Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#Chapter 4

‎Aku tak tahu berapa lama aku dan ibu berbaring miring di sofa, karena aku sibuk mengecupi perlahan leher jenjang ibu. Bahkan aku mulai berani mengecupi pundak kiri ibu yang terbuka. Aku tak tahu pula ibu berbicara apa di telpon, tahu-tahu ibu beringsut duduk dan mematikan telpon wireless kami. Aku tersadar bahwa saat itu ibu berbicara padaku.

‎“Tadi Ayah tanya, kamu mau ngomong ga? Tapi ibu bilang kamu lagi sibuk.”

‎Ibu berdiri sambil tertawa kecil melihat aku yang bagaikan orang bingung. Karena memang aku bagaikan linglung saja setelah tiba-tiba berhenti menikmati leher dan pundak ibu.

‎“Kamu emang sibuk, kan? Kepalamu itu penuh dengan pikiran ngeres sampe-sampe lupa mau ngomong sama ayah.” Kata ibu. Aku menjadi malu. Namun ibu tidak memarahiku. Suaranya tidak terdengar marah. Kemudian ibu langsung beranjak pergi ke kamar tidurnya.

‎Setelah aku di kamar dan selesai masturbasi membayangkan kembali kehalusan kulit leher dan pundak ibu, dan mengingat-ingat wangi tubuhnya, aku mulai berpikir, apakah ibu senang dengan aktivitasku kepadanya? Bila ia senang, kenapa ia tidak minta lebih? Bila ia tidak suka, mengapa ia tidak melarang ku? Dengan kepala penuh pikiran ngeres yang bingung, aku tertidur.

‎Paginya ketika aku bangun, ibu masih memakai baju tidur tipisnya.  Pentilnya menyembul terlihat dari balik gaun krem nya. Aku horny sekali. Aku tak kuasa memandangi dadanya sepanjang waktu sarapan, namun ibu tampaknya tidak sadar bahwa payudaranya yang terhalang kain tipis sedang ditatap dengan nafsu oleh anaknya.

‎Ketika aku mau berangkat sekolah, aku yang tidak mampu mengontrol diri, memeluk ibu yang sedikit lebih tinggi dariku dengan tangan kiriku erat-erat, lalu sambil memegang leher ibu dengan tangan kanan, aku jinjit untuk mencium bibir ibu dengan sedikit bernafsu.

‎Sekitar lima detik aku cium bibir ibu dan ketika ciumanku lepas terdengar bunyi kecupan dua bibir kami.

‎“Tumben kamu semangat begini, Ri?”

‎“Ibu cantik banget pakai baju tidur ini. Ari jadi gemas,”kataku tak mampu menahan diri. Ketika kata-kataku telah meluncur, aku menyesal sekali. Aku takut ibu marah. Tapi ibu hanya tertawa kecil sambil mendorong kepalaku, katanya,

‎“pagi-pagi udah ngeres! Sana sekolah!”

‎Hari itu di sekolah aku tidak dapat konsen. Tiada sesuatu di sekolah yang membuatku dapat mengalihkan pikiran dari ibuku yang cantik dan seksi itu.

‎Aku telah menyimpulkan bahwa ibu senang dengan kelakuan kurang ajarku, namun tetap saja sebagai ibu, ia tidak akan membawa hubungan kami lebih jauh. Ini terbukti bahwa ibu selalu orang yang menghentikan kegiatan ngeres ku kepadanya.

‎Pulangnya aku mendapati ibu selesai masak dan sedang menyiapkan makanan. Ia memakai tank top hitam dan rok hitam di atas lutut. Tank topnya tidak tipis, namun tetap saja menunjukkan dadanya yang besar, yang ternyata hari ini tidak terbalut bra juga. Pentil ibu terlihat membayang, dan dibalik tali bahu tank topnya, tidak terlihat bra.

‎Aku kembali memeluk ibu dan mencium bibirnya dengan gemas. Aku melepas bibirnya setelah kurang lebih lima detik seperti tadi pagi, namun aku kembali memagut bibir ibu. Kini lebih lama dari yang pertama.

‎Kontolku tertekan pada paha ibu, kontol yang sudah mengeras tanda birahi. Setelah beberapa saat ibu melepaskan bibirku dan sambil tertawa menyuruhku cuci tangan dan kaki untuk kemudian makan.

‎Setelah itu aku tidak mendapatkan kesempatan lagi, karena ibu sibuk dengan pekerjaan rumah. Aku kemudian tidur siang (setelah masturbasi tentunya). Sorenya, aku mandi dan mengerjakan PR. Aku sedikit kecewa, karena ayah tidak pernah telpon berturut-turut setiap hari. Sehingga kini aku tidak bisa mengerjai ibuku lagi.

‎Namun, malam itu ada yang telpon. Aku tahu bukan ayah, tapi aku menggunakannya sebagai dalih saja. Malam itu ibu menggunakan gaun tidur yang sama seperti malam sebelumnya.

‎Ibu mengangkat telpon, biasanya ibu mengangkat sambil menyender di sofa, sehingga aku hanya bisa memeluk dari samping, tapi malam itu ia duduk di pinggir sofa, menyisakan tempat di belakangnya, aku yang sudah siap segera duduk di belakang ibu sambil memeluknya.

‎Kini telapakku secara tak tahu malu ku letakkan di bawah payudara ibu dengan jari jemariku menggenggam bulatan payudara ibu dari bawah, sehingga kedua telunjukku kini mendekati kedua puting tetek ibu yang kenyal.

‎“Oh…. Mbak Hani…..”kata ibuku di telepon. Rupanya Kakak ibuku, Tante Hani telpon. Tante Hani dua tahun di atas ibuku, sehingga pada saat itu, Tante Hani berusia 34 tahun. Tante Hani seperti halnya ibuku, cukup tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia.

‎Ia sedikit lebih tinggi dari ibu, namun tubuhnya agak lebih gemuk dari ibu, apalagi ukuran dadanya yang selalu menonjol di balik pakaiannya. Tante Hani kuduga memiliki payudara yang lebih besar dari Ibuku. Kekurangannya adalah, perut Tante Hani berlemak walau tidak terlihat terlalu gendut, namun tetap saja, bodinya bagiku cukup aduhai.

‎Entah apa yang dibicarakan ibu, karena aku sudah mulai mengendusi dan mengecupi leher ibu. Tahu-tahu ibu kini merebahkan diri ke belakang, dengan kepala disandarkan ke belakang pula, menyender pada bahu kiriku.

‎Kontolku yang sudah tegang dari tadi menjadi di tindih bagian atas pantat dan sedikit punggung bawah ibu, membuatku membalas tindihan ibu dengan tekanan pada bokongnya itu.

‎Bibirku mengecupi leher ibu dengan perlahan, namun nafsu membuat gerakanku makin lama makin cepat. Tak lama pundaknya ku ciumi juga. Hampir seluruh bahu ibu ku kecupi dan kuendus-endus.

‎Akhirnya aku memberanikan diri memagut pangkal lengan ibu, tepat di sambungan antara lengan atas dan bahunya, dengan menggunakan sedikit lidahku untuk merasakan kulit ibuku yang licin dan berkilau menyilaukan semua lelaki yang melihatnya.

‎“sssshhhhhh…. Mmmphhhh…….” Ibu mendesah, namun dengan cepat ibu tersadar dan berkata di telepon,” ohh…. Nggak kenapa-napa, Mbak. Bahuku sedang dipijit Ari, soalnya sudah pegal dari tadi….. iya…… iya…… enggak, kok, Mbak…. Aku belum mau istirahat… masih bisa ngobrol sama Mbak……”

‎Lidahku merasakan begitu halusnya kulit ibu. Indera pengecap di lidahku mencicipi rasa kulit ibuku. Tentu saja bukan rasa seperti  di kala makan buah-buahan atau makanan, bukan rasa yang membuat perut lapar, tetapi rasa dari kulit ibu menyebarkan sensasi sensual ke seluruh tubuhku, terutama kepada kejantananku yang mulai berkedut tak sabar.

‎Aku masih mengulum pundak ibu dan sedikit mengenyoti perlahan kulitnya yang halus dan licin. Setelah beberapa saat aku lepaskan pagutanku, lalu mulai memagut perlahan pundaknya yang lebih dekat ke leher ibu, se senti demi sesenti.

‎Tiap pagutanku berkisaran antara tiga sampai lima detik dengan kenyotan pada pundak ibu sepanjang itu. Perlahan bibir dan lidahku mendekati leher ibu, dan suara ibu makin terdengar bergetar ditingkahi nafasnya yang mulai sedikit memburu.

‎Ketika aku sampai pada leher ibu bagian bawah, ibu tak sadar melenguh lagi,

‎“sssshhhh… Ariiiii…. Iya….. disitu…………,” kata ibu sedikit tercekat,”kenapa, Mbak? Oh…. Ari pinter mijit bahu Irma, Mbak…… enak sekali pijatannya………………………. Kenapa?…… Oh, boleh aja. Nanti kalau Mbak ke sini biar dipijit Ari……..”

‎Pada saat itu aku mulai melumat leher kanan ibu dengan mulut dan lidahku. Kini lidahku lebih berani ku ulur, dan sesekali, bagaikan anjing, aku menjilat leher ibu dari pangkal leher sampai ke bawah dagunya. Saat itu tangan kanan ibu yang tadi diam saja, mendekap kepalaku dan sedikit meremas rambutku.

‎Aku menjadi lupa daratan. Tanganku reflex meremas payudara ibu yang besar, sementara bibirku menghisapi rahang kanan ibu.

‎“aaahhhh………..” mulut ibu terbuka, kulihat sederet air liur ibu tertarik dari bagian atas bibirnya sampai ke bawah di ujung lidahnya, bagaikan tirai air yang sedikit berbusa menghiasi mulutnya yang indah yang sedang terbuka itu.

‎Aku menjadi gelap mata dan tanpa memikirkan konsekuensi apa-apa, aku segera menjulurkan lidahku memasuki mulutnya yang terbuka dan menjilat ludah ibu itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel