6. Tak Terbantahkan
Bagi Ana, pemandangan luar mobil saat ini jauh lebih menarik dari pada pria di sampingnya. Davin sendiri masih fokus pada jalanan yang cukup padat. Sesekali matanya melirik pada gadis di sampingnya yang terus saja diam. Davin sadar jika dia sudah keterlaluan, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk membuat Ana tetap di sisinya.
Sejak menjadi pengisi materi seminar bisnis dulu, Davin mulai memperhatikannya. Melihat setiap gerak-gerik Ana yang tidak berubah sejak dulu. Perbedaannya, Ana sekarang tumbuh menjadi gadis yang cantik namun tetap ceroboh. Setelah berjumpa beberapa kali, dapat Davin simpulkan jika Ana tidak mengingatnya sama sekali. Dia sempat merasa konyol pada dirinya sendiri yang sabar mencari Ana hingga detik ini. Padahal orang yang ia cari terlihat acuh dan tidak tertarik sedikitpun.
"Kita makan dulu?"
"Nggak usah, Pak. Saya pulang aja," jawab Ana tanpa menatap Davin.
"Kamu belum makan."
"Saya bisa makan nanti."
Tanpa meminta persetujuan dari Ana, dia membelokkan setir mobil ke restoran cepat saji. Davin memilih drive-thru karena yakin jika Ana tidak akan mau turun. Davin memberikan makanan yang dia pesan pada Ana. Uluran tangan itu menggantung saat Ana tidak menerimanya, bahkan gadis itu masih menatap jendela mobil yang tidak terlihat menarik sama sekali.
"Ana?" panggil Davin sabar.
Terlihat Ana sedikit melirik dan lagi-lagi menggeleng sebagai jawaban.
"Ana, makan!" Davin berbicara dengan penekanan. Dia tidak suka diacuhkan.
Ana berdecak dan mulai menatap Davin sepenuhnya, "Saya nggak laper, Pak."
"Ya udah, dibuang aja."
Ana yang melihat itu, langsung merebut bungkus makanan dari tangan Davin dan memeluknya erat. "Jangan buang-buang makanan!" ucapnya kesal.
"Kalau gitu kamu makan."
Dengan perasaan yang campur aduk, akhirnya Ana mulai memakan makanannya. Sebenarnya ayam di tangannya ini cukup menggiurkan, namun entah kenapa dia tidak ingin makan apapun. Rasa laparnya seolah menguap entah ke mana. Ini semua karena Davin. Perasaannya selalu memburuk jika bertemu dengan pria itu.
Tangan Ana menarik selada dari burger di tangannya dengan tatapan masam. Dia tidak suka sayuran dan Davin membelikannya burger yang penuh dengan sayuran. Hal itu tidak luput dari pandangan Davin. Pria itu mengamati Ana sejak tadi. Meskipun terlihat tidak berselera untuk makan, tetap saja gadis itu menghabiskan beberapa menu yang dia pesan.
"Katanya jangan buang-buang makanan."
Ana menghentikan kegiatannya memilih sayuran, "Untuk sayur pengecualian."
"Sayur kan sehat."
Ana menggeleng cepat. "Nggak enak."
"Pantes kamu pendek."
Ana mendelik mendengar itu. Dengan kesal dia membungkus kembali burger-nya dan meminum minumannya cepat. Kenapa ketika Davin berbicara, semuanya langsung berubah? Mulut pedas itu selalu membuatnya kesal. Ana gemas, dia ingin memukul pria itu saat ini juga.
"Jangan dibuang, nanti aku makan."
Ana menatap Davin tidak percaya, "Inikan bekas saya, Pak."
"Dulu aku juga sering makan makanan sisamu," ucap Davin pelan ketika teringat dengan kebersamaannya bersama Ana 10 tahun yang lalu.
"Bapak ngomong apa?" Ana mendekat untuk mendengar ucapan Davin lebih jelas.
Davin menggeleng. "Di mana kosmu?"
Ana menunjukkan jalan tanpa wajah cemberutnya. Ini langkah yang bagus. Setidaknya Ana sudah tidak lagi marah dan mulai bersikap santai jika bersama dengannya. Jujur saja, pria itu lelah ketika Ana selalu menatapnya dengan rasa takut dan kesalnya. Dia menginginkan tatapan lain dari gadis itu.
"Besok kuliah aku antar," kata Davin saat mereka sudah sampai di depan kos Ana.
"Jangan aneh-aneh deh, Pak. Kita nggak bakal ketemu lagi setelah ini."
Davin tersenyum miring, "Jangan harap."
"Bapak paham nggak sih kalau saya nggak mau ketemu Bapak lagi?!"
Davin tersenyum kecut mendengar itu. Baru kali ini ada gadis yang menolaknya mentah-mentah. Jika perasaannya pada Ana tidak tumbuh, sudah sejak dulu dia menendang gadis bar-bar itu menjauh.
"Masuk sana. Besok aku jemput."
"Nggak mau, Pak!"
Davin memejamkan matanya lelah, "Jangan membantah, Ana!" ucapnya keras.
"Tuh kan liat! Saya nggak mau punya pacar galak!" Bukannya takut, Ana malah semakin menjadi-jadi.
Davin memilih untuk mengalah dan mengambil kotak kecil dari kursi belakang.
"Apa ini?" Ana menerima kotak itu dengan ragu.
"Hp-mu."
Dengan cepat Ana membuka kotak itu dan menatap Davin terkejut, "Ini buat saya?" tanya Ana tidak percaya. Bagaimana tidak terkejut jika Davin memberikan ponsel keluaran terbaru untuknya.
"Kamu suka?"
Ana mengangguk semangat. Dia seolah lupa dengan rasa kesalnya tadi. Ana akui Davin sangat pintar dalam mengalihkan fokusnya. "Suka, tapi ini mahal, Pak."
"Ambil aja."
"Nggak deh, Pak. Ini berlebihan kayanya," ucap Ana pelan yang masih bisa didengar oleh Davin.
"Nggak ada yang berlebihan, itu cuma HP."
"Tapi, Pa—"
"Nurut, Ana!" Ana terdiam mendengar ucapan Davin yang tegas.
"Oke, saya terima, tapi tetep saya nggak mau jadi pacar Bapak," balas Ana membuat Davin mendengus tidak percaya.
"Udah, masuk sana!"
Saat Ana akan membuka pintu mobil, Davin mencegahnya dan mengecup dahinya cepat, "Sampai ketemu besok." Ana masih diam dan menatap Davin tidak percaya.
"Keluar sekarang. Aku mau kerja."
Tidak ingin bertengkar, Ana memutuskan untuk keluar. Baru beberapa langkah, dia berbalik dan kembali membuka mobil, "Terima kasih ya, Pak." Sekesal apapun dirinya terhadap Davin tetap saja dia harus berterima kasih.
Begitu Ana telah menghilang dari pandangannya, Davin mulai menjalankan mobilnya ke sebuah restoran. Sebenarnya dia ada rapat siang tadi tapi demi Ana dia rela menundanya. Davin termasuk orang yang sibuk. Namun, hanya karena seorang Ana dia mau melakukan apapun. Sungguh dahsyat efek seorang Ana.
***
TBC
