Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Lima

Bab 5

Revan tidak membawa Larisa ke tempat lain melainkan langsung menuju ke rumah. Tadi, saat dalam perjalanan mereka hanya saling diam dan acuh seperti biasanya. Namun, Larisa sudah memantapkan hati tetap tenang apa pun yang terjadi.

Sampai di halaman rumah, Larisa turun lebih dulu karena begitu masuk pekarangan ia sudah lepas sabuk pengaman. Tidak lama setelah sampai di luar, Revan pun menyusul.

"Mandi dan bawa barang-barangnya ke bawah," kata Revan setelah masuk ke dalam rumah.

Larisa berlari kecil menaiki tangga sementara Revan berbelok arah menuju dapur. Rasa haus yang sedari ia tahan membuat tenggorokan terasa begitu kering.

"Yakin mau pindah?" Tamara menghampiri Revan.

Suara air minum yang perlahan masuk, terdengar jelas dan terlihat manik itu naik turun. Revan kemudian meletakkan gelasnya, barulah menoleh menatap sang ibu.

"Mama pikir aku main-main?" katanya.

Tamara berdecak lalu menarik satu kursi dan langsung ia duduki. Wajahnya nampak gelisah dan tidak tenang. Revan yang tahu pemikiran orang tuanya, balas berdecak kemudian berbalik badan.

"Tunggu, Re," cegak Tamara.

Revan menoleh dengan tampang ogah-ogahan. "Apa lagi, sih, Ma?"

Tamara menatap sendu berharap Revan akan mendengarkan nasihatnya kali ini. "Re, mama nggak mau kamu terus-terusan mengacuhkan Larisa. Dia nggak tahu apa-apa."

Revan kembali berbalik dan mengacuhkan kalimat itu. Tamara hanya bisa menghela napas sembari memandangi punggung Revan yang semakin menjauh.

Sampai di lantai atas, ternyata Larisa sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper besar di sampingnya. Larisa tertegun diam saat melihat Revan datang.

"Panggil pelayan. Suruh mereka yang bawa," perintah Revan.

Larisa mencengkeram gagang koper kemudian dengan cepat bergeser memberi jalan untuk Revan masuk. Setelah Revan masuk dan pintu tertutup, Larisa buru-buru turun ke lantai satu.

"Hei, Ma," Larisa bertemu dengan Ibu mertuanya yang hendak naik.

"Sudah siap?" tanya Tamara.

Larisa mengangguk.

"Pak, Mun! Bantu bawa koper ya!" seru Tamara. Lengkingan suara itu, membuat Larisa meringis karena sempat kaget.

Tidak lama setelah panggilan itu, Pak Mun datang beserta dua pelayan lain. Tentunya mereka sudah diberitahu sebelumnya kalau hari ini Revan akan pindah.

"Kita tunggu di luar," ajak Tamara. Larisa nurut saja.

Mereka berdua berdiri di samping mobil menunggu barang-barang bawaan datang. Tidak lama mereka di situ dan hendak membuka sedikit obrolan, sorot dua lampu mata mobil membuat keduanya menoleh bersamaan. Pras datang tepat sebelum Revan dan Larisa berangkat.

"Sudah mau berangkat?" tanya Pras setelah turun dari mobil.

Tak jauh darinya, Tamara menghampiri dan meraih jas dan tas kerja milik sang suami. "Iya, sebentar lagi," jawabnya.

Dan dari arah pintu ruang tamu, muncul tiga pelayan membawa koper besar dan juga beberapa kardus berisi barang-barang milik Larisa dan Revan. Di belakang mereka, terlihat Revan menyusul sambil membawa mantel berbulu di lengannya. Terlihat juga dia sedang berbicara dengan seseorang di telepon.

"Siapa, Re?" tanya Tamara.

Revan menurunkan tangannya kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Teman," jawabnya.

Larisa merasa penasaran karena raut wajah Revan terlihat serius saat menelepon tadi, tapi percuma juga karena Larisa tidak akan tahu. Jadi, ia memilih pura-pura acuh dengan membantu para pelayan.

"Kemari." Tiba-tiba Pras menarik lengan Revan sedikit menjauh dari yang lain.

Pras melepas tangan itu, dan kini menepuk pundak Revan cukup kuat. "Papa nggak tahu jelasnya kenapa kamu begitu acuh sama Larisa. Mengenai Adikmu itu, itu sungguh bukan menjadi alasan yang tepat. Pokoknya, papa nggak mau ya kamu menjauh hanya karena mau menyakiti Larisa."

"Hm." Hanya itu yang keluar dari mulut Revan. "Sudah kan?" lanjutnya.

Pras sungguh tidak paham yang ada di otak putranya itu. Sepuluh tahunan lebih mengacuhkan Larisa hanya karena Ia menerima donor mata dari Sely. Sely, adik Revan yang sudah pergi dengan tenang. Rasanya sangat-sangat tidak masuk akal jika Revan membenci Larisa karena hal itu.

"Kenapa, Pa?" bisik Tamara saat Pras kembali."

"Nggak apa-apa."

Di hadapan mereka, Larisa sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil lebih dulu kemudian di susul Revan duduk di jok depan.

Tamara menghampiri Larisa saat menyembulkan kaca dari balik jendela kaca mobil. "Hati-hati ya, Sayang."

Larisa tersenyum. "Iya, Ma. Mama sama papa juga jaga kesehatan di rumah."

Perlahan kaca mobil menaik dan Larisa sudah tidak terlihat. Mobil pun perlahan mulai melaju dan Tamara hanya bisa melambaikan tangan sembari merangkul pinggang sang suami.

"Pa," panggil Tamara seraya menarik baju sang suami. "Kira-kira Larisa baik-baik aja nggak ya?"

Pra berdecak kemudian merangkul sang istri--mengajak masuk ke dalam rumah. "Nggak usah khawatir. Mereka akan baik-baik saja."

"Tapi aku kurang percaya sama Revan, Pa."

"Papa tahu. Tapi papa yakin Larisa bisa menanganinya."

"Semoga saja, sih begitu."

Beralih ke mobil yang terus melaju, suasana di mobil terasa senyap. Suasana malam yang sunyi menambah nuansa di dalam mobil seperti tidak berpenghuni. Revan terus fokus menyetir sementara Larisa termenung memandangi lampu jalanan dan juga mobil-mobil yang melintas bergantian.

Larisa tidak begitu terlalu khawatir bagaimana nanti jika sudah sampai di apartemen. Meski hanya tinggal berdua, Larisa percaya Revan tidak mungkin menyakitinya. Maksudnya, Revan mungkin acuh dan galak, tapi mengenai kekerasan fisik, belum pernah Revan lakukan. Yang lebih Larisa khawatirkan saat ini justru wanita seksi yang ia temui di kafe siang tadi.

"Mereka masih menjalin hubungan. Aku bisa apa?" Larisa membatin.

Larisa mengangkat kepala yang semula bersandar di dekat kaca mobil, beralih duduk lebih menegak. Diam-diam tapi pasti, Larisa menoleh ke arah Revan yang begitu serius menyetir. Dia sangat tampan, wajahnya sempurna tidak ada noda atau bekas jerawat sedikit pun. Larisa hanya melihat ada satu tahi lalat di bagian dagu kiri sebelah kiri. Tidak terlalu besar, tapi kalau dekat akan terlihat jelas.

"Aku sangat mengaguminya, tapi kenapa dia sulit sekali aku dekati?" Larisa kembali memalingkan wajah ke arah jalanan.

"Beri aku waktu," kata Revan tiba-tiba.

Larisa spontan menoleh dengan bibir sedikit terbuka. "Apa maksud kamu?" tanyanya kemudian.

"Bukan apa-apa," sahut Revan yang kembali acuh.

Larisa mendengkus lirih dan ikut membuang muka.

"Aku heran kenapa ada manusia sedingin dia," gumam Larisa.

"Kamu ngomong apa?"

"Oh, nggak. Aku nggak ngomong apa-apa, kok," elak Larisa dengan cepat.

"Cih, dia pikir aku nggak dengar," batin Revan.

Satu jam berlalu, mereka sampai di sebuah gedung tinggi yang disebut apartemen. Dilihat dari depan, sudah jelas ini apartemen yang pemiliknya pasti para pesohor kaya raya.

"Buka bagasinya!" perintah Revan dengan cepat.

Larisa mengangguk dan buru-buru berlari kecil menuju pantat mobil.

"Kamu bisa membantu, kan?" tanya Larisa.

Revan masih berdiri santai. "Turunkan saja semua barang-barangnya dulu."

Setelah berkata demikian, Revan melenggak beberapa langkah dan terlihat menelepon seseorang. Huh! Larisa sungguh tidak mau tahu dan tidak akan peduli. Dia sudah jengkel duluan melihat koper besar yang kemungkinan akan ia bawa sampai di ruangan di mana apartemen milik Revan berada.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel