Bab 5. Tindakan Semena-mena Zayn
“Tidak cocok?” desis Milly berkali-kali saat melangkahkan kakinya ke arah halte bis yang tidak jauh dari area firma. Hah! Apa yang membuat orang itu bisa mengatakan aku tidak cocok menjadi pengacara? Sialan! Sepanjang jalan, Milly mengomel dan mengumpat dalam hati. Bahkan saat dia masuk ke apartemennya, hatinya masih terasa kesal karena ucapan Zayn padanya tadi.
“Apa yang dipikirkan oleh orang itu? Bagaimana bisa dia menilaiku tidak cocok menjadi pengacara?!” Milly melempar kesal tasnya ke atas ranjang. High heels yang biasanya selalu ditata rapi di rak sepatu dekat pintu, kali ini juga dibiarkan tergeletak begitu saja. Dalam pikirannya sekarang, dia terus mencoba untuk mengingat-ingat hal apa yang telah dia lakukan sampai Zayn mengatakan hal itu.
Semakin dipikir lagi, Milly tidak menemukan alasannya. Meskipun pembagian tugasnya selama ini tidak dia sukai, tapi dia tetap melakukannya dengan baik. Bahkan Rey dan yang lain memuji hasil kerjanya yang teliti dan tepat waktu. Karena itu, kepalanya menjadi pusing karena memikirkan alasan apa yang kira-kira dipikirkan oleh Zayn tentang dirinya.
“Nilaiku sempurna, hasil kerjaku bagus, lalu apa yang membuatnya mengatakan aku tidak cocok jadi pengacara?” Milly kembali mengerang sambil menghempaskan badannya di atas ranjang.
Apakah dia harus menanyakannya langsung pada Zayn? Tadi, dia terlalu terkejut untuk menanyakan alasan pria itu, sampai-sampai tak bertanya. Benar! Besok dia harus bertanya alasan Zayn sampai bisa berkata seperti itu. Itu adalah hal yang sekarang dipikirkan oleh Milly. Bahkan saat dia mandi dan memasak pasta untuk makan malam, ucapan Zayn masih terngiang. Tatapan yang jelas terlihat meremehkan itu tidak bisa diterima oleh egonya.
“Jangan-jangan dia memperlakukanku selama ini seperti itu karena dia menganggapku tidak cocok menjadi pengacara?” ucapnya pada diri sendiri setelah mengaduk-aduk pasta yang sedang direbus.
“Apa mungkin dia tidak melihat nilai-nilaiku? Tidak mungkin, kan? Lagipula, dia harus memiliki alasan kuat kenapa bisa sampai membenciku. Tidak mungkin hanya karena aku orang baru di firma, kan? Dia benar-benar membuatku kesal!”
Milly kembali mengaduk pastanya. Ravioli instan yang selalu ada di kulkasnya adalah menu andalan saat dia kelaparan. Bukan berarti dia tidak bisa memasak, tapi dia hanya malas. Hari-harinya telah dilalui dengan berat, dia tidak akan membuat proses memasaknya juga berat.
“Ini baru namanya hidup!” ujar Milly saat meletakkan sepiring ravioli dengan saus pasta mushroom di atas meja makan. iPad yang telah menayangkan film favoritnya juga telah siap di atas meja. Malam ini, dia akan mengenyangkan perutnya dulu, kemudian tidur, baru masalah yang lain dipikirkan lagi.
***
Keesokan harinya, saat Milly tiba di firma, dia tidak melihat Zayn sama sekali. Biasanya, pria itu selalu datang paling awal. Berkali-kali Milly bolak-balik di depan ruangan Zayn untuk memeriksa, tapi sampai jam makan siang sosoknya tidak terlihat sama sekali. Baru saat Milly kembali dari makan siang, Zayn terlihat telah berada di ruangannya. Informasi dari Rey tadi, Zayn dari pagi telah bertemu dengan klien dari kasus yang sedang ditangani.
Baiklah, mungkin ini saat yang tepat untuk membicarakan perihal yang sampai membuatnya tidak tidur semalaman. Namun, melihat raut Zayn yang tampak tidak bersahabat, akhirnya Milly menundanya sebentar. Dia kembali ke ruangannya untuk menyelesaikan surat pengantar untuk proses perijinan investigasi. Setidaknya, pekerjaannya harus selesai dulu sebelum dia berhadapan dengan Zayn.
Tak terasa, hari sudah sore. Milly tersentak saat melihat jam di tangannya. Dia buru-buru keluar dari ruangan, dan menuju ke ruangan Zayn. Beruntung, Zayn masih berada di ruangannya sambil membaca buku tentang hukum sambil berdiri di depan rak buku.
Milly mengetuk pintu ruangan Zayn, kemudian membukannya perlahan. Sorot mata Zayn mendadak berubah saat melihat gadis itu. “Ada apa lagi?”
Milly menutup pintu pelahan, dan memposisikan dirinya tepat di depan Zayn. “Surat perijinan untuk investigasi sudah selesai dikerjakan. Sudah dikirim ke email dan dicetak.”
Zayn mengangguk singkat. “Oke, lain kali cukup kirim email saja tanpa harus laporan seperti ini dan serahkan pada Rey setelah dicetak,” katanya sambil membalikkan badannya, dan berjalan kembali ke arah mejanya.
Milly memutar kedua bola matanya sambil menghela napas panjang. Sebisa mungkin, dia mencoba untuk emosinya tidak terpancing. “Ada hal yang ingin aku tanyakan.”
Zayn menatap tajam pada Milly sambil mendesah kesal. “Kenapa setiap hari selalu ada pertanyaan? Kali ini tentang apa?”
Milly meringis sebelum kembali pada posisinya kemarin, saat dia menanyakan tentang job desk-nya. “Sebenarnya, kemarin aku sedikit terganggu dengan salah satu jawabanmu.”
“Jawaban yang mana?” tanya Zayn acuh.
Milly kembali menghela napas. “Saat kau mengatakan aku tidak cocok menjadi seorang pengacara.”
Zayn masih menatap Milly dengan sorot mengintimidasi.
“Jadi, aku hanya penasaran. Kenapa kau bisa mengatakan hal itu padaku? Nilaiku sempurna, hasil kerjaku juga baik, tapi kenapa kau menghinaku tidak cocok sebagai pengacara? Dalam alasan apa kau mengatakan hal itu padaku?” Satu dorongan kecil berhasil membuat Milly mengeluarkan pertanyaannya dalam satu helaan napas.
Zayn menyeringai, diakhiri dengan senyuman sinis dan pandangan meremahkan seperti biasanya. “Dalam pandanganku, kau memang tidak cocok menjadi pengacara. Kau lebih terlihat seperti seorang preman.”
Milly mengerutkan keningnya. Preman? Dari sisi mana dia terlihat seperti preman? Sungguh! Milly benar-benar tidak mengerti maksud dari ucapan Zayn. Namun dia tetap berusaha tenang, tidak langsung terpancing emosi.
“Apa maksudmu?” tanya Milly to the point.
“Aku melihatmu di café, sedang berkelahi dengan pria. Kau bahkan terlihat akan memukul pria itu. Sikapmu terlalu kasar. Karena itu, kau lebih cocok menjadi preman dibandingkan dengan pengacara,” jawab Zayn, sambil kedua tangannya dilipat di depan dada, dan menyandarkan diri pada sandaran kursi. “Orang yang kulihat waktu benar-benar dirimu, kan?” senyum sinis kembali tersungging di wajah Zayn.
Milly berusaha mengingat-ingat kejadian yang dimaksud Zayn. Matanya membelalak lebar saat dia mengingatnya. Benar, waktu itu aku sedang membela waitress yang dilecehkan!
“Kau tidak melihat cerita keseluruhannya!” sentak Milly.
Zayn semakin menajamkan sorot mataya pada Milly. “Buat apa? Sudah jelas kau adalah perempuan kasar yang tidak pantas menjadi pengacara.”
Milly menghela napas panjang, masih berusaha menenangkan amarahnya. “Tapi, kau tidak bisa melihat keadaan hanya dari sudut pandamu saja. Ak—”
Sebelah tangan Zayn terangkat tepat di depan wajah Milly, sedangkan satunya lagi menerima panggilan telepon di ponselnya.
“Baik, saya akan segera ke sana sekarang juga. Sampai bertemu lagi.” Zayn menutup panggilan teleponnya, kemudian berlalu begitu saja, melewati Milly yang masih berdiri di sebelah meja kerjanya.
Sebelum keluar, Zayn menoleh pada Milly. “Keluar sekarang dari ruanganku, dan jangan lupa tutup pintunya!”
Milly mengerang kesal. Satu tangannya mengepal dan meninju udara sementara mulutnya sibuk mengumpat. Alasan yang diutarakan oleh Zayn benar-beanr tidak bisa diterima akal sehatnya.
“Tidak bisa, aku harus menjelaskan posisiku saat itu padanya. Aku tidak mau dianggap sebagai preman hanya karena sedang membela seseorang yang telah dilecehkan!” Kaki Milly menghentak kesal, melangkah keluar dari ruangan Zayn dan menutup pintunya kencang. Kesabarannya benar-benar telah habis dalam menghadapi Zayn yang semena-mena padanya.
