Bab 2 Insiden
Bab 2 Insiden
"Aku percaya, harapan adalah hal yang paling berbahaya."-Maze Runner
Satu tahun yang lalu ...
"Gila, kamu mau nguras semua uangku?!" Kelana meledak seketika saat Adel menunjuk sebuah high heels merah menyala dengan taburan berlian di layar tivi. Yang membuat Kelana melongo adalah harga yang tertera, harganya bahkan melebihi harga aparteman yang dia sewa.
"Yang benar saja, deh." Kelana mendelik. "kamu juga tahu keadaan keuanganku. Mana punya uang sebanyak itu. Kalau pun punya, aku tidak akan beli sepatu setan itu."
Adel memutar bola mata. "Duh, Lan. Itu high heels bukan sepatu."
"Sama saja!"
Adel menatap Kelana memohon. "Tapi aku ingin high heels itu. Cantik sekali. Unlimited lagi. Cuma ada seratus di dunia. Bayangin coba."
"Adel, waras deh. Waras!" Kelana mengguncang bahu sahabatnya. "Itu harganya mahal sekali. Sampe dua ratus juta. Aku mana ada uang segitu?! Lagi pula ogah sekali memberi hadiah ulang tahun padamu. Sudah besar juga."
"Aku tidak nyuruh kamu membelikan high heels itu, aku sadar kalau kamu itu misqueen(miskin)."
Kelana mendelik marah.
Adel langsung tersenyum sangat lebar. "Bercanda!"
"Terus, maksudnya memperlihatkan sepatu setan itu apa? tidak mungkin 'kan kamu datang ke aparteman aku cuma untuk memberi tahu hal tidak guna seperti ini."
"Bukan sepatu setan, Lana, ih. High heels dengan tampilan cantik, pasti para pemakainya akan terlihat cantik."
"Stop! Berhenti mengkhayal." Kelana membekap mulut Adel. "Sekarang katakan. Apa maksud kedatangan kamu ke sini?"
Adel menatap sahabatnya penuh permohonan. "Temani aku ke mall, ya? Gema pergi keluar kota, Bang Azra juga tidak bisa. Cuma kamu satu-satunya orang yang bisa aku mintain tolong."
"Untuk apa ke mall?"
"Untuk lihat Red High Heels. Katanya akan dilelang, meski aku tidak akan mendapatkan itu high heels, tapi 'kan senggaknya aku bisa lihat Red High heels."
"Tidak mau!"
"Yah, kok gitu sih, Lan. Cuma menemani saja. tidak minta dibelikan juga."
"Pokoknya tidak. Jam tiga nanti aku ada pemotretan nih."
"Aku antar kamu ke studio. tidak lama kok, Lan. Sebentar sekali. Cuma lihat saja."
Kelana menatap Adel ragu, sahabatnya itu tampak menyedihkan dengan tatapan anehnya. Jika dia tidak menuruti keinginan Adel, pasti sahabatnya itu akan membayanginya seperti hantu penasaran, tetapi sore ini dia ada jadwal pemotretan dengan Cecillia. Jika tidak datang pasti Reyhan akan marah besar padanya, apalagi Cecillia merupakan model terkenal.
"Tidak akan lama, kan?"
Adel mengangguk terlalu kuat. Matanya berbinar saat menatap Kelana. "Ahhhh, Lana, makasih sekali!!" Perempuan itu memeluk Kelana terlalu erat hingga perempuan itu susah bernapas.
"Lepas sebelum aku berubah pikiran!"
Buru-buru Adel melepaskan pelukannya lalu tersenyum sangat lebar. Dengan riang dia menarik tangan Kelana lalu membawanya pergi ke tempat tujuan.
Mall sangat ramai ketika Kelana dan Adel tiba di toko yang dimaksud Adel. Kelana ingin berbalik pergi tapi ditahan Adel.
"Penuh, Del. Mana bisa kita masuk ke dalam."
Adel terus menarik tangan Kelana. "Bisa. Pegangan padaku."
Kelana hanya memutar bola mata, sama sekali tidak heran saat Adel dengan mudahnya berhasil maju ke depan. Kelana berusaha mempertahankan diri di antara desak-desakan, bagaimana pun juga pertahanan dirinya sangat lemah.
"Whoah, gila. Cantik sekali. Kalau aku jual mobil pasti aku ..."
"Pasti kamu langsung diusir sama orang tuamu! Udah ah, kamu sudah lihat 'kan? Kita pergi sekarang."
"Tunggu dulu dong. Aku masih ingin lihat." Adel terlihat seperti orang gila sekarang. "Lihat warnanya, Lan. Indah. Berliannya juga. Sara Bennedict memang sangat pintar mendesain."
Pusing mendengar ocehan Adel, Kelana melihat ke sekitar. Semua yang datang kebanyakan perempuan, mulai dari kelas bawah hingga atas. Tatapan mereka tidak jauh berbeda dengan Adel. Padahal Kelana pikir high heels itu tidak bagus-bagus sekali. Hanya ada berlian di sekeliling high heels, tapi bagi Kelana itu hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Kelana kembali memusatkan perhatian ketika mendengar lenguhan semua orang ketika pelayan datang mengambil high heels tersebut ke dalam ruang privasi.
"Ahhh, high heelss aku ... baru saja sebentar."
"Yang penting kamu sudah lihat. Ayo pulang!"
"Tunggu! Aku ingin tahu siapa yang beli."
Kelana menahan kesal. Apa Adel tidak cukup melihat high heels selama satu jam penuh? Dan sekarang, sahabat gilanya itu ingin tahu siapa yang membeli? Astaga, Kelana heran dengan kelakuan Adel.
"Tidak disebutin tuh yang beli siapa. lebih baik kita pulang saja. Ayo, aku telat nih. Kalau Reyhan marah, kamu yang tanggung jawab."
"Tapi, Lan--"
Kelana menyeret paksa Adel menjauh dari toko dan pergi turun. Namun saat dia melangkah, tiba-tiba matanya menangkap sosok laki-laki berjas tengah berjalan bersama seorang laki-laki paruh baya.
"Sial!" umpat Kelana.
"Gila, bukannya itu Raga? Untuk apa dia di sini?"
"Aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu. Ayo, lewat sana saja."
Adel menurut, mereka berjalan sejauh mungkin dari Raga. Bisa kacau jika Raga melihat keberadaan Kelana. Untuk menghindari Raga, mereka sampai berkeliling mall hingga memastikan kalau laki-laki yang sedang mereka hindari tidak akan melihat Kelana.
"Sepertinya dia mau meeting sama rekannya kali."
Kelana hanya mengangguk acuh tak acuh, dia mendesah kesal saat melihat jam tangan. Pukul tiga lebih, gara-gara Raka dia jadi terlambat pergi ke studio.
"Yah, si Reyhan pasti marah lagi." Kelana mendelik menatap Adel. "Gara-gara kamu nih. Kalau kamu tidak ngajak aku ke sini, aku tidak akan telat dan terutama. Aku tidak akan lihat Raga."
Adel menunduk. "Maaf. Kenapa sih kamu tidak mau ketemu sama calon kakak ipar kamu sendiri?"
Kelana mendelik.
"Jangan-jangan kamu masih punya rasa ya sama Raga, makanya kamu menghindari dia."
"Duh, Del. Imajinasi kamu itu keterlaluan. Apa aku kelihatan gagal move on?"
Adel mengangkat bahu. "Ya habisnya, tiap kali ketemu atau lihat Raga, kamu selalu menghindar terus."
Kelana melirik Adel lalu mendesah. "kamu juga tahu kenapa alasannya, Del."
Sesaat Adel terdiam, teringat alasan yang dikemukakan Kelana setiap kali Adel bertanya tantang Raga. "Terus, kenapa sampai sekarang kamu belum punya pacar? Raga sama Putih pasti semakin curiga kalau kamu masih punya perasaan sama Raga."
Kali ini Kelana yang terdiam. "Yang jelas, perasaan aku sudah mati untuk Raga."
Mereka tiba di pelataran mall, melihat ke sekeliling. Tidak ada taksi yang lewat. Adel langsung mendesah kecewa.
"Yah, alamat kamu tidak bisa masuk kerja ini mah." Adel tersenyum sangat lebar pada Kelana. "Lan, kamu oke 'kan?" Adel bertanya saat melihat raut wajah Kelana yang berubah mendung.
"Aku tidak tahu harus berkata apa sama kamu." Kelana membalas pandangan Adel marah. "Kalau aku dipecat sama Reyhan gimana?! Ya ampuun, Adelia Julia Bunga!"
Adel tertunduk. "Maaf."
Kelana menggersah, percuma juga marah-marah. Toh dia tetap terlambat juga, dan mungkin saja dipecat dari pekerjaannya sebagai penyiar radio.
"Lana?" panggil seseorang.
Kelana refleks menoleh ke belakang, sesaat dia tertegun melihat keberadaan Raga di belakang.
"Rupanya benar. Aku tidak salah mengenali kamu." Perlahan Raga berjalan cepat menghampiri Kelana. "Apa kabar? Kata Putih kamu jarang sekali pulang ke rumah."
Kelana tersenyum kaku. "Rumah jauh dari tempat kerja." Dia menyahut asal.
"Mama sama Papa cemas karena kamu jarang pulang."
Kelana menatap Raga kesal. "Jangan pernah ikut campur dengan urusanku. Aku pulang atau tidak pun bukan masalah untuk kamu."
"Tapi Putih selalu mikirin kamu. Dia cemas." Raga ngotot. "Apa kamu sengaja tidak pulang untuk menghindariku? Kenapa?"
"Apa? Jangan kegeeran deh, apa aku semenyedihkan itu sampai tidak bisa move on dari kamu?"
"Terus? Kenapa tiap kali lihat aku, kamu pergi?"
Kelana memutar bola mata. "Duh, Bapak Raga yang terhormat. Soalnya saya muak lihat wajah kamu."
"benar tuh." Adel ikut nimbrung. "Asal kamu tahu saja, Lana sudah punya pacar. Lebih baik dari kamu, lebih tampan, yang jelas lebih kaya dari kamu."
Raga menatap Kelana dan Adel bingung, sedangkan Kelana shock. Sejak kapan Adel pintar berbohong?
"Kamu pikir aku akan percaya?"
Adel geram. "Apa aku kelihatan bohong?" Hilang sudah sopan santun Adel, dia melihat ke depan. "Nah, itu pacarnya datang." Kemudian dia mendorong Kelana secara tiba-tiba saat melihat seorang laki-laki tampan tengah berjalan ke arah mereka dari arah depan pelataran mall.
Pertahanan Kelana memang lemah, saat dia didorong secara tiba-tiba oleh Adel, maka dia langsung oleng. Hampir saja terjatuh andaikan seseorang tidak menahan tubuhnya. Jantung perempuan itu berdegup sangat kencang, bersyukur bibirnya tidak mencium aspal.
Lain kali, ingatkan dirinya untuk membalas perbuatan nista sahabat sintingnya.
"Ma-maaf ..." Kelana mengadah, menatap sepasang mata hazel yang juga tengah memandangnya terkejut. Jantung Kelana berdetak semakin cepat saat melihat bibir laki-laki itu terbuka sedikit seolah ingin mengatakan sesuatu.
Kelana hendak berdiri tegak namun tanpa diduga, lagi-lagi seseorang mendorong Kelana dari belakang hingga posisi Kelana dan laki-laki itu semakin dekat. Sekilas Kelana melihat kantung belanja yang dibawa laki-laki itu terlempar cukup jauh.
"Maaf, saya tidak sengaja." Seseorang berkata. "Duh, Karan, aku lagi diluar nih ... sekali lagi maaf." Kemudian orang itu pergi begitu saja.
"Duh, apa-apaan coba?!" Kelana menggersah, tanpa dia duga jarak wajahnya dengan laki-laki itu sangat dekat, bahkan Kelana bisa merasakan embusan napas laki-laki itu di atas wajahnya.
"Lana?" Raga berjalan mendekat, seolah ingin menarik Kelana.
Kelana mendadak ketakutan, secara refleks dia mengalungkan tangan ke leher laki-laki itu, lalu tanpa permisi mencium bibir laki-laki itu cukup lama. Sekilas Kelana melihat raut terkejut di wajah laki-laki itu.
Jelas, desah Kelana. Siapa yang tidak akan terkejut bila dicium oleh orang asing di tempat umum pula. Tapi ini jalan satu-satunya agar dia bisa lepas dari Raga.
Lima detik kemudian Kelana melepaskan ciumannya. Dia tidak melakukan hal lebih selain menempelkan bibir ke bibir laki-laki itu.
"La-lana? Bagaimana bisa? Kenapa kamu?" Raga terlihat sangat terkejut, begitu juga Adel yang melongo.
Kelana berbalik lalu tersenyum sangat lebar. "Dia pacarku. Lebih baik kamu tidak bertanya omong kosong, dan yang jelas. Jangan pernah berusaha menemuiku lagi."
Raga terdiam sesaat. "Aku akan menemuimu lagi nanti." Kemudian tanpa berkata apa pun lagi dia berjalan pergi.
Kelana mendesah lega, satu masalah akhirnya pergi. Tetapi dia hampir melupakan keberadaan laki-laki yang baru saja dia cium. Mendadak otaknya waspada. Menatap laki-laki tampan itu dengan horor.
"S-saya ..." Mata Kelana semakin terbelalak saat melihat kantung belanja yang dibawa oleh laki-laki itu rupanya berisi Red High Heels yang diidamkan oleh banyak perempuan. Sedetik kemudian sebuah mobil melintas, menghancurkan high heels harga ratusan juta tersebut.
Mulut Kelana menganga seketika, dia bahkan tidak sanggup melihat laki-laki itu.
Habislah sudah. Mana tabungan Kelana sedang kosong.
"Namamu Kelana, ya?" Suara laki-laki itu terdengar begitu dingin. "Kamu baru saja mencium saya tiba-tiba dan sekarang? Sepatu itu ..."
Saat Kelana menatap laki-laki itu, dia tahu bahwa laki-laki itu ingin menelannya saat ini juga saking marahnya.