Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 7

"Ada masalah apa?" tanyanya lagi.

"Cepatlah. Aku tunggu di mobil."

Tak butuh waktu lama untuk ia membereskan kiosnya. Hanya menyusun beberapa barang, dan meletakkan kantong sampah di luar. Esok hari, akan ada yang memungutnya. Sebentar saja, dia langsung masuk ke bangku kemudi. Lalu diam, dan membiarkan aku sedikit menenangkan diri.

Aku memejamkan mata sambil bersandar. Kupikir setelah menikah dan menghilang dari rumah itu, tak ada satu pun lagi masalah yang mengganggu. Namun kenyataannya, Mama membenci Kahfi dan keluarganya. Itu sangat menyakitkan. Aku benar-benar tak rela, suami pilihanku diperlakukan seperti itu.

"Erik menghubungimu?"

"No."

"Papa?"

"No."

"Apa yang mengganggu pikiranmu?"

"Entahlah. Jalan saja. Aku benar-benar butuh minuman."

Mobil kembali melaju membelah malam. Jalanan masih terlihat ramai. Banyak kendaraan berlalu lalang, meski tak sepadat saat siang. Kali ini dia kembali membawaku ke bistro seperti biasanya. Kurasa penjaga parkir dan pelayan di sana sudah hafal dengan wajah kami berdua.

"Dua orange jus, dan satu kentang goreng."

Aku melirik ke arahnya, memastikan kalau aku tidak salah dengar.

"Kau...memesan apa?"

"Orange jus."

"Kau bercanda, Kahfi? Kita masuk ke tempat seperti ini hanya untuk minum jus?"

"Sudah, menurut saja." Dia mengangguk pada sang waiters, agar membuat pesanannya.

"Jangan mengada-ada, Fi. Kalau cuma jus jeruk, kita bisa singgah ke minimarket dan membelinya di sana," protesku.

"Kenapa tidak bilang dari tadi? Haruskah kita membatalkan pesanannya?"

"Oh, shit, Kahfi. Kau kenapa? Jangan katakan kalau kau juga melarangku minum dengan alasan kesehatan."

"Ya. Tumben kau pintar."

"Dasar brengsek. Aku mau pulang!" Aku mengambil tas dan langsung bangkit untuk meninggalkan tempat ini. Sialan orang itu.

Aku berjalan dengan sangat cepat, menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Lalu bergegas keluar ke parkiran.

Oh, man! Aku lupa, dia masih memegang kuncinya. Shit! Aku menendang pintu mobil. Aku hanya bisa berjongkok menunggu sampai ia datang. Dia pasti akan segera keluar dan menyusulku.

Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Dua puluh....ouh, oke. Dia baru muncul setelah dua puluh menit, membiarkan aku bolak balik berjongkok dan berdiri. Mungkin saat ini, dia yang sedang mabuk.

Kini aku sedang berkacak pinggang sambil menggoyang-goyangkan sebelah kakiku. Kuharap dia segera berlutut dan memohon maaf. Itupun kalau aku tidak khilaf dan menendang dagunya dengan lututku.

"Sedang apa kau di dalam? Kau tidak tahu sudah hampir setengah jam aku menunggu kau di sini, ha?" rutukku padanya.

"Kau pikir aku bisa menghabiskan dua gelas jus dengan sekali teguk? Belum lagi kentang gorengnya," sahutnya santai.

"Apa? Kau masih bisa bersantai meski tahu aku menunggumu di sini?"

"Aku pikir kau butuh waktu sendiri. Biasanya kalau sudah selesai, kau akan datang sendiri atau menghubungiku."

"Dasar brengsek. Hish..." Aku melemparkan tasku padanya. Lalu berjalan sambil mengehentakkan kaki keluar dari area parkiran.

Aku berjalan menyusuri trotoar jalan di tengah kota. Dengan keadaan malam semakin naik, banyak toko-toko yang sudah mulai tutup. Terkadang berjalan kaki seperti ini bisa membuat moodku kembali membaik. Tentunya aku marasa aman, karena laki-laki yang kini menjadi suamiku itu, selalu mengikuti setiap langkahku.

Selalu saja seperti itu. Tanpa pernah berniat mengganggu air mataku yang kini semakin membanjiri pipi. Oh, my God. Aku benar-benar butuh rokok dan juga alkohol. Dasar Kahfi sialan!

Perjalanan ini membuatku merasa sangat lelah. Kurasa kakiku lecet karena sepatuku yang terlalu tinggi. Aku duduk di trotoar jalan yang sudah sepi dan tak banyak kendaraan yang melewati. Membuka sepatu, dan meletakkannya asal di sampingku.

"Kenapa hanya sampai di sini?" Suamiku muncul dengan tasku yang masih berada di pelukannya.

"Kakiku lecet. Ini sudah terlalu jauh," keluhku lemah. Lalu dia pun ikut duduk di sampingku.

"Kau lelah?"

"Ya."

"Masih mau di sini?"

"Mobil kita tertinggal jauh," ucapku lagi-lagi.

"Tak apa. Nanti kita ambil. Kau mau pulang sekarang?" Aku mengangguk.

"Sudah selesai menangisnya?" Aku kembali mengangguk, sembari menyeka air mata.

Dia kemudian mengalungkan sling bagku ke lehernya, memungut sepasang sepatu, kemudian berjongkok membelakangiku.

"Cepat naik. Sebentar lagi akan turun hujan," perintahnya.

Aku menurut, dan langsung merangkul leher dan naik ke punggungnya.

Kami kembali berjalan melewati jalan yang kulalui tadi. Cukup jauh, dan dia kini berbalik arah sambil membawaku sebagai bebannya.

"Kau pasti lelah, selalu saja melakukan ini kepadaku. Aku selalu saja merepotkanmu, kan?" Aku berbicara tepat di telinganya.

"Ini belum seberapa. Saat mabuk, perjalananmu bisa semakin jauh."

"Dan kau masih kuat menggendongku seperti ini?"

"Kenapa? Kau ingin aku menghubungi Erik saja, dan menjemputmu pulang?"

"Cisis... hentikan itu."

"Ada apa lagi? Kenapa kau menangis?"

Aku kembali terisak. Kali ini dengan menyandarkan kepalaku ke punggungnya.

"Mama menelponku tadi."

"Lalu?"

"Aku membencinya. Aku menyesal bicara padanya." Aku terus merengek.

"Dia memarahimu karena kau menikahiku?"

"Kau sudah tahu?" Dia malah tertawa.

"Semua orang tahu Mamamu tidak menyukai keluargaku. Kenapa mempermasalahkannya?"

"Kau tidak marah?"

"Tidak. Melihatmu bahagia saja aku sudah merasa senang."

"Kau tidak menyesal menikahi wanita sepertiku, kan?"

"Maka jangan buat aku menyesal, dan sia-sia mengorbankan diri. Berbahagialah. Bukankah itu tujuanmu menikah?"

"Tapi aku tak suka jika ada yang menghinamu."

"Tak apa. Aku baik-baik saja. Kau sudah merasa lega sekarang?"

"Kenapa aku tak boleh minum? Apa karena sekarang aku istrimu? Dan kau merasa punya hak mengatur hidupku?"

"Ya."

"Sekali pun?"

"Kalau kau mabuk, bagaimana aku membawamu pulang ke rumah Ibu? Kau ingin kuantar kembali ke rumah Papamu?"

"No, Kahfi. Kau benar. Maaf."

"Kau baik-baik saja meski tanpa alkohol, kan?"

Air mataku kembali mengalir. Sesekali terbang tersapu angin. Dia terus saja berjalan tanpa mengeluh. Dan aku begitu menikmati perjalanan kali ini.

"Kalau kau lelah, turunkan saja. Aku bisa berjalan sendiri," pintaku. Merasa tak tega padanya.

"Kakimu masih lecet. Biasanya kau meronta-ronta saat aku hendak menurunkanmu."

"Benarkah?"

"Kau bahkan menarik dan menggigit telingaku kalau kesal. Rambutku juga tak luput dari amukanmu."

"Aku sekejam itu?"

"Kau juga berteriak sepanjang jalan."

"Apa aku gila?"

"Ya. Kau memang orang gila. Sakit jiwa. Gadis liar. Binal. Tidak punya sopan santun."

Aku tertawa. Kubiarkan saja dia terus mengumpat sepanjang jalan. Mungkin dengan begitu, bobot tubuhku sedikit berkurang dan akan meringankan bebannya.

.

Hari ini aku ada pertemuan dengan teman-teman sosialitaku. Seperti sebuah rutinitas yang biasa kami lakukan semingu sekali, meski hanya untuk sebuah pencitraan buatku. Bertemu dan berkumpul dengan mereka sungguh memuakkan. Hanya membicarakan kelebihan masing-masing, atau barang-barang branded yang baru saja mereka beli. Unfaedah sekali.

Namun sebagai salah satu selebgram, tentu aku harus menjalin hubungan baik dengan banyak orang. Karena dengan citra yang baik, orang-orang lebih bisa menerima, dan bersikap manis di depanku.

Kami berkumpul di sebuah restoran mewah di sebuah mall. Tentu saja, dengan penampilan dan dandanan semenarik mungkin. Membahas apa saja yang membuat semuanya terkikik geli. Apa pun itu, meski harus menceritakan aib teman sendiri.

Tentu pernikahanku juga tak ketinggalan untuk dibahas. Mereka sudah tidak asing lagi dengan sosok Kahfi. Mereka menganggapnya sebagai bodyguard yang selalu datang saat kupanggil.

Tak jarang dari mereka juga menitipkan salam, dan terang-terangan menggoda Kahfi di depanku, dan aku benci itu.

Aku menatap keluar dari balik dinding kaca. Melihat seseorang yang sepertinya sudah tidak asing lagi.

"Oh, sorry. Aku mau ke toilet," ucapku untuk pamit.

Aku mengikuti langkah mereka dari belakang. Seorang gadis, dengan pria setengah tua hampir seusia Papa. Pria itu mengantar hingga ke pintu, sedang gadis itu masuk ke dalam toilet.

"Well, jadi ini anak tiri kesayangan Papa?" Aku berdiri dengan menyilangkan tangan ke dada di depan wastafel. Menunggu Elena keluar dari kamar kecil.

Wajahnya tampak terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan memergokinya di sini.

"Apa kau seorang wanita simpanan? Apa Papaku tidak memberikanmu cukup uang?" decihku.

"Tutup mulutmu. Jangan ikut campur urusanku." Dia terlihat ketakutan.

"Haruskah aku mengadu pada Erik tentang kelakuanmu? Setidaknya dia tak lagi mengurusi hidupku. Kurasa sekarang foto toplessku bukan satu-satunya skandal untuk Papa" Aku tergelak. Dia semakin ketakutan.

"Kau belum puas juga, ha?" rutuknya.

"Apa?"

"Kau sudah mendapatkan segalanya. Semua yang seharusnya menjadi milikku. Semua orang memperhatikanmu. Mamaku, Erik, bahkan Kahfi. Kau belum puas juga? Jangan merasa selalu menjadi korban. Kau yang merebut semuanya dariku." Matanya terlihat memerah menahan sesuatu. Mungkin air mata.

"Kahfi? Apa hakmu menyebut namanya. Kau sudah tahu dia kini menjadi suamiku. Ada hubungan apa antara kau dengannya?" Tiba-tiba saja ada getaran aneh di dada ini.

Mendengarnya menyebut nama Kahfi membuatku merasa terluka.

"Katakan Elena! Ada apa antara kau dan Kahfi!" bentakku.

"Kalau kau ingin tahu, tanyakan sendiri padanya. Dan ingat, jangan pernah ikut campur lagi urusanku."

Dia berjalan melewatiku, hingga menyenggol bahuku dengan kuat. Apa yang sedang dibicarakannya? Dasar jalang!

.

Aku membanting tasku ke atas ranjang. Memikirkan kata-kata Elena barusan. Perasaan apa ini? Kenapa aku membenci saat dia menyebut nama Kahfi. Sejak kapan? Kenapa aku bisa sampai tak tahu? Apa yang kulewatkan dari mereka berdua?

Aku berbaring miring di atas ambal, menghadap ke dinding ranjang. Lampu sengaja kupadamkan untuk menyamarkan air mata yang entah sejak kapan terus mengalir. Kudengar suara pintu terbuka. Langkah kakinya terdengar kian mendekat.

"Kau sudah tidur?" ucapnya, tanpa menyalakan lampu.

Aku ingin sekali diam. Berpura-pura tidur dan melupakan semua kata-kata Elena. Namun debaran jantungku kian bergemuruh dan tak dapat lagi kutahan. Aku tak pandai menutupi suasana hatiku saat ini.

"Fi?" Kupanggil dia yang kini telah berbaring di sampingku.

"Kau belum tidur?"

"Kau yakin, tak pernah ada hubungan apapun dengan Elena?"

************

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel