Sidang Keluarga
Di ruang tamu rumah mertua, kami diam dengan pikiran masing-masing menunggu kedatangan Mas Fandi. Ada Mbak Sisi dan Mas Iksan suaminya, juga ada Mas Hendra dan Mbak Yuni. Aku memang sengaja kesini, dan meminta semua keluarga Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dengan bukti-bukti pernikahan Mas Fandi, aku menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari perselingkuhan pertama yang sudah aku maafkan. Ibu mertua tampak shock mendengarkan apa yang aku bicarakan tadi.
Tak lama kemudian terdengar suara mobil, ternyata Mas Fandi yang datang. Tadi Mas Hendra menelpon Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dia tampak terkejut melihat kami berkumpul.
"Ada apa ini?" tanya Mas Fandi yang baru masuk ke ruang keluarga.
"Duduk dulu Fandi," kata Mas Hendra yang mempersilahkan Mas Fandi untuk duduk. Mas Fandi pun menuruti ucapan Mas Hendra.
Mas Fandi duduk dengan perasaan bingung. Menatap semua orang yang ada di ruangan. Ia menatapku dengan tatapan tajam. Pasti dia sudah menebak, kalau ini tentang perselingkuhan yang ia lakukan. Mas Hendra menarik nafas panjang dan melanjutkan berbicara.
"Apa benar kamu sudah menikah lagi dengan Leni?" tanya Mas Hendra lagi.
Mas Fandi sangat terkejut mendengar pertanyaan dari Mas Hendra. Semua menatap tajam ke arah Mas Fandi.
"I..iya benar," jawab Mas Fandi.
"Kenapa?" tanya Mas Hendra lagi
"Leni Hamil." Mas Fandi menjawab sambil menunduk.
"Astaghfirullahaladzim, Fandi. Kamu kok bikin malu keluarga sih. Apa kata orang-orang kalau tahu kamu menghamili perempuan lain. Kok bisa-bisanya kamu berzina. Waktu kamu melakukan zina, apa kamu nggak mikir perasaan Anis? Kamu nggak mikir juga kalau kamu punya anak perempuan? Bayangkan kalau Anggi, anak yang katanya sangat kamu sayangi, ternyata disakiti suaminya dengan menikah lagi! Kamu mikir nggak sampai ke situ?" kata Mas Hendra dengan nada marah dan emosi. Mbak Yuni yang duduk disebelahnya memegang tangan Mas Hendra. Mungkin meminta Mas Hendra untuk menahan emosinya. Mas Hendra menarik nafas panjang.
Mas Fandi hanya menunduk. Entah apa yang ada di pikirannya. Pasti ia marah padaku karena mengadu pada keluarganya.
"Kamu kok nggak mikir sih Fandi! Apa yang terjadi, kalau orangtua Anis tahu masalah ini? Ibu sudah tua, kenapa kamu tambahi dengan masalah seperti ini?" Ibu ikut bicara. Suaranya tampak berat, mungkin juga menahan emosi mendengar pengakuan anak lelakinya.
"Anis nggak ngasih izin aku menikah lagi, jadi kami menikah siri." Mas Fandi membela diri. Dia mengangkat kepala dan menatap tajam padaku. Aku tetap berusaha tenang.
"Kok jadi aku yang disalahin? Kamu selingkuh pertama kali sudah aku maafkan. Karena aku memikirkan perasaan anak-anak. Eh malah kamu yang nggak pernah mikirin bagaimana perasaan mereka. Maaf, aku bukan perempuan yang berhati seluas samudra, yang memberi izin suaminya menikah lagi." Aku menjawab dengan emosi. Mas Fandi kaget karena aku menyebut dia dengan kamu. Maafkan hambaMu ya Allah, kalau hamba durhaka pada suami.
"Tapi dalam Islam poligami itu kan boleh." Mas Fandi masih ngotot membenarkan perbuatannya.
"Memang boleh, tapi tidak dimulai dengan melakukan zina. Ingat, kamu itu PNS. Aku bisa melaporkan ini dan membuat kamu dipecat," kataku masih dengan emosi. Yang lain hanya menjadi pendengar saja.
"Sekarang maunya apa? Bercerai?" kata Mas Fandi seolah menantangku. Aku semakin emosi mendengar tantangan Mas Fandi.
"Oh, jadi kamu menginginkan perceraian? Enak sekali kamu. Sudah berselingkuh sampai nikah siri, terus bercerai. Kalau bercerai, kamu nggak bakal mau membantu membiayai sekolah anak-anak," kataku dengan nada yang tinggi.
"Kamu ingat ini?" kataku sambil menunjukkan selembar kertas berisi perjanjian diatas materai. Mas Fandi terkejut, wajahnya pucat pasi. Ia tampak gugup.
"Apa itu?" tanya Mbak Sisi sambil mengambil kertas yang ada di tanganku. Matanya langsung melotot membaca apa yang ada di kertas tersebut.
Surat perjanjian diatas materai yang ditandatangani oleh Mas Fandi dan Leni, dengan saksi Sandra, Adi dan pegawai hotel. Isinya bahwa mereka tidak akan berhubungan lagi. Kalau ternyata Mas Fandi berselingkuh lagi, semua harta jatuh ke tanganku. Rumah, tanah beberapa kapling, usaha kolam ikan, kontrakan sepuluh pintu dan mobil yang biasa aku pakai. Mobil mas Fandi tetap milik Mas Fandi. Aku membuat perjanjian itu untuk membuat Mas Fandi jera sehingga tidak melakukannya. Ternyata malah Mas Fandi sampai menikahi selingkuhannya. Sungguh-sungguh sangat keterlaluan kelakuan Mas Fandi.
"Gila kamu Anis! Kamu serakah sekali," teriak Mbak Sisi sambil menyerahkan surat perjanjian dengan Mas Hendra dan Mbak Yuni.
Mas Hendra kaget membacanya sedangkan Mbak Yuni tersenyum sambil melirik padaku. Sepertinya Mbak Yuni setuju dengan apa yang aku lakukan.
"Surat itu ditandatangani dengan penuh paksaan. Jadi tidak sah," teriak Mas Fandi.
"Saat itu aku membuat pilihan, menandatangani surat ini atau aku laporkan ke polisi. Perselingkuhan dan zina. Tapi kamu memilih untuk menandatanganinya," jawabku dengan tetap berusaha tenang.
"Karena sekarang Mas Fandi sampai menikahi perempuan mur*h*n itu, berarti kesalahannya sangat fatal. Silahkan pilih bercerai tapi Mas Fandi aku laporkan ke atasan dan inspektorat serta BKD, atau tetap menikah siri tapi gaji bulanan dan tunjangan lain untuk aku dan anak-anak," kataku dengan tenang.
Semua kaget mendengar ucapanku. Aku tidak main-main dengan ucapanku. Mas Fandi tertunduk lesu.
"Bagaimana aku bisa memberi nafkah pada Leni?" kata Mas Fandi.
"Itu urusan kamu Mas. Seharusnya sebelum bertindak dipikirkan masak-masak dulu. Emang enak ya punya istri dua?" kataku dengan sengit.
Mas Fandi meremas rambutnya, menandakan kalau dia kesal dan bingung menghadapi masalah ini.
"Kamu perempuan tidak tahu diri. Kamu ingin menguasai harta adikku. Dasar perempuan matre," kata Mbak Sisi sambil merebut surat perjanjian ditangan Mas Hendra dan merobeknya. Aku tersenyum, aku sudah mengantisipasi kejadian ini.
"Sebagai perempuan Mbak Sisi seharusnya bersimpati padaku. Atau jangan-jangan Mbak Sisi sudah mengetahui kalau Mas Fandi menikah Siri," kataku sambil menatap Mbak Sisi.
"Jangan sembarangan kalau berbicara. Perjanjian itu tidak berlaku karena sudah tidak ada." Mbak Sisi menjawab dengan penuh kemenangan.
"Coba pikir Mbak, seandainya Mas Iksan menikah siri tanpa sepengetahuan Mbak, apa Mbak ikhlas dan ridho? Jangan mentang-mentang Mas Fandi adiknya terus perbuatan salah masih dibela juga. Mengenai semua harta itu, akan aku pergunakan untuk membiayai sekolah anak-anak sampai mereka mandiri. Aku yakin kalau Mas Fandi sudah bersama gundiknya, tidak akan ingat dengan Angga dan Anggi. Apalagi sudah mau punya anak lagi. Surat perjanjian yang asli ada di tanganku, yang Mbak sobek itu hanya kopiannya saja." Aku menjawab dengan tenang dan senang meskipun sedikit emosi.
Mbak Sisi melihat sisa kertas yang disobeknya dan merasa kesal.
"Fandi, keputusan ada ditanganmu. Bagaimanapun juga disini yang melakukan kesalahan fatal itu kamu. Kami hanya menjadi saksi saja, karena yang menjalaninya nanti ya kamu sendiri. Berani berbuat berani bertanggung jawab" kata Mas Hendra dengan bijak.
