Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

#Chapter 2

‎Ibu tertawa. Aku senang melihat bahwa ibu tidak curiga apa-apa.

‎“Ya udah. Kamu mau dicium bibir tiap hari? Boleh, kok. Wong kamu sendiri yang ga mau dicium bibir waktu kelas 3 SD. Kata kamu udah besar, ga boleh dicium bibirnya kayak anak kecil. Malu, kata kamu.”

‎Aku sedikit terkejut karena baru ingat hal  ini. Namun aku segera menjawab agar tidak ketahuan ada mau yang lain,

‎“Ya maksudnya sih jangan di depan teman-teman. Kan malu. Tapi kan kalau di rumah lain ceritanya.”

‎Ibu menyerahkan roti di tangannya kepadaku, lalu berjalan ke sampingku. Tiba-tiba ia mencium bibirku sambil tetap berdiri.

‎“Muaaaah….. ini roti untuk anakku.”

‎Lalu ia bergegas ke tempat cucian untuk mencuci perabot yang kemarin malam belum dicuci. Aku buru-buru melahap roti dan bergegas mandi, untuk melepaskan nafsuku yang sudah di ubun-ubun.

‎Kami melakukan banyak hal untuk merayakan hari ulang tahunku saat itu, yang tidaklah perlu ku ceritakan. Yang jelas aku sangat Bahagia hari itu mendapatkan kasih sayang ibuku. Malamnya sebelum tidur dan setelah gosok gigi, aku mendatangi ibuku yang sedang beres-beres di dapur.

‎“Bu, makasih ya. hari ini Ari senaaaanggg sekali. Jalan-jalan sama ibu dan senang-senang.”

‎Ibu yang sedang memegang piring kotor hanya tersenyum. Aku mendekati ibu, memeluk dengan tangan kananku di pinggangnya, lalu jinjit, berhubung ibu masih ada hampir sepuluh senti lebih tinggi dariku, dan memberikan ibu ciuman di bibir agak lama.

‎“Muaaaah…. Ari sayang sama Ibu.”

‎Ibu hanya tersenyum lalu berkata,

‎“Ya udah… tidur sana…..”

‎Mulai saat itu, kini setiap aku bangun atau mau tidur, berangkat atau pulang sekolah, aku mencium bibir ibu. Bukan hanya itu saja yang menjadi rencanaku. Seperti kataku sebelumnya, kami suka saling saling menggelitik.

‎Yang paling seru adalah, ketika Ayah telpon dari luar negeri, kami suka saling menggelitik. Dimulai ketika aku masih di SD. Suatu ketika aku ingin dibelikan mainan yang tidak ada di Indonesia, maka aku ingin bicara dengan ayah di telpon, namun Ibu sengaja tidak mau memberikan telponnya, maka aku segera menggelitiki ibu.

‎Akhirnya setelah beberapa saat ibu memberikan telpon padaku, giliranku yang bicara, ibu balas menggelitik. Ayah yang mendengar suara kami hanya tertawa saja. Ia senang bahwa di rumah isteri dan anaknya begitu akur dan harmonis.

‎Ayah terkadang menelpon seminggu tiga kali. Kadang dua kali. Sehingga kami sering berkomunikasi dengannya. Nah, kini aku juga berencana untuk menggunakan saat itu untuk memperjauh perhubungan antara aku dan ibuku. Ayah menelpon sehari setelah aku ulang tahun.

‎Berhubung di Eropa terlambat sehari dari Indonesia, ayah lupa bahwa aku di Indonesia sudah ulang tahun sehingga baru menelpon. Aku saat itu sengaja hanya memakai celana pendek dengan alasan gerah. Pertama ibu berbicara dengan ayah, aku berlagak ga sabar dan minta telponnya.

‎“Belum beli, Yah. belum sempet……” saat itu aku memberi kode ibu untuk memberikan telpon kepadaku,” Iya… sebentar dulu… Ibu ngomong sama Ayah dulu nih….”

‎Beberapa saat ibu masih berbicara dengan ayah di telpon. Aku berusaha menjangkau telponnya.

‎“Ari, tar dulu ah……” kata ibu menghindar tanganku,” Ibu belum selesai ngomong sama ayah……”

‎Lalu ibu melanjutkan pembicaraannya. Saat itulah aku mulai duduk di sebelah ibu di sofa, lalu perlahan tanganku menggelitik pinggang ibu perlahan. Ibu mengikik pelan.

‎“Kenapa, Yah?” Kata ibu di telpon kepada ayah,” Oh, Si Ari ga sabar ngomong sama Ayah, jadi mulai deh ngelitikin Mamanya seperti biasa.” Ibu kemudian menatapku lalu berkata, “Kata ayah kamu jangan bandel.”

‎“Oke deh. Setelah ada perintah dari Si Boss,” kataku dan kemudian mulai kembali mengelitiki pinggang ibu yang kenyal.

‎“Udah ah. Ibu mau ngomong nih.” Ibu tertawa, posisi saat itu ibu duduk sebelah kiri sofa, telepon di tangan kirinya yang menyandar lengan sofa, aku di sebelah kanannya, karena aku menghadap ibu, maka aku menggelitiknya dengan tangan kanan.

‎Agar aku berhenti menggelitik, dengan tangan kanan ibu yang bebas ia memegang tanganku lalu menariknya sehingga tangan kananku melingkari perutnya ke pinggang kiri, lalu aku segera melingkari tangan kiriku yang satunya ke belakang ibu.

‎Kini aku memeluk ibu dari samping. Tubuh ibu memancarkan bau wangi yang sangat ku suka. Aku menaruh kepalaku di pundak kanannya. Dengan tangan kanan ibu menindih tangan kananku.

‎Aku menyukai posisi ini, tapi agar tidak mencurigakan, aku berkata,

‎“lama banget sih….”

‎Ibu hanya berdesis menyuruhku diam lalu kemudian kembali konsen ke telefon.

‎Aku pura-pura bosan namun menikmati pelukanku ke ibu. Lengan kananku merasakan bagian bawah tetek ibu yang lembut dan kenyal. Tapi tetap saja ibu berbicara dengan ayah. Lapat-lapat aku mendengar bahwa mereka membicarakan saudara ayah yang sedang dirundung masalah keluarga. Tapi aku tidak terlalu konsen.

‎Aku membisiki ibu,

‎“gantian donk….”

‎Tapi ibu tetap cuek dan asyik berbicara, mungkin karena lama tak berbicara dengan ayahku. Aku tahu ibuku gelian, terutama di leher, ketiak dan pinggang.

‎Maka aku mulai meniupi lehernya yang sedikit doyong ke kiri karena sedang mendengarkan telpon, sehingga leher bagian kanan terbuka. Ibu hanya mendecakkan lidah walaupun dia sedikit merinding kegelian yang ditunjukkan dengan bahunya yang diangkat ketika lehernya ku tiup.

‎Ku dekati lehernya sehingga aroma tubuh ibu begitu dekat di hidungku lalu aku tiup perlahan. Ibu mengangkat tangan kanannya lalu mendorong kepalaku sambil mendelik melotot. Tapi wajahnya tidak marah.

‎Ia terus berbicara. Aku kembali meniupi lehernya. Ibu mendorong kepalaku lagi. Aku kembali meniupi lehernya. Kali ini ibu meraih ke belakang kepalaku dengan tangan kanannya melewati kepalaku sehingga melingkari leherku sementara telapaknya menutup mulutku. Ia setengah memitingku sambil membekap mulutku.

‎Melihat kesempatan terbuka, aku menggunakan bagian kiri kepalaku untuk menekan ketiaknya yang terbuka  untuk menggelitik pangkal lengannya itu. Kupingku dapat merasakan bulu-bulu halus ketiak ibu yang agak lembab. Bau tubuh ibu terpancar kuat dari sana.

‎“Ya udah, deh Yah… ini Si Ari ga sabaran banget mau ngomong sama ayah.” Lalu ibu memberikan telpon itu kepadaku. Aku berlagak senang dapat bicara dengan ayah, namun dalam hatiku aku sebel juga, belum cukup rasanya merasakan tubuh molek ibu.

‎Mulai dari saat itu pula, setiap kali ibu bicara dengan ayah, aku akan selalu menggoda ibu dengan menggelitik, atau meniup lehernya, atau memeluknya sambil mengganggu pembicaraan ibu, untuk berpura-pura ingin ngobrol dengan ayah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel