Serba Salah
Siang ini Bu Wulan, ibu mertua Novi datang berkunjung ke rumah Novi. Ia membawa buah-buahan untuk cucunya, Dina. Bu Novi memang sangat sayang pada cucu-cucunya, termasuk dengan anaknya Alif, Irvin dan Elisa.
"Terima kasih, Nek," kata Dina ketika menerima buah anggur dan jeruk dari neneknya.
Kemudian Dina memakan anggur sambil menonton televisi. Novi kebelakang untuk membuatkan teh mertuanya.
"Sudah berapa bulan kandunganmu Nov?" tanya Bu Wulan. Novi sedang menghidangkan teh di meja.
"Delapan bulan, Bu."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Kemarin di USG terlihat laki-laki."
"Laki-laki atau perempuan, sama saja. Yang penting sehat. Toh kita tidak bisa memilih laki-laki atau perempuan."
"Benar, Bu."
Bu Wulan mengambil gelas berisi teh yang dihidangkan oleh Novi. Kemudian meminumnya. Novi mengamati ibu mertuanya yang menurutnya sangat cantik dan anggun. Sepadan dengan bapak mertuanya yang bijaksana.
"Ahmad masih sering keluar malam? Kumpul dengan teman-temannya?" tanya Bu Wulan.
Novi bingung mau menjawabnya. Ia tidak mau mengadukan kelakuan suaminya. Walaupun ia yakin kalau mertuanya akan berpihak padanya. Tapi nanti kalau mertuanya memarahi Ahmad, kemudian Ahmad akan melampiaskan kepada Novi. Sebagai istri yang baik, Novi akan selalu berusaha menutupi aib suaminya.
"Kadang-kadang, kok, Bu."
"Benar?" selidik Bu Wulan, karena ia yakin kalau Novi menutupi kelakuan Ahmad.
"Iya, Bu."
"Mudah-mudahan ia berubah ya? Ibu pusing memikirkan kelakuan Ahmad. Beda sekali dengan masmu Alif. Tapi kalau Alif, yang banyak tingkah itu malah si Vera."
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.
Bu Wulan menarik nafas panjang.
"Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya."
"Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."
Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung mau mengomentari apa. Takut salah, malah menjadi bumerang bagi dirinya.
"Beruntung sekali kamu, Nov. Usaha di rumah masih bisa tetap mengawasi Dina."
"Alhamdulillah, Bu. Terima kasih karena Ibu yang mengusulkan dan memberi modal untuk usaha ini," kata Novi dengan tulus.
"Ibu hanya memberi modal, yang menjalankan itu kamu. Kalau kamu tidak pandai mengelola usaha ini, belum tentu bisa maju seperti ini."
Mereka pun melanjutkan mengobrol. Bu Wulan merasa sangat cocok jika berbicara dengan Novi. Karena Novi tidak pernah membantah kata-kata mertuanya. Bu Wulan merupakan mertua idaman Novi, begitu juga sebaliknya.
***
Hari sudah sore, Novi bersiap-siap untuk mandi. Dari tadi ia sibuk membungkus tepung terigu dalam plastik berukuran seperempat dan setengah kilo. Novi selalu membeli tepung terigu satu karung, baru kemudian dibungkus sendiri oleh Novi. Orang-orang disini senang membeli tepung terigu curah daripada kemasan.
Novi berjalan masuk ke ruang keluarga, ia melihat anaknya, Dina, sudah bersih dan wangi.
"Dina sudah mandi?" tanya Novi.
"Sudah, Bu," jawab Dina yang masih asyik bermain dengan bonekanya.
"Tolong jaga warung dulu, ya Nak. Ibu mau mandi." Novi meminta tolong pada Dina.
"Iya, Bu. Mandinya jangan lama-lama, ya?" pesan Dina.
"Iya," jawab Novi sambil berjalan menuju ke kamar mandi.
Selesai mandi tampak Ahmad sudah pulang dari toko. Ia membantu orang tuanya di toko bangunan yang cukup laris di daerah mereka.
"Baru pulang, ya Mas. Mau kopi atau teh?" tawar Novi pada Ahmad.
"Kopi saja. Aku mau mandi dulu."
Novi segera membuatkan kopi untuk Ahmad, dan meletakkan di meja.
"Bu, ada yang beli," panggil Dina.
Novi segera ke warung untuk melayani pembeli. Ada Bude Warni yang mau membeli telur.
"Sekalian terigu, sarden sama soun," kata Bude Warni.
Novi mengambil barang-barang yang disebutkan Bude Warni.
"Berapa semuanya," tanya Bude Warni.
Novi menyebutkan jumlah uang dan Bude Warni membayarnya. Menjelang Maghrib, ia menutup sebentar warungnya. Biasanya kemudian ia akan membuka lagi warungnya sampai jam sembilan malam.
Sampai magrib, Ahmad belum juga pulang. Novi merasa sangat was-was. Selesai makan malam, Novi menelpon Ahmad.
"Mas, kok belum pulang? Mas kemana?" tanya Novi.
"Ke rumah teman, sebentar lagi pulang." Ahmad menjawab dengan ketus. Ia merasa jengkel karena istrinya menelpon. Kemudian ia menutup telponnya.
"Kayak anak kecil saja, kemana-mana dipantau istri, haha," ledek Fadly teman Ahmad.
"Itu namanya istri yang perhatian," sahut Edi, yang kemarin habis mendenda Pak Tejo. Tentu saja Edi sekarang punya modal banyak untuk berjudi.
"Sudah, nggak usah banyak komentar. Ayo lanjutkan lagi," kata Ahmad dengan bersemangat.
Mereka terlarut dalam kegiatan yang mengasyikkan bagi mereka yaitu judi. Tidak mempedulikan istri dan anak-anak yang setia menunggu dirumah. Memang kalau sudah bermain judi, semua jadi lupa diri. Ketika kalah, akan mengajak terus bermain sampai menang. Walaupun belum tentu menang.
Selain berjudi mereka juga minum tuak yang ada di warung tempat mereka mangkal. Terkadang ada perempuan penghibur di warung ini.
Sampai jam sepuluh, Ahmad belum juga pulang. Beberapa kali Novi mencoba menelpon, tapi ponselnya tidak aktif. Novi sudah menduga kalau Ahmad berjudi bersama teman-temannya. Akhirnya Novi mencoba untuk tidur, walaupun pikirannya melayang kemana-mana.
***
Azan subuh berkumandang, Novi terbangun dari tidurnya. Ia melihat ke sampingnya, ternyata Ahmad tidak ada. Berarti Ahmad tidak pulang malam ini. Novi beranjak dari tempat tidur untuk bersiap salat subuh.
Dalam setiap doanya, Novi selalu menyelipkan nama suaminya. Semoga selalu dibukakan pintu hatinya untuk menerima hidayah dan mau menjalankan kewajiban sebagai orang muslim. Dan tentu saja mendoakan semoga Ahmad menghentikan kebiasaan berjudi. Novi selalu meneteskan air mata setiap berdoa. Impiannya untuk salat berjamaah bersama suami belum pernah terlaksana. Tapi ia tidak pernah putus untuk berdoa.
Selesai salat terdengar suara orang mengetuk pintu. Novi yakin kalau itu adalah Ahmad. Ia pun bergegas membuka pintu. Benar dugaan Novi, Ahmad pulang dengan senyum bahagia.
"Apa kabar anak Ayah?" tanya Ahmad sambil mengelus perut Novi.
"Kamu mau minta dibelikan apa, Nak? Nanti pergi sama ibumu, ya? Belilah apa yang kamu mau." Kemudian Ahmad berjalan menuju ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya. Novi hanya bisa menghela nafas panjang sambil meneteskan air mata.
Novi menyibukkan dengan kegiatannya di dapur untuk menghilangkan kesedihannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Dina sudah berangkat ke sekolah. Novi berusaha membangunkan suaminya.
"Mas, bangun. Sudah siang!" Ahmad tidak bergerak sedikitpun.
"Mas, bangun." Ahmad hanya menggeliat saja.
"Mas, Mas." Ahmad menepis tangan Novi dengan keras. Novi yang tidak siap dengan tangan Ahmad, agak limbung. Untung masih sempat berpegangan pada tepian tempat tidur, sehingga tidak terjatuh.
"Kamu mengganggu saja, aku masih ngantuk," teriak Ahmad.
"Bangun, Mas. Sudah jam delapan. Mas nggak kerja?" kata Novi dengan suara yang sengaja keras.
Ahmad langsung terbangun dan melotot.
"Kenapa kamu nggak bangunin aku?" teriak Ahmad kemudian bergegas menuju ke kamar mandi. Novi hanya terdiam, ia merasa serba salah.
Novi kembali lagi ke warung. Menunggu pelanggan sambil merapikan barang-barang yang ada.
"Lain kali bangunin aku lebih pagi. Berhubung aku masih senang, kamu aku maafkan. Nih uang untukmu, terserah mau kamu pakai untuk apa," kata Ahmad yang tiba-tiba muncul di warung. Kemudian menyerahkan uang yang cukup banyak pada Novi.
Novi menerima uang itu.
"Anak Ayah sayang, Ayah kerja dulu ya? Jangan nakal di perut Ibu," kata Ahmad sambil mengelus perut Novi. Kemudian Ahmad pergi untuk bekerja membantu bapaknya.
