Sembilan
Bab 9
Karyawan tentu sangat kewalahan saat harus mencegah Julia supaya tidak masuk ke ruangan Revan. Wanita itu begitu kekeh dan tidak peduli meski karyawan sudah menjelaskan dan meminta untuk menunggu di lobi saja. Pada akhirnya para karyawan kalah, Julia berhasil masuk dan saat Revan sampai di ruangannya, wanita itu sedang berdiri menghadap ke arah dinding kaca.
"Ada apa?" tanya Revan acuh.
Julia spontan menoleh. Dia dengan cepat menghampiri Revan dan melebarkan senyum. "Aku kangen kamu," katanya.
Revan memutar bola malas lantas meletakkan tas di atas meja dan jasnya pada sandaran kursi.
"Jangan mengacuhkan aku begitu," rengek Julia sambil mengguncang lengan Revan.
Julia memang agresif, biasanya kalau dia diacuhkan akan berinisiatif merengek, bergelayut manja bahkan bisa sampai menciumi wajah Revan. Sayangnya Revan tidak pernah terpengaruh. Seperti saat ini, Julia mulai merengek dan mendaratkan wajah pada lengan Revan.
Namun, Revan kali ini mulai bertanya-tanya mengapa tidak pernah tergiur dengan semua ini. Dua tahun pacaran, Revan baru menyadari kalau selama ini semua terasa hambar. Cinta? Iya, memang cinta, tapi ... entahlah!
"Kenapa masih diam saja, sih!" kesal Julia. Guncangan di lengan Revan semakin kuat.
Revan melepaskan tangan Julia kemudian mencoba duduk. "Hari ini aku banyak banget kerjaan. Kita ngobrol nanti siang."
Julia sudah memasang wajah masam, tapi dari pada tidak bicara sama sekali dengan Revan, Julia memilih menurut saja.
"Baiklah, kita makan siang di restoran terdekat nanti," kata Julia.
Revan cukup mengangguk saja.
Setelah wanita itu menghilang, Revan mendesah berat dan menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Dia kini mengusap wajahnya lalu menarik tangannya--menyugar rambut yang mulai gondrong.
"Bagaimana bisa, dia setenang itu seperti nggak punya salah?" kata Revan. "Dia jelas-jelas main belakang, tapi begitu apik menutupinya. Sialan!"
Revan kembali mendesah sebelum kemudian membuka laptopnya. Dan baru saja mau memulai, ponsel di dalam saku jas bergetar diiringi nada dering jazz. Posisi jas yang menggantung pada sandaran kursi membuat Revan harus memutar badannya.
"Siapa, sih!" geramnya pelan. "Jangan-jangan wanita sialan itu lagi. Eh!" Di ujung kalimat Revan menjerit kecil.
Bukan panggilan dari Julia, melainkan dari sang istri. Revan membiarkan ponsel itu berdering untuk beberapa detik.
"Ngapain dia telepon? Tumben?"
Panggilan itu berhenti dan Revan tertegun. Baru saja hendak meletakkannya di atas meja, ponselnya kembali berdering. Revan akhirnya mengangkat panggilan tersebut.
"Ada apa?" tanya Revan.
Dari nada bicaranya, Larisa tahu seperti apa raut wajah Revan saat ini. Masih sambil menggenggam ponsel dan bersandar, terlihat bibir Larisa komat-kamit seperti sedang mengutuk Revan.
"Hei!" seru Revan. Suara itu membuat Larisa terjungkat dan bergidik. "Kamu bisu?"
Mulut Larisa terbuka dan matanya membulat sempurna. Sesaat dia menjauhkan ponselnya dan mencengkeram cukup kuat lantas memaki ponselnya sendiri dengan geram. Detik berikutnya, Larisa kembali menempelkan benda pipih itu ke telinganya seraya mengusap dada.
"Aku cuma mau tanya, kata sandinya apa?" tanya Larisa kemudian.
"Sandi apa?"
Larisa mengeraskan rahang dan mendesis lirih supaya tidak sampai terdengar oleh Revan. "Tentu saja pintu apartemen," jawabnya ketus.
"Oh."
Larisa kembali membulat mulut dan melotot. Rasanya ingin sekali membanting ponsel dan membiarkannya hancur berkeping-keping. Dan pada saat itu, Larisa baru tersadar mengenai ponsel Revan yang harusnya rusak.
"Kenapa tersambung?" batin Larisa. "Harusnya ponsel dia kan rusak. Dan kenapa aku baru ingat?"
Larisa menepiskan semua keheranan itu dan kini kembali terfokus pada panggilan lagi. "Berapa?" tanyanya seraya menahan rasa kesal.
"Mau apa tanya sandi pintu?" tanya Revan.
Larisa menjulingkan mata malas, lantas mengeraskan sederet giginya dan menggenggam ponselnya begitu kuat. Namun, pada akhirnya Larisa tetap coba tenang mengusap dadanya.
Sebelum menjawab pertanyaan menjengkelkan itu, Larisa sempat berdehem. "Hari ini aku harus kerja. Kemarin aku sudah ambil cuti," jelasnya.
"Tunggu saja, nanti aku kirim lewat pesan."
Tut!
Panggilan terputus begitu saja, dan Larisa tidak mendapat jawaban yang jelas.
"Aaaarg!" Larisa menggeram keras sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya bergantian. Saking kesalnya, dia sampai merengek dan hampir menangis.
"Ya, Tuhan, kenapa dia menjengkelkan sekali?" keluh Larisa. "Tiba-tiba marah, tiba-tiba acuh, lalu menyebalkan. Aku bisa gila kalau seperti ini terus!"
Larisa melempar ponselnya ke atas ranjang lalu kini dia ikut menjatuhkan diri dan berguling-guling. Dia yang sudah rapi dan tatanan rambutnya yang begitu cantik berubah menjadi berantakan.
"Huh! Di pasti sengaja." Larisa duduk dengan kedua kaki terlipat. "Aku tahu dia sangat membenci aku karena aku memakai mata adiknya. Tapi ... oh, ayolah! Apa harus seperti ini sampai bertahun-tahun?"
Larisa memukul-mukul ranjang sampai-sampai tubuhnya terguncang ke kiri dan ke kanan. Rasanya ingin sekali mengamuk, tapi juga percuma.
"Hwaaaa, kalau seperti ini aku bisa dipecat."
Larisa berniat menangis, tapi entah kenapa air mata menghilang dan tidak mau diajak kerja sama.
Drt, drt, drt.
Larisa merasakan getaran di ranjangnya. Getaran itu semakin terasa, dengan cepat Larisa memutar badan. Terlihat saat ini ponselnya menyala menunjukkan ada seseorang yang menelepon.
"Roy?" celetuknya begitu sudah menatap layar ponsel.
"Ya, Roy. Ada apa?" tanyanya.
"Kamu hari ini berangkat kan?" tanya Roy.
Larisa membuang napas dan mengerucutkan bibir. "Aku belum tahu Roy."
Jawaban itu membuat Roy terkejut. "Kenapa?"
Larisa menggigit bibir bawah dan tertegun. Dia tidak mungkin memberi tahu alasan dengan jujur mengenai apa yang tidak bisa membuatnya berangkat kerja pada Roy. Semua ini termasuk hal pribadi. Menurut Larisa begitu.
"Nggak apa-apa, aku cuma lagi sedikit nggak enak badan."
"Kamu sakit?" Suara Roy terdengar meninggi.
Larisa yang kaget hanya meringis. "I-iya, tapi cuma demam biasa kok. Besok juga sembuh."
Fiuh! Larisa mengusap dada. Harusnya jawaban tipu-tipu itu membuat Roy percaya dan tidak bertanya lebih panjang lagi.
"Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat saja. Malam nanti aku akan menjenguk kamu."
"Eh, enggak usah. Aku baik-baik saja kok. Beneran, deh."
"Yakin?"
"Ya." Larisa mengangguk dengan cepat. "Kamu kerja saja yang fokus. Besok pasti aku masuk kok."
Panggilan berakhir karena Larisa tidak mau sampai Roy terus bertanya dan mengkhawatirkannya. Meski Larisa senang karena Roy selalu peduli, tapi hal itu juga tidak baik. Larisa tidak mau kalau nantinya Revan salah paham.
Ck! Hei, Larisa. Revan punya kekasih di luar sana, kenapa kamu tidak?
Mendadak Larisa mendengar teriakan-teriakan asing di telinganya. Tidak terlalu jelas, tapi sepertinya itu suara nyamuk yang sengaja memanasi hati Larisa.
Larisa meletakkan ponselnya di atas pangkuan yang duduk masih dengan kedua kali terlipat. Dua tangannya kini memegang lutut dan sesekali menepuknya.
"Mana mungkin aku bisa memiliki kekasih di luar sana, sementara hatiku ada di sini." Larisa menunjuk layar ponselnya yang bergambar seseorang pria tampan yang tak lain adalah sang suami.
***
