Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sawang Sinawang

Menjelang tidur, Novi masih terngiang-ngiang ucapan Weni. Apa benar nanti kalau ia nifas, Ahmad akan mencari perempuan lain? Untuk memuaskannya? Apa waktu ia melahirkan Dina dulu, Ahmad juga mencari perempuan lain? Kepala Novi terasa sangat pusing memikirkan semua ini. Atau Weni hanya menakutinya saja? Malam ini Ahmad ada di rumah, tidak berkumpul dengan teman-temannya.

"Belum tidur, Dek?" tanya Ahmad yang baru masuk ke kamar.

"Belum, Mas," sahut Novi yang sudah merebahkan diri di tempat tidur.

Ahmad kemudian mendekati Novi dan mengelus-elus perut buncitnya, kemudian menciuminya.

"Halo anak Ayah. Cepat keluar ya? Nanti bisa bermain-main dengan Ayah, Ibu juga Mbak Dina," kata Ahmad sambil menciumi perut Novi.

Novi merasa terharu mendengar ucapan Ahmad. Sebenarnya Ahmad itu termasuk orang yang lumayan romantis, sering memanjakan Novi. Tapi terkadang juga temperamen. Tapi memang tidak pernah bermain tangan jika sedang marah.

Novi ingin bertanya jika ia nifas nanti, tapi takut nanti Ahmad tersinggung. Merusak suasana yang sedang romantis ini. Memang Ahmad itu suka berjudi, tapi sepertinya tidak suka main perempuan, itu yang Novi pikirkan.

"Boleh Mas menjenguk anak kita?" tanya Ahmad meminta izin pada Novi, sambil masih mengelus-elus perut Novi. Sebenarnya Novi capek tapi kalau keinginan Ahmad tidak dituruti, bisa marah besar.

"Mas janji akan pelan-pelan," kata Ahmad meyakinkan Novi. Novi hanya menganggukkan kepala dengan pasrah.

Ahmad pun memulai permainan mereka, Novi hanya pasrah saja, karena ia takut dengan kondisi bayi di perutnya. Ruangan kamar mereka dipenuhi dengan suara desahan dan erangan, suara khas suami istri sedang memadu kasih.

***

Pagi hari seperti biasa, Novi sedang melayani pembeli di warung, Dina sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah.

"Bu, Dina berangkat sekolah ya?" pamit Dina.

"Iya, Sayang. Hati-hati di jalan, ya?" kata Novi sambil melambaikan tangannya.

"Iya, Bu." Dina sudah berjalan menuju ke sekolahnya.

Ahmad masih sarapan sebelum berangkat kerja. Selesai sarapan ia pun bersiap-siap untuk berangkat.

"Halo anak Ayah, Ayah berangkat kerja dulu, ya? Jangan nakal di perut Ibu," kata Ahmad sambil mengelus-elus perut Novi.

Novi tersipu malu karena dilihat beberapa orang yang akan berbelanja ke warung.

"Sudah, Mas. Malu dilihat orang," kata Novi.

"Kenapa malu? Kan suami sendiri," kata Ahmad dengan suara yang agak keras.

"Betul Mbak. Dielus suami sendiri nggak masalah. Yang bermasalah itu kalau dielus suami orang, hihi," sahut salah satu pembeli di warung. Diiringi anggukan yang lainnya.

Ahmad hanya tertawa mendengar kata-kata Ibu tadi. Akhirnya Ahmad berangkat kerja.

"Mbak Novi suaminya romantis sekali ya? Bikin ngiri," celetuk Wak Tini.

Novi hanya tersenyum simpul.

"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali.

"Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli.

"Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku.

"Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana.

"Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi.

"Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada.

"Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini.

"Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti. Dan akhirnya para pembeli di warung Novi mulai ngerumpi. Tentu saja Novi hanya menjadi pendengar saja.

Ingin rasanya Novi mengusir ibu-ibu yang sedang ngerumpi. Memang terkadang ia cukup terhibur dengan kedatangan ibu-ibu yang bercerita. Tapi kalau sudah menjelek-jelekkan orang, ia pun jadi jengah. Jika ia mengusir mereka, malah nanti ia yang dijadikan objek pembicaraan. Serba salah, yang penting ia diam, tidak menimpali pembicaraan sedikitpun.

***

"Assalamualaikum." Terdengar suara orang mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam." Novi segera keluar bersama dengan Dina, untuk mencari tahu siapa yang datang.

"Pakde," sapa Dina sambil mengulurkan tangan untuk Salim. Ternyata yang datang itu Alif kakaknya Ahmad.

"Masuk, Mas," tawar Novi pada Alif. Dina pun menggandeng tangan Alif mengajaknya masuk. Akhirnya Alif dan Dina masuk ke ruang tamu.

"Mbak Novi, beli." Seseorang memanggil nama Novi.

"Sebentar ya Mas, aku melayani pembeli dulu." Novi beranjak dari duduknya.

"Iya," kata Alif sambil asyik memperhatikan celotehan Dina.

"Mbak, beli mie instan sepuluh ribu dapat berapa?" tanya pembeli.

"Dapat empat," jawab Novi.

"Ya udah beli mie sepuluh ribu," kata anak tersebut sambil menyerahkan uangnya.

Setelah menerima uang, Novi pun kembali menemui Alif yang sedang bercanda dengan Dina.

"Kopi, Mas?" tawar Novi.

"Nggak usah, Mas sudah ngopi tadi," jawab Alif.

"O gitu. Dari mana Mas?" tanya Novi

"Tadi ada keperluan di daerah sini, makanya mampir sekalian, pengen ketemu dengan Dina."

"Oh."

"Pakde, Dina sudah bisa membaca," kata Dina sambil menunjukkan buku sekolahnya.

"Pintar, sekolah yang rajin biar semakin pintar."

"Iya Pakde." Kemudian Dina mewarnai bukunya.

"Sudah berapa bulan itu, Nov? Kapan lahiran?" tanya Alif.

"Delapan bulan setengah, Mas. Insyaallah pertengahan bulan depan."

"Jaga kesehatan, jangan banyak pikiran. Apa Ahmad masih suka main?" tanya Alif.

"Kadang-kadang, Mas."

"Anak itu memang nggak pernah berubah, padahal sudah mau punya anak dua. Gaji dari Bapak selalu diberikan sama kamu, kan?"

"Kadang-kadang."

"Pasti habis untuk berjudi."

Novi hanya terdiam.

"Kamu harus pandai menyisihkan uang, setidaknya untuk keperluanmu dan anak-anak. Jangan mengandalkan Ahmad. Jangan juga menyimpan barang berharga di rumah. Takutnya nanti Ahmad khilaf."

"Iya, Mas."

"Ini ada uang untuk anakmu. Simpanlah, jangan kasih tahu Ahmad, nanti malah diminta, dan dipakai untuk berjudi."

"Nggak usah repot-repot, Mas," tolak Novi.

"Simpanlah, ini kan untuk keponakan, Mas, juga. Siapa tahu suatu saat butuh uang."

"Iya, Mas, terima kasih."

Akhirnya Alif pamit pulang, Novi pun berjalan menuju ke warungnya.

"Siapa tadi tamunya, Nov?" tanya Lastri yang baru datang. Lastri merupakan tetangga sebelah rumah Novi. Lastri dan Novi cukup dekat. Lastri duduk di dekat Novi.

"Mas Alif, Mbak. Kebetulan sedang ada urusan di sekitar sini, jadi mampir sekalian, mau ketemu dengan Dina."

"Alif dan Ahmad kok sifatnya bisa jauh berbeda ya? Padahal mereka kakak beradik."

Novi hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Lastri. Ia kadang-kadang berandai-andai. Jika sifat Ahmad seperti Alif, pasti tidak hobi berjudi dan mungkin mereka sekarang bisa memiliki banyak tabungan. Sekarang yang bisa Novi lakukan, hanya menjelang ya saja. Tidak boleh mengeluh.

Novi memang sering curhat dengan Lastri, karena Lastri mulutnya tidak ember. Apa yang diceritakan Novi tidak pernah diceritakan pada orang lain.

"Kemarin waktu aku ke mall sama Evi, aku lihat, istrinya Alif sedang jalan-jalan di mall sama teman-temannya. Kayaknya rombongan sosialita, gitu. Dandanannya menunjukkan orang kaya semua. Sepertinya enak sekali ya hidupnya Alif dan keluarganya."

"Namanya hidup, itu sawang sinawang, Mbak. Apa yang kita lihat baik dan menyenangkan, belum tentu seperti itu. Malah terkadang orang ingin hidup seperti apa yang kita jalani."

"Betul, ya Nov. Intinya bersyukur."

Novi hanya menganggukkan kepala.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel