Bab 3. Pria Arogan
Zayn memanggil timnya ke ruang meeting, termasuk Milly yang mulai hari ini tergabung di dalamnya—dengan terpaksa—Milly masuk ke dalam ruangan dan langung duduk di kursi yang paling jauh dari tempat Zayn. Gadis itu benar-benar tidak nyaman, apalagi melihat wajah Zayn yang terlihat lebih menyeramkan dari perkenalan tadi.
“Hai,” sapa seseorang yang duduk di sebelah Milly.
Milly tidak begitu memperhatikan karena terlalu sibuk menghindari tatapan tajam yang berasa dari Zayn. Berkali-kali Milly berusaha untuk menghela napas agar rasa gugupnya berkurang. Dia bahkan tidak tahu alasan apa yang membuat Zayn bersikap dingin padanya.
“Kau berada di tim ini juga?” sapa seseorang itu lagi.
Kali ini, Milly menoleh dan mendapati salah satu pengacara yang tadi mengenalkan dirinya dengan ramah. “Ah, Rey. Maaf aku tidak segera menyapa balik.”
Rey, salah satu pengacara di sana melukiskan senyum. “It’s ok, kau pasti gugup di hari pertamamu. Tenang saja, semuanya akan berjalan dengan lancar. Kau beruntung bisa masuk tim ini.”
Milly meringis di balik ekspresi wajahnya yang tak baik. Benarkah dia beruntung karena masuk ke dalam tim ini? Namun, kenapa justru terasa menjadi beban karena jelas sekali Zayn seperti tidak suka padanya. Bahkan dia tidak menerima jabatan tangannya tadi. Jika dipikir lagi, hal itu membuat Milly menjadi kesal.
“Karena tim sudah berkumpul semua, kita mulai meeting-nya.” Zayn memulai pembicaraan.
Tiga orang yang sebelumnya telah menjadi anggota tim Zayn segera membuka buku agendanya masing-masing. Rey, seorang pengacara rekanan yang selalu menjadi partner dari Zayn, dan dua orang lain yang bertugas sebagai penasihat, dan mitra non pengacara. Melihat itu, Milly ikut membuka buku agenda yang sudah disediakan di ruangannya tadi.
“Kalian pasti sudah saling berkenalan dengan anggota baru firma ini,” kata Zayn lagi. “Mulai saat ini, Milly Benson akan tergabung di dalam tim ini dan membantu semua hal yang membutuhkan bantuan.”
Semua mata tertuju pada Milly, membuat gadis itu mengangguk pelan sambil tersenyum canggung.
Zayn kembali menatap dingin dan tegas pada Milly. “Pastikan kau tidak membuat masalah karena kasus yang kita hadapi tidak main-main. Perlu diingat, ini adalah dunia kerja, bukan dunia kuliah lagi.”
Milly kembali terperangah dengan sikap Zayn yang luar biasa menyebalkan. Tidak, bahkan saat ini Milly merasa sangat diremehkan olehnya. “Baik.” Pada akhirnya hanya satu kata itu yang diucapkan oleh Milly.
Meeting berakhir setelah tiga jam kemudian. Kasus yang mereka bicarakan membuat adrenalin Milly terpacu. Dia benar-benar merasa bahwa dirinya sekarang adalah seorang pengacara. Saat mereka keluar satu persatu dari ruangan meeting, Milly memberanikan diri untuk memanggil Zayn. Meskipun dia masih kesal dengan semua sikap yang dilemparkan padanya, tetap saja Zayn adalah pengacara senior yang menjadi mentornya di tim ini.
“Ada apa?” tanya Zayn dingin.
Milly yang kembali diserang dengan sikap dingin Zayn menjadi gugup untuk berkata. “Begini, sebelumnya terima kasih karena telah bersedia menjadi mentorku. Selain itu, terima kasih juga karena diperbolehkan masuk ke dalam tim ini. Kedepannya, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik. Mohon bimbingannya,” ucapnya seramah mungkin.
Zayn kembali menatap Milly dengan sorot menghakimi. “Pastikan saja kau tidak membuat masalah di sini.”
Sebelum Milly sempat menjawab, Zayn sudah berlalu, meninggalkan Milly yang mendengkus kesal.
“Hei, kau baik-baik saja?”
Milly berjingkat terkejut saat mendengar Rey yang tiba-tiba berdiri di belakangnya. “Astaga, kau mengagetkanku,” kata Milly sambil memegang dadanya.
“Oh, maafkan aku.” Rey terlihat menyesal karena telah mengejutkan Milly.
Melihat itu, Milly buru-buru menggeleng sambil menggoyangkan tangannya cepat. “Tidak apa-apa.”
Rey kembali tersenyum lebar. “Sudah masuk jam makan siang, kau mau makan bersama dengan yang lain? Kita akan pergi makan di restoran langganan sebelah gedung.”
Milly melihat jam tangannya. Benar saja, tidak terasa setengah hari telah berlalu dengan cepat. Beberapa orang melambaikan tangannya untuk menyuruh Rey bergegas.
“Bagaimana? Kau mau ikut?” tanya Rey lagi.
Milly mengangguk. “Tentu saja, aku akan mengambil tasku dulu di ruangan.”
“Aku akan menunggumu di lobi depan. Pelan-pelan saja, jangan terburu-buru,” jawab Rey ramah.
***
Sepiring pasta ravioli terhidang di depan Milly. Asapnya yang masih mengepul mengantarkan aroma pasta kesukaannya itu. Beberapa rekan kerjanya juga telah menyantap makan siangnya masing-masing.
“Selamat makan,” ucap Rey yang duduk di depannya dengan nada riang.
Milly terkekeh. “Selamat makan.”
Saat menyuap ravioli-nya, Milly kembali teringat dengan sikap Zayn yang membuatnya berkali-kali terperangah di hari pertamanya kerja. Dia sempat mengira sifat Zayn memang seperti itu, tapi saat dia akan keluar untuk makan siang, dia sempat melihat Zayn yang sedang berinteraksi dengan salah satu rekan pengacara yang lain. Well, di mata Milly, sikap pria itu sangat berbeda dibandingkan saat berhadapan dengannya.
“Rey, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Milly seperti begitu penasaran.
Rey mendongak untuk memandang Milly. “Tentu saja, kau mau bertanya apa?”
Milly menggigit bibir bawahnya. Sejenak, dia tampak ragu untuk menanyakan hal ini pada Rey. Namun, dia merasa harus tahu apakah Zayn juga bersikap dingin pada orang lain selain dirinya.
“Mengenai sikap Zayn. Aku tidak bermaksud untuk mengeluh. Tapi apakah dia memang selalu bersikap dingin, ketus, dan arogan sama orang lain?” tanya Milly setengah berbisik.
“Apakah Zayn bersikap seperti itu padamu?” tanya Rey balik.
Milly mengangguk cepat. Sorot matanya terlihat terluka, dia menghela napas panjang. “Sejak awal aku mengenalkan diriku padanya, dia seperti menganggapku sebagai musuh. Bahkan dia tidak membalas tanganku yang mengajaknya berjabat tangan.”
Rey terkekeh rendah. “Zayn memang selalu bersikap begitu dengan orang asing. Dingin, arogan, dan menyebalkan. Tapi percayalah, sikapnya akan berubah kalau kalian sudah semakin akrab.”
Milly memiringkan kepalanya sambil mengerutkan keningnya. Jelas dia tampak ragu dengan ucapan Rey. “Apakah kau dulu juga diperlakukan seperti itu?”
Rey terlihat berpikir. “Sejujurnya, aku sedikit lupa dengan awal pertemuanku dengannya. Tapi, menurutku biasa saja. Mungkin karena kita sesama pria, jadi aku tidak pernah mempermasalahkan sikapnya. Lebih tepatnya, aku tidak peduli.”
Milly tertawa pelan mendengar jawaban dari Rey. Benar juga, pria jarang menggunakan perasaannya saat menyikapi sebuah masalah. Mungkin, dirinya terlalu sensitif menanggapi masalah ini.
“Mungkin, kau bisa mencoba untuk bersikap sepertiku.”
“Bagaimana? Bersikap tidak peduli?”
Rey mengangguk. “Benar. Cobalah untuk tidak memasukkan hati atas semua ucapan dan tingkah Zayn yang menurutmu terlihat dan terdengar ketus. Perlahan, sikapnya pasti berubah. Zayn sebenarnya memiliki sifat yang hangat. Asalkan kau bisa dekat dengannya.”
“Dekat dengannya?” Milly tanpa sadar mengeluarkan raut wajah tidak suka sampai membuat Rey tertawa.
“Bukan dekat dalam artian ‘dekat’. Pada intinya, Zayn adalah sosok yang hangat bagi orang yang telah dikenalnya dengan baik.” Rey mencoba untuk menjelaskan agar Milly tidak salah paham.
Milly mengangguk-angguk. Walaupun sepertinya itu adalah hal yang sulit, tapi mungkin dia bisa memulai dengan bersikap tidak peduli dengan semua kelakuan Zayn yang membuatnya kesal.
“Baiklah, aku akan mencobanya. Terima kasih, Rey,” ucap Milly sungguh-sungguh.
