Pustaka
Bahasa Indonesia

Kurir Langit: Perjalanan Feng Yan Ke Alam Danxia

27.0K · Tamat
Jackie Boyz
21
Bab
68
View
9.0
Rating

Ringkasan

21+ Feng Yan hanya ingin mengantarkan paket tepat waktu. Namun, jalan pintas anehnya justru membawanya ke dunia yang sama sekali lain—dunia xianxia yang penuh dengan kultivasi, siluman, dan pertarungan legenda. Terjebak dan dianggap tidak berbakat, paras tampannya hanya memancing cibiran, hingga suatu hari seorang master yang kejam mencium sesuatu yang lain: kekosongan di dalam dirinya bukanlah kelemahan, melainkan pusaran yang mampu menelan segala energi. Seketika, Feng Yan menjadi buruan. Setiap sekte, dari yang mulia hingga yang jahat, ingin memanfaatkannya sebagai senjata atau wadah. Di tengah bahaya, hanya Huahua, gadis siluman berang-berang yang ceria dan jago membuat pil, yang berdiri di sisinya. Namun, bantuan tak terduga datang dari Master Lan Yi yang misterius dan perkasa—wanita yang memandangnya bukan dengan rasa ingin memiliki, tetapi dengan pengakuan pilu, seolah mengenali jiwa yang telah hilang berabad-abad lalu. Dapatkah Feng Yan bertahan dari nafsu dunia kultivasi yang haus kekuasaan? Bisakah dia menguasai kekosongannya yang unik sebelum dirinya sendiri ditelan olehnya? Dan rahasia apa yang tersembunyi di balik pandangan penuh kerinduan Master Lan Yi, yang mengisyaratkan hubungannya dengan hilangnya dewa kuno?

kultivasiwuxiapendekarNovel MemuaskanMengungkap MisteriKekuatan SuperPetualanganCeritaDrama

Bab 1 Paket Menuju Lorong Bayangan

Tas kurir cokelat yang tergantung di pinggang Feng Yan berdentang mengikuti irama langkahnya yang gesit di trotoar yang ramai. Sepeda motornya yang dicat biru terang—"Sang Kilat Biru"—diparkir dengan setia di ujung jalan, menunggu untuk petualangan berikutnya. Sinar matahari musim panas menyengat, tetapi butiran keringat di pelipisnya lebih disebabkan oleh kecepatannya yang konsisten daripada panasnya cuaca. Feng Yan dikenal sebagai kurir tercepat di distriknya. Bukan hanya karena kelincahannya menghindari kemacetan, tapi juga karena kemampuannya yang hampir keenam dalam menemukan jalan pintas dan rute tersembunyi yang tidak terpikirkan oleh orang lain.

"Hari ini targetnya tiga puluh paket sebelum makan siang," gumamnya pada diri sendiri, mata cerinya yang seperti elang menyapu daftar pengiriman di ponselnya. Senyum tipisnya yang khas, yang telah membuat banyak penerima paket—terutama yang perempuan—tersipu malu, mengembang sedikit. Dia mencintai pekerjaannya. Perasaan menyelesaikan tugas, menjelajahi setiap sudut kota, dan kebebasan yang menyertainya.

Dia baru saja menyelesaikan pengiriman ke sebuah kafe mewah ketika ponselnya bergetar dengan notifikasi baru. Sebuah pesanan masuk, tetapi ini berbeda. Tidak ada nama pengirim, hanya inisial "G.X." Alamat tujuannya samar-samar: "Gang Bayangan, No. 0, di belakang Jalan Kenanga Raya." Bahkan aplikasi pemetaannya tidak dapat menemukan lokasi yang tepat, hanya menunjukkan area umum di pinggiran kota yang sudah tua.

"Gang Bayangan? No. 0? Kedengarannya seperti lelucon," ucapnya skeptis. Namun, bayaran yang ditawarkan untuk pengiriman ini lima kali lipat dari tarif biasa. Itu terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Dengan menghela napas, ia menerima pesanan. "Baiklah, 'Sang Kilat Biru', mari kita lihat apa yang tersembunyi di balik Jalan Kenanga."

Perjalanan ke daerah itu memakan waktu hampir satu jam. Suasana perkotaan yang ramai berangsur-angsur berubah menjadi lingkungan yang lebih sepi dan terabaikan. Gedung-gedung tinggi digantikan oleh gudang-gudang tua dan pagar yang ditutupi graffiti. Jalan Kenanga Raya sendiri adalah jalan besar yang hampir terlupakan, dipagari oleh pohon-pohon beringin tua yang menjulang dan dinding batu yang ditutupi ivy.

Feng Yan melambat, matanya menyisir setiap celah, setiap jalan kecil. Menurut petunjuknya, Gang Bayangan harusnya berada di antara toko perlengkapan bangunan yang sudah tutup dan sebuah losmen yang terlihat bobrok. Dan di sanalah dia melihatnya: sebuah celah sempit, hampir tersembunyi oleh tumpukan kotak kardus dan daun-daun kering yang terbang tertiup angin. Itu bahkan bukan gang, lebih seperti retakan di antara dua bangunan.

Dia memarkir "Sang Kilat Biru" dan mendekati celah itu dengan hati-hati. Udara di sekitarnya terasa aneh, statis dan bergetar halus, seperti sebelum badai petir. Suara kota tiba-tiba meredam, seolah-olah dia telah memasuki gelembung kedap suara. Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan paketnya—sebuah kotak kayu kecil yang diikat dengan tali dan segel lilin merah, tanpa ada tulisan apa pun.

Dengan langkah hati-hati, ia menyusuri lorong sempit itu. Dinding bata di kedua sisinya terasa dekat, seolah-olah bernapas. Cahaya dari ujung jalan mulai memudar, digantikan oleh cahaya keemasan yang lembut dan berdenyut. Dia berhenti. Di ujung lorong, bukan jalan buntu atau halaman belakang yang kumuh, tetapi sebuah lengkungan batu kuno yang ditutupi lumut hijau neon dan ukiran yang rumit dan asing. Ukiran itu bergerak perlahan, berputar seperti roda gigi yang tak terlihat.

Jantung Feng Yan berdebar kencang. Ini tidak masuk akal. Ini mustahil. Setiap naluri dalam dirinya berteriak untuk berbalik dan lari, tetapi rasa ingin tahunya, sifat dasarnya sebagai seorang penjelajah, menariknya maju. Portal itu memancarkan daya tarik yang aneh, sebuah bisikan yang hampir tak terdengar yang menggema di dalam kepalanya.

Dia mengulurkan tangan, jari-jarinya hampir menyentuh permukaan energi yang berkilauan di antara lengkungan batu. Saat itulah kakinya tersandung pada batu longgar. Kehilangan keseimbangan, dia terhuyung ke depan, kotak kayu itu terlempar dari genggamannya. Dunia di sekitarnya meledak menjadi pusaran warna dan suara yang memekakkan telinga. Dia merasa terpelintir, diregangkan, dan ditarik melalui sebuah tabung yang tak ada habisnya. Lalu, kegelapan.

---

Kesadaran kembali kepada Feng Yan dengan sensasi sakit yang menusuk di seluruh tubuhnya dan suara kicau burung yang asing. Dia membuka matanya dan melihat langit yang berwarna ungu lembut dengan dua bulan pucat yang masih terlihat. Dia terbaring telentang di atas hamparan lumut yang lembut dan aneh yang memancarkan cahaya keemasan samar. Udara yang dihirupnya terasa tajam, jernih, dan penuh dengan sesuatu... lain. Itu mengisi paru-parunya dengan energi yang hampir membuatnya mabuk.

Dia segera duduk, matanya melebar karena kaget. Dia tidak lagi berada di kota. Dia dikelilingi oleh hutan purba. Pohon-pohon raksasa dengan kulit kayu seperti perak menjulang tinggi ke langit, daun-daunnya berkilauan dengan embun berwarna pelangi. Jamur raksasa yang bercahaya dengan warna-warna pastel bertaburan di lantai hutan, dan di kejauhan, dia bisa mendengar suara gemericik air terjun dan suara gemerisik makhluk-makhluk yang tidak dikenalnya.

"Di mana... apa..." gumamnya, suaranya serak karena ketakutan dan kebingungan. Dia melihat sekeliling dengan liar. Paket kotak kayunya tergeletak tak jauh, segel merahnya masih utuh. Portal, lorong, kota... semuanya hilang.

Tiba-tiba, semak-semak di dekatnya bergetar. Feng Yan membeku, naluri primitifnya membunyikan alarm. Dari balik dedaunan, seekor makhluk muncul. Itu adalah serigala, tetapi bukan serigala biasa. Bulunya berwarna abu-abu arang dan dari moncongnya menyemburkan napas berkabut yang membuat lumut di tanah membeku. Matanya yang merah menyala menatap langsung padanya, penuh dengan kelaparan dan keinginan membunuh.

Feng Yan tidak berpikir dua kali. Dorongan adrenalin memaksanya untuk berdiri dan lari. Dia menyusuri hutan, kaki yang biasanya lincah di aspal sekarang terhuyung-huyung di atas akar dan bebatuan yang licin. Suara geraman dingin dan langkah kaki yang berat mengejarnya. Dia bisa merasakan hawa dingin makhluk itu menusuk punggungnya.

Dia memutar, menghindar, menggunakan kelincahan alaminya untuk tetap selangkah lebih maju. Namun, makhluk itu lebih cepat dan lebih kuat. Dia terpojok di tebing batu yang curam, tanpa jalan keluar. Makhluk serigala es itu mendekat, menggeram, air liur beku menetes dari giginya yang tajam.

Dalam kepanikan, Feng Yan meraba-raba tebing di belakangnya, berharap menemukan pegangan. Tangannya menyentuh sesuatu yang halus dan dingin—sebuah simbol yang terukir pada batu, tersembunyi oleh lumut. Simbol itu menyala dengan cahaya kebiruan saat disentuhnya. Dengan suara gemuruh yang rendah, sebagian tebing terbelah, membukakan jalan sempit yang sebelumnya tersembunyi.

Tanpa pikir panjang, dia menyelipkan tubuhnya ke dalam celah itu tepat ketika makhluk itu menerjang. Batu itu menutup kembali dengan erat, memutuskan teriakan frustrasi makhluk itu. Feng Yan terhuyung ke depan, jatuh ke lututnya. Dia tidak lagi berada di hutan yang berbahaya. Dia berada di sebuah lembah kecil yang tersembunyi. Udara di sini bahkan lebih murni, penuh dengan wangi bunga dan herba yang tidak dikenal. Energi di udara terasa begitu padat sehingga hampir bisa dipegang. Di depannya, terhampar ladang herba yang ditata rapi, dan sebuah pondok kecil dengan atap jerami. Ini adalah tempat kedamaian dan ketenangan yang sempurna.

"Dengan Jinchu, siapa yang mengganggu kedamaian Elder Ming?" sebuah suara yang dalam dan berwibawa menggema.

Feng Yan menoleh dan melihat seorang lelaki tua berjanggut panjang dan perak, mengenakan jubah sederhana namun bersih, sedang berdiri di depan pondok. Mata lelaki itu tajam dan bijaksana, memandang Feng Yan dengan rasa ingin tahu dan kewaspadaan yang mendalam.

"Tuan... saya... saya tersesat," kata Feng Yan, masih terengah-engah, bahasanya campur aduk antara ketakutan dan kebingungan.

Elder Ming mendekat, matanya menyapu Feng Yan dari kepala hingga kaki. "Tersesat? Nak, kau tidak hanya tersesat. Aura-mu... kau bukan dari dunia ini. Dari mana asalmu?"

Sebelum Feng Yan bisa menjawab, suara lain, cerah dan menggoda, terdengar dari atas pohon di dekatnya.

"Wah, Elder Ming, dapat barang bagus nih! Dan yang sangat tampan lagi!"

Feng Yan mendongak. Duduk di dahan pohon adalah gadis paling memesona yang pernah dilihatnya. Dia terlihat berusia delapan belas atau sembilan belas tahun, dengan mata besar yang berkilau seperti madu dan rambut hitam panjang yang dihiasi bunga-bunga liar. Senyumnya nakal dan menawan, penuh dengan janji kenakalan. Dia mengenakan gaun sederhana dari daun dan sutera yang terikat longgar, memperlihatkan bahunya yang halus.

"Huahua, jangan kurang ajar," tegur Elder Ming, tapi nada suaranya lebih pada rasa kesal yang biasa.

Gadis itu—Huahua—melompat turun dari dahan dengan gerakan anggun yang tidak wajar, mendarat tanpa suara di depan Feng Yan. Dia mendekat, hidungnya yang mungil hampir menyentuh leher Feng Yan, dan mengendus-endus.

"Mmm... baunya aneh. Seperti besi dan asap. Tapi... tidak terlalu buruk," katanya, matanya berkedip nakal. "Aku Huahua dari Klan Berang-Berian Sungai Moonwhisper. Dan siapa namamu, Manisku?"

Feng Yan tersipu, mundur selangkah. "Saya... saya Feng Yan."

"Feng Yan," ucap Huahua, mencoba namanya. "Suku kata yang bagus. Kau akan tinggal? Aku bisa menunjukkannya... banyak hal." Dia mengedipkan mata.

"Huahua!" suara Elder Ming lebih tegas sekarang. "Dia jelas bingung dan ketakutan. Pergilah, jenggot tupai tua itu atau apa pun yang kau lakukan ketika kau seharusnya berlatih."

Huahua mendelik, tapi senyumnya tidak pudar. Dia menoleh ke Feng Yan. "Nanti kita bertemu lagi, Kurir Tampan. Jangan lupakan aku!" Dia berbalik, dan dalam sekejap, tubuhnya menyusut, berubah, dan berubah warna. Di tempatnya berdiri sekarang seekor berang-berang kecil dengan bulu cokelat mengilap dan mata hitam yang cerdas. Ia mendengus pada Feng Yan sekali lagi sebelum berjalan dengan lucu ke arah sungai kecil di dekatnya dan meluncur ke dalam air.

Feng Yan hanya bisa menatap, mulutnya terbuka. Siluman. Berang-berang. Dunia ini semakin gila.

Elder Ming menghela napas. "Maafkan dia. Klan Berang-Berian dikenal karena... semangat mereka yang langsung dan agak bandel. Sekarang, nak," katanya, menatap Feng Yan dengan serius. "Kau terjebak di sini. Portal yang membawamu ke sini adalah fenomena kuno dan tidak stabil. Jalan pulang... tidak mudah, bahkan mustahil."

Kata-kata itu menggantung di udara yang berenergi, berat dengan implikasi yang menghancurkan. Feng Yan memandangi kotak kayu yang masih dia genggam erat-erat, lalu ke wajah bijaksana sang Elder, dan kemudian ke arah di mana berang-berang cantik itu menghilang. Rasa takutnya perlahan digantikan oleh rasa kagum yang dalam dan penerimaan yang aneh. Dia terjebak. Di dunia yang penuh dengan kultivasi, siluman, dan makhluk ajaib.

Dia menarik napas dalam-dalam, udara berenergi memenuhi paru-parunya. Dia merasakan sesuatu di dalam dirinya, sebuah potensi yang sebelumnya terpendam, bergetar selaras dengan dunia barunya.

"Kalau begitu," kata Feng Yan, suaranya lebih mantap dari yang dia duga, "Saya perlu mencari cara untuk bertahan hidup di sini. Apakah... apakah sekte Anda menerima murid baru?"