Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Satu

Bab 1

Larisa tumbuh dengan baik di rumah mewah keluarga Prasetyo Pamungkas. Segalanya tercukupi dan tidak ada sedikit pun yang kurang menyangkut kebutuhan sehari-hati. Pras dan Tamara, berlaku baik pada Larisa dan menganggapnya seperti anak kandung sendiri.

Namun, di balik semua itu ada hal yang membuat Larisa tidak pernah nyaman berada di rumah ini. Larisa merasa masih sebagai orang asing untuk sosok pria yang tak lain adalah putra tunggal Pras dan Tamara. Pria bernama Revan Pamungkas itu masih bersikap dingin dan acuh meski statusnya sekarang adalah suami Larisa.

Sudah satu tahun menikah, tapi sikap Revan masih sama saja. Bisa dibilang, Revan seperti begitu benci dan menyimpan dendam untuk Larisa.

"Revan lagi?" Tamara menepuk pundak Larisa yang sedang termenung di dekat kolam renang.

"Em, Mama. Aku sampai kaget," ucap Larisa sambil mengusap dada.

Larisa melangkah ke arah meja, kemudian meletakkan gelas yang berisi setengah minuman dingin di sana. Di belakangnya, Tamara menyusul lantas meminta Larisa ikut duduk.

"Revan nyakitin kamu lagi?" tanya Tamara.

Sambil tersenyum tipis, Larisa menggeleng. "Enggak kok, Ma. Aku hanya sedang merindukan mama sama papa."

Dalam penglihatan Tamara, jelas sekali Larisa sedang berbohong. Meski Larisa memang sedang merindukan orang tuanya, tapi yang sedang ada dalam otaknya saat ini adalah Revan. Semalam, Tamara sempat dengar mereka berdua berdebat di dalam kamar.

"Sayang ...." Tamara meraih dan menggenggam telapak tangan menantu kesayangannya itu. Tatapan sendunya itu di balas oleh Larisa. "Mama tahu kamu pasti lelah dengan sikap Revan. Tapi mama berharap kamu masih mau terus bersabar ya."

Larisa membuang muka ke arah dua kakinya yang saling injak dan gesek. Rasanya seperti mustahi untuk Larisa bisa menaklukkan sosok Revan yang dingin dan acuh. Jika sikap dingin bisa sedikit dikendalikan, tidak dengan emosinya. Sekali merasa terganggu, Revan tidak segan-segan untuk membentak ataupun melukai Larisa.

"Kenapa mama menikahkan aku dengan Revan?" tanya Larisa setelah beberapa menit termenung. "Dia bahkan susah punya pacar kan, Ma?"

Tamara kembali mengeratkan genggaman pada tangan Larisa. "Mama nggak suka sama wanita itu. Dia bukan wanita baik-baik dan sama sekali nggak cocok sama Revan."

"Tapi mereka saling suka, Ma. Apa nggak keterlaluan dengan memaksa seperti ini?"

"Kalian sudah menikah satu tahun lebih, mana mungkin keterlaluan. Sudah waktunya untuk Revan membuka hati dan matanya untuk kamu."

Terkadang Larisa bingung kenapa bisa sampai menikah dengan Revan si pria bongkahan es. Ibu mertuanya tidak memberi alasan apa pun selain karena mereka tidak merestui hubungan Revan dan sang kekasih. Keluarga ini terlihat baik-baik saja, hanya kadang seperti kurang terbuka satu sama lain.

Sampai di toko roti, Larisa mencantolkan tasnya pada gantungan yang menempel pada dinding. Terdengar juga ia menghela napas lalu memakai celemek bergambar kue ulang tahun di bagian dada.

"Masih betah ngalamun?" Roy menegur dari arah samping.

"Hei, Roy. Baru nyampe juga?" Larisa mengabaikan pertanyaan itu dan justru melempar sapaan lain.

"Macet di jalan," sahutnya. "Kamu sudah makan siang?" tanya Roy lagi.

Larisa mengangguk lalu melenggak dan mulai menuju ruang depan karena pembeli masih begitu banyak meski hari semakin siang bahkan mendekati sore sekitar dua jam lagi.

Masih di tempat berdiri, diam-diam Roy memandangi punggung Larisa dari balik dinding kaca. "Aku masih nggak ngerti kenapa kamu mau menikah sama pria itu. Jelas-jelas dia sudah punya kekasih."

Roy kemudian menyusul Larisa yang sudah kewalahan melayani para pembeli di depan rak etalase.

"Sini aku bantu," Roy meraih nampan berisi potongan kue coklat dengan taburan keju di atasnya.

Larisa tersenyum. "Ini untuk meja nomor sepuluh."

Satu tahun ini Larisa habiskan waktunya di tempat kerja. Terkadang, Larisa berpikir untuk bermalam di sini meskipun tak ada kasur yang empuk seperti di rumah. Namun, Larisa harus pulang dan melayani sang suami meski tidak pernah dianggap.

"Bungkuskan yang ini satu untukku," seorang wanita membungkuk di depan etalase sambil menunjuk satu cake pandan.

Larisa segera mengambul kue yang dipesan itu kemudian meletakkan di atas meja untuk dibungkus.

"Ini saja?" tanya Larisa.

Betapa terkejutnya Larisa saat wajahnya mendongak dan bertemu tatap dengan wanita cantik di hadapannya. Wanita yang tidak Larisa kenal, tapi begitu ia ketahui.

"Oh, kamu?" celetuk wanita itu sambil menatap aneh pada Larisa. "Kerja di sini?" Wanita itu kini terkekeh sambil mendaratkan siku jari pada bibirnya.

Larisa tidak mau terlalu menggubrisnya. Dia harus profesional melayani pembeli dan tidak boleh terpancing emosi.

"Mau pesan apa lagi, Mbak?" tanya Larisa seraya memasukkan kardus berisi cake ke dalam kantong plastik.

Wanita itu mendecit hingga terlihat satu ujung bibirnya terangkat. "Pasti Revan enggan menghidupi kamu ya?"

"Maaf, Mbak, kalau sudah nggak ada yang mau di beli, silakan ke luar," kata Larisa dengan pelan. "Masih banyak yang antre," lanjutnya.

"Kamu ngusir aku?" pelotot wanita itu.

Larisa langsung terkesiap. "Bukan begitu, Mbak, tapi kita sedang banyak pembeli. Coba lihat di belangan mbak, banyak yang sudah menunggu."

Wanita itu menoleh ke belakang sebelum akhirnya berdecak kesal. Dia sampai melempar uang di atas etalase dengan kasar. Setelah itu dia pergi dan saat itu juga Larisa menghela napas.

"Dia Julia kan?" bisik Roy yang sudah berada di samping Larisa.

Larisa mengangguk tanpa menoleh. Dia hanya terfokus pada pesanan para pembeli yang harus ia bungkus.

"Aku heran, kenapa Revan mau pacaran sama wanita seperti itu. Angkuh dan tidak ada sopan santun," seloroh Roy.

Larisa sontak mendesis dan berkedip cepat. "Nggak usah ngomongin orang. Urus saja pembeli tuh!"

Sampai di luar toko, Julia masuk ke dalam mobil sambil memasang wajah manyun. Dia sampai menutup pintu cukup keras membuat pengemudi terjungkat kaget.

"Kamu kenapa, sih?" tanyanya.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau istrimu bekerja di sana?" salak Julia. Saking kesalnya, Julia meletakkan kue dalam kantong plastik itu ke jok belakang dengan kasar.

"Larisa maksud kamu?" tanya Revan santai.

Julia lantas berdecak melihat ekspresi dari Revan. "Oh, atau kamu berniat mengajakku membeli di toko ini karena ada istri kamu?"

Perdebatan terjadi kembali membuat Revan memilih melengos dan melajukan mobilnya meninggalkan area tersebut.

"Kok kamu nggak jawab? Jadi bener kamu memang sengaja?" Julia terus mengoceh.

"Sudah ya, hampir tiap hari kita berdebat nggak penting kaya gini. Lama-lama aku males ketemu sama kamu."

Julia spontan menatap tajam. "Ka-kamu bilang apa? Males? Hei! Aku ini pacar kamu, bisa nggak sih kamu perhatian sama aku?"

Revan tidak menggubris kalimat itu dan memilih fokus menyetir.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel