Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Luka Hati yang Mendalam

“Astaga, apa yang telah aku lakukan? Aku benar-benar sudah gila. Kenapa aku bisa sampai melakukannya? Bagaimana ini?”

Arletta menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Ingatannya kembali berputar tentang kejadian tadi malam. Sentuhan Keevan, dan tatapan Keevan yang memuja setiap inci tubuhnya selalu muncul dalam benak Arletta.

Kejadian malam itu tidak akan mungkin terlupakan. Bahkan kini Arletta bisa melihat dengan jelas dari pantulan cermin banyaknya bercak kemerahan di dadanya. Sebuah tanda yang telah dibuat oleh Keevan, mengisyaratkan dia telah menjadi milik pria itu. Jika membayangkannnya, sungguh perasaan Arletta sulit digambarkan. Bahagia, sedih, dan takut melebur menjadi satu.

Arletta bahagia karena akhirnya bisa menjadi milik Keevan seutuhnya. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri ada perasaan sedih dan takut. Banyak hal yang muncul di benaknya setelah menyerahkan dirinya pada Keevan.

“Arletta, setelah ini Keevan pasti akan mencintaimu. Dia pasti akan mencintaimu.” Arletta berucap pada dirinya sendiri dan mengatakan itu penuh dengan penuh keyakinan.

Dalam benak Arletta penuh keyakinan akan Keevan membalas perasaannya. Tadi malam Arletta mengingat bagaimana Keevan memuja setiap inci tubuhnya. Dia memang sedikit mabuk, tapi dia melakukannya dengan keadaan sadar.

Arletta memilih mengganti pakaianya, dan melangkah keluar kamar. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, dia sudah terlambat untuk kuliah.

“Selamat pagi, Non,” seorang pelayan menyapa Arletta dengan sopan kala melihat Arletta keluar dari kamar.

“Pagi. Apa kamu melihat Mama dan Papaku?” tanya Arletta seraya menatap sang pelayan.

“Bapak dan ibu sudah berangkat tadi pagi sekali, Non tapi mereka mengatakan sore ini sudah pulang,” jawab sang pelayan memberitahu. “Maaf, Non. Tadi Ibu meminta saya bertanya pada Anda; kenapa Anda tadi malam pulang hingga larut malam?”

Arletta terdiam sejenak mendengar pertanyaan sang pelayan. Tampak Arletta berusaha untuk tenang dan tak panik. “Ah, itu. Tadi malam aku menonton di rumah temanku. Aku sampai lupa waktu,” jawab Arletta dengan senyuman yang dipaksakan. Terpaksa dia harus berbohong. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya.

Arletta terpaksa berbohong mengatakan menonton hingga malam. Dia tidak mungkin mengatakan dirinya menghadiri pesta kelulusan Keevan yang diadakan di klub malam. Demi bisa menghadiri pesta kelulusan Keevan, Arletta sampai meminjam kartu identitas milik sepupunya.

Sang pelayan mengangguk paham. “Baik, Non. Nanti saya akan sampaikan pada Ibu Anda. Kalau begitu Anda sarapan dulu sebelum berangkat kuliah.”

“Nggak bisa. Aku sepertinya sarapan di kampus aja. Aku sudah terlambat,” jawab Arletta yang langsung menyambar kunci mobilnya dan berjalan terburu-buru meninggalkan rumah. Dia tidak ingin pelayannya itu banyak bertanya. Dasarnya, Arletta selalu sulit berbohong. Beruntung, kedua orang tua Arletta sering disibukan dengan pekerjaannya. Andai saja pagi ini kedua orang tuanya ada, maka Arletta sudah pasti akan mendapatkan rentetan pertanyaan.

***

Waktu menunjukan pukul dua belas siang, Arletta yang baru saja selesai kelas—dia langsung menuju kantin. Perutnya mulai terasa begitu lapar, karena tadi pagi dia belum sempat sarapan. Namun saat Arletta hendak menuju kantin, langkah Arletta terhenti kala melihat sebuah mobil sport berwarna biru memasuki halaman parkir. Seketika senyum di bibir Arletta terukir melihat mobil itu. Tentu saja Arletta mengenal siapa pemilik mobil sport itu.

“Keevan…”

Arletta berlari, menghampiri mobil sport yang kini sudah terparkir. Namun, tubuh Arletta mematung ketika dia melihat Keevan turun dari mobil bersama dengan Nasha—teman satu angkatannya. Terlebih Keevan memeluk tubuh Nasha, begitu mesra di hadapan banyak orang yang melihat mereka.

“Arletta?” Keevan sedikit terkejut saat Arletta berada di hadapannya.

“K-Keevan, k-kamu—” Arletta menggigit bibir bawahnya, melihat Keevan yang tampak begitu mesra dengan seorang gadis. Dia ingin bertanya tapi begitu banyak orang disekelilingnya yang memperhatikan dirinya.

“Ikut aku.” Keevan langsung menarik tangan Arletta sedikit kasar, menjauh dari orang-orang yang sejak tadu memperhatikan mereka.

“Keevan, tanganku sakit.” Arletta merintih kesakitan saat Keevan mencengkram tangannya dengan erat.

“Ada apa kamu menemuiku?” tanya Keevan seraya melepaskan cengkraman tangannya. Iris mata cokelatnya, menatap dingin Arletta yang berdiri di hadapannya.

“K-kamu dan Nasha memiliki hubungan apa? K-kenapa kalian dekat sekali?” Arletta balik bertanya dengan tatapan mata yang begitu sendu. Tenggorokannya bagaikan tercekat jika dia hanya diam saja.

“Itu bukan urusanmu, Letta. Jangan mencampuri urusanku,” jawab Keevan menekankan dan penuh ketegasan di sana.

“Keevan, tapi kita sudah—”

“Arletta Pradipta, jika kamu berpikir karena kita berhubungan seks dan setelah itu kita menjadi sepasang kekasih, kamu salah besar! Aku nggak pernah terpikir hal itu! Lebih baik kamu pulang dan jangan menggangguku lagi!” seru Keevan dengan tatapan yang mulai menajam.

Mata Arletta berkaca-kaca ketika mendengar ucapan Keevan. Hatinya begitu perih dan hancur bagai sebilah pisau yang tertancap di hatinya. Saat bulir air mata Arletta hendak menetes, dengan cepat Arletta menahannya. “Jadi tadi malam nggak ada artinya sama sekali untuk kamu?” tanyanya dengan suara parau.

Keevan membuang napas kasar. “Just one night stand, Letta. Jangan berlebihan. Kamu tau gimana aku. Aku nggak pernah serius sama perempuan,” jawabnya tegas.

Arletta tidak sanggup lagi menahan bulir air matanya. Harusnya dia tahu, Keevan tidak pernah menginginkannya. Harusnya dia tidak boleh menaruh harapan lebih pada Keevan. Tapi, Arletta tidak pernah mampu menahan dirinya. Dia selalu mencintai Keevan. Tidak peduli apapun yang menghalanginya. Arletta hanya menginginkan Keevan.

“A-apa sama sekali aku nggak pernah penting di hidup kamu, Keevan?” Arletta kembali bertanya dengan suara yang mulai serak, akibat menahan tangisnya.

“Arletta, apa yang terjadi malam itu hanya akan ada di malam itu. Aku harap kamu nggak mikir lebih tentang aku,” ucap Keevan menegaskan kembali. “Sebentar lagi aku akan ke New York. Aku akan melanjutkan sekolah di sana dan meninggalkan Jakarta. Aku harap, kamu lupain semuanya. Termasuk kejadian tadi malam.”

Mata Arletta semakin memerah. Dia terus menggigit bibir bawahnya, menahan tangisnya. “K-kamu akan pergi ke New York?”

“Ya, aku akan melanjutkan S2 di sana,” jawab Keevan dingin.

“Kenapa kamu nggak bilang kalau mau ke New York, Keevan?”

“Bukankah tadi aku sudah mengatakannya?”

“Maksudku sebelumnya, kamu nggak pernah bilang tentang kamu yang ingin melanjutkan S2 di New York.”

“Nggak penting untuk kamu tahu.”

“Itu penting, Keevan! Kamu tau kalau aku cinta sama kamu! Apa pun tentang kamu adalah penting untuk aku!!”

Keevan terdiam mendengar apa yang diucapkan oleh Arletta. Lagi dan lagi Arletta mengungkapkan perasaan padanya. Sejak di awal ospek, Arletta memang terang-terangan mengatakan menyukai dirinya.

Beberapa kali Keevan mengabaikan junior kampusnya ini tetapi Arletta tetap keras kepala. Awalnya Keevan pikir setelah dirinya lulus akan terbebas dari kejaran Arletta. Namun apa yang Keevan pikir salah. Kejadian tadi malam membuat Arletta memiliki pengharapan lebih padanya.

“Pulanglah, aku nggak memiliki waktu untuk bicara.” Keevan tak mengindahkan ungkapan cinta Arletta tadi.

“Kamu nggak punya waktu untuk aku tapi kamu punya waktu untuk Nasha?” tanya Arletta parau dan lemah.

“Sejak awal aku udah bilang jangan berharap sama aku, Letta. Apa yang terjadi tadi malam nggak akan merubah apa pun.” Keevan menjawab dengan tegas dan penuh penekanan.

“Kamu jahat, Keevan!” Air mata Arletta tumpah membasahi pipinya. Dia tidak lagi sanggup menahan air matanya. “Aku benci kamu, Keevan! Aku benci kamu!”

Dengan isak tangis yang kencang, Arletta berlari meninggalkan Keevan yang masih tidak bergeming dari tempatnya. Keevan bungkam saat melihat Arletta menangis. Entah kenapa Keevan merasakan sesuatu di hatinya.

Pertama kalinya Keevan melihat Arletta menangis seperti ini. Ada rasa keinginan Keevan mengejar Arletta, namun dia merasakan kakinya yang memberat hingga tidak bisa mengejar Arletta.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel