9. Menjenguk Amran
Putri menatap horor deretan cincin yang terpajang di etalase, begitu banyaknya deretan berlian itu membuat matanya merasa silau.
"Ma ... maksud Bapak apa?" tanya gadis itu gusar.
Gama melirik Putri dengan raut wajah seolah akan menelan tubuh gadis itu bulat-bulat. "Pilih cicinnya!" titah pria itu tajam.
"Tapi buat apa, Pak?" ujar Putri mulai tak nyaman.
"Kamu lupa? Atau pura-pura amnesia?" desis pria itu. "Ingat dengan janjimu! Atau saya akan buat perhitungan kalau kamu ingkar!" ancamnya.
Putri menciut takut, dengan suara serupa cicitan tikus, ia mencoba bernegosiasi. "Pak ... gimana kalau syarat Bapak waktu itu diganti saja? Saya akan lakuin apa aja asal bukan itu, Pak!" ucap gadis itu memohon.
Gama berdecak. "Tak ada pilihan lain, saya cuma ingin itu dari kamu. Cepat pilih cicinnya!" desis pria itu geram.
Putri kembali memperhatikan deretan cincin itu dengan perasaan sesak di dada. Seharusnya Amranlah yang memberikan benda keramat itu padanya, bukan pria brengsek dan suka mengatur itu.
Putri menunjuk acak salah satu cincin, tak mau pusing harus memilih ini atau itu. Toh semua sama saja, tak ada yang membuat hatinya tertarik.
Akan tetapi satu hal yang membuatnya terkejut bukan main, yaitu adalah nominal yang dikeluarkan Gama untuk menebus cincin tersebut. Harga yang cukup fantastis jika dilihat dari ukuran benda itu yang teramat kecil. Sungguh, jiwa kefakiran Putri seolah memberontak di dalam jiwa raganya.
Setelah selesai membeli benda melingkar itu, Gama membawanya ke sebuah butik ternama di ibu kota. Untuk kesekian kalinya, Putri dibuat ternganga oleh semua hal yang di temuinya bersama Gama hari itu.
"Kita menikah minggu depan."
Putri tersedak seketika. Wajahnya memerah, kerongkongannya terasa begitu perih. Ia seolah kehilangan pasukan oksigen di tempat seluas parkiran ini. "Ap ... apa?"
"Sudah bodoh, kamu juga tuli?" ucap Gama jengkel.
"Bukan begitu, tapi ... tapi ... bagaimana dengan keluarga saya di kampung?"
"Saya sudah telpon ibu kamu," sahut pria itu santai.
"Maksud Bapak?!" tanya Putri kaget.
Gama memutar bola mata kesal. "Saya sudah telpon ibu kamu, dan mereka akan datang segera."
"Tapi ... Pak ...."
"Apalagi?" tanya Gama tak sabaran.
"Keluarga ... Amran?" cicitnya pelan.
Langkah Gama terhenti, tubuhnya seketika berputar menghadap Putri sepenuhnya. Gadis itu refleks menunduk menyadari tatapan tajam Gama yang siap mencabiknya.
"Mereka sudah tiba di Jakarta satu jam yang lalu."
"Apa?!" Putri langsung mendongak, memastikan ucapan Gama bukan hanya main-main.
"Kamu akan menikah dengan saya, jangan pernah berpikir untuk mengurusi orang lain lagi selain saya."
"Tapi ... Pak ... kami ... kami sudah bertunangan ...," ucap Putri serak. Jarinya refleks memutar-mutar cincin pemberian Amran.
Sayangnya kegiatan kecil gadis itu tertangkap basah oleh mata elang Gama, pria itu langsung menarik cincin di jari manis Putri hingga terlepas, lalu tanpa aba-aba ia melemparkannya jauh dengan wajah diliputi kemurkaan.
"Ingatlah satu hal, Putri Prameswari, saya sangat tidak suka penghianatan!"
Putri yang tadi sempat terkejut hanya mampu menatap nanar arah di mana cincin itu Gama buang.
Saksi dari kenangan indah mereka berdua kini sudah tak ada lagi. Putri hendak beranjak, berusaha untuk mencari cincin itu, tapi terlambat ketika Gama sudah lebih dulu menyeretnya pergi dari tempat itu.
"Jangan membuang-buang waktuku dengan hal tak penting ini!" desis pria itu tajam.
___
Malam ini Putri memberanikan diri untuk menjenguk Amran. Ia hanya ingin tahu bagaimana perkembangan pria itu, sudahkah ia siuman atau belum?
Dari kejauhan ia sudah dapat melihat Irna, kakak tertua Amran duduk bersandar dengan suaminya. Ada juga pak lek Dito serta adik perempuan Amran, Indah.
"Mbak Putri..." Indah yang pertama kali menyadari kehadiran gadis itu.
Irna yang tadinya sedang memejamkan mata, sontak berdiri. Matanya menatap galak pada Putri.
"Mau ngapain kamu ke sini, Perempuan sial?" hardik wanita itu.
Putri berjengit kaget. Langkahnya refleks memundur. "Saya ... saya ... mau menjenguk Amran, Mbak," ucapnya pelan.
Irna tertawa mengejek. "Mau apa lagi kamu? mau mengejek adikku? atau memamerkan calon suamimu yang kaya raya itu?"
Putri menahan napas sejenak, keluarga Amran juga sudah tahu?
"Dengar, ya, perempuan tidak tahu diri. Adikku kecelakaan itu karena kamu, tapi dengan kurang ajarnya kamu malah akan menikah saat adikku bahkan sedang sekarat!"
"Mbak ... saya bisa jelasin ...."
"Nggak perlu! Sekarang kamu pergi dari sini!"
"Mbak aku cuma mau tahu keadaan Amran," mohon gadis itu.
"Pergi!!!"
Putri tak kuasa menahan tangis, ia hanya ingin melihat keadaan kekasihnya itu. Kenapa mereka semua tidak bisa mengerti. Putri juga tidak mau hal seperti ini terjadi, tapi jika dibandingkan harus kehilangan Amran selamanya, dia tidak akan mau.
Irna yang melihat Putri tak juga pergi terlihat geram, ia lantas menarik lengan gadis itu melewati lorong yang panjang, lalu ketika sudah sampai di lobi, dihempaskannya dengan kasar.
"Asal kamu tahu, di mataku kamu itu tidak lebih dari seorang gundik! Aku nggak akan sudi kamu mendekati adikku lagi!"
Irna pergi meninggalkan gadis itu yang kini sudah menjadi bahan tontonan banyak mata di sana. Tak ada sedikitpun yang berniat membantu. Pandangan mereka malah seolah mencemooh, mungkin karena perkataan Irna terakhir kali.
"Berdiri!" Suara serupa perintah itu membuat Putri mendongak.
Matanya bertemu dengan pandangan kelam yang seolah akan menyesatkan dirinya. Sebuah tangan terulur, seperti menawarkan perlindungan yang bisa Putri dapatkan kapan saja dia mau.
"Berdiri, Putri!" titah pria itu lagi.
Putri menerima uluran itu dengan tangan gemetar, lalu ia merasa tubuhnya ditarik kuat dan terhempas di dada bidang pria itu. Hangat dan ... nyaman.
"Inilah akibat kamu melanggar laranganku," bisik pria itu tajam.
Putri meremang karena hembusan napas pria itu yang terasa hangat menyapu tengkuknya. Mata gadis itu bergerak liar, memindai sekitar yang kini seolah mematung, menghentikan semua aktifitas mereka demi menonton secara langsung adegan langka dengan tokoh utama dokter Gama.
Pria itu menarik Putri menuju mobil hitam metalik yang terparkir gagah di halaman rumah sakit, meninggalkan semua pasang mata yang masih senantiasa mengamati mereka dengan seksama.
"Kamu harus dihukum," ucap pria itu setelah mobil menjauh dari area gedung bertingkat lima belas itu.
"Untuk apa? saya tidak melakukan kesalahan," jawab gadis itu pelan.
"Untuk apa? Sudah dibilang, jangan mengurusi orang lain selain saya!"
"Tapi saya nggak ngurusin dia, cuma mau lihat dan tahu keadaannya. Salah?"
"Salah! kamu bisa tanya saya! Saya dokternya!"
Putri menarik napas panjang, menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Gadis itu memejamkan mata, ingin sekali ketika bangun nanti semuanya kembali seperti biasanya. Jauh sebelum dia mengenal pria di sebelahnya, Gama Barack.
