Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

"Hah?" Rendy panik, dilihatnya ka kanan dan ke kiri. Sudah banyak orang berlarian ke arahnya. Kalau lari, makin yakin para warga kalau dirinya seorang pencopet. Apalagi sekarang memakai hoodie dengan penutup kepala yang sudah terpasang, sempurna. Jika tidak lari, pastilah juga ia jadi samsak tinju berjalan.

"Hajar!" Teriak salah seorang warga.

Susah payah Rendy berteriak menjelaskan, tapi warga yang sudah kalap mendaratkan pukulan tanpa ampun. Salah seorang berniat menelanjanginya, begitu tahu masih berseragam sekolah yang sama membuat Reika kaget siapa sebenarnya pencopet ini, lebih-lebih ia memakai masker.

"Loh, Rendy. Pak, tolong berhenti." Rika menutup mulutnya, ia merasa bersalah menyaksikan Rendy babak belur.

"Mbak kenal dia?"

"Ya, Pak. Dia teman satu sekolahan saya."

"Kita seret saja ke Kantor Polisi. Kecil-kecil jadi pencopet!"

Rendy gelagapan mendengarnya, buru-buru ia menjelaskan bahwa dirinya bukan pencopet. Dia bermaksud untuk berbicara dengan Reika dan meminta maaf atas kejadian di sekolah, tapi malah mendapatkan apes.

Setelah mendengar penuturan Rendy, warga kemudian pergi, sebagian masih ada yang tidak percaya begitu saja. Ada juga yang memberi biaya untuk mengobati lebam di wajahnya, tapi ia menolak.

"Maaf, ya, Rendy. Aku gak tahu kalau itu Kamu, lagian kenapa tiba-tiba ngagetin dan menepuk pundak segala. Sebelumnya saya takut karena ada yang membuntuti, saya jadi berfikir yang tidak-tidak. Apakah itu Kamu juga?"

"Ya, bener. Tapi aku gak niat jahat kok, sumpah." Dibentuknya dua jari menjadi huruf V.

"Rumahmu di mana, masih jauh gak ?" tanya Rendy.

"2 persimpangan lagi."

"Emm ... aku minta maaf ya soal di sekolah tadi. Beneran aku gak ngintip." Diperhatikan wajah Reika yang masih datar, apa selalu begini setiap hari, pikirnya.

"Gakpapa kok, aku percaya sama kamu," kali ini disertai senyum, tipis sekali.

"Jadi, Kamu sudah maafin aku nih?" Diulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

Belum ada reaksi dari gadis itu, dia cuma melihat saja uluran tangannya. "Di pelajaran sejarah, jika ada dua kubu bermusuhan lalu berbaikan biasanya diakhiri dengan perjanjian damai lalu berjabat tangan," terangnya.

"Ditambah lagi, kita belum kenal satu sama lain. Ya, hitung-hitung kenalan juga. Kenalin, nama saya Rendy Wijaya."

Agak lama Reika berfikir, lalu digapainya tangan Rendy, senyumnya mengembang. Terik sengatan matahari dan debu jalanan beterbangan tak membuat dua anak sma itu merasa terganggu.

"Reika Abigail."

Rambut panjang Reika menari diterpa angin, walau sudah seharian tetapi masih terlihat mengkilap. Wajahnya bersih dan mulus, mungkin lalat akan terpeleset andai saja hinggap di wajahnya. Tangannya halus bak putri raja, membuat Rendy enggan melepas jabatan tangannya. Entah sudah berapa detik mereka beradu pandang. Waktu seakan berhenti berputar, walau hanya sebentar, tapi mereka menikmati momen itu.

Klunting

Bunyi ponsel segera menyadarkan mereka, buru-buru ia mengambil benda persegi dari balik sweeter.

"Iya, Pa. Aku sudah pulang, sebentar lagi juga sampai."

"Sudah ya, Ren. Aku harus cepat sampai ke rumah." Reika berlari meninggalkan Rendi yang masih berdiri di trotoar. Ia menyusul dari belakang, dilihatnya dari kejauhan Reika memasuki rumah bergaya eropa klasik. Kaca patri dengan perpaduan warna yang cantik terpampang di setiap jendela.

Halamannya luas, terlihat di garasi ada 2 buah mobil keluarga, tapi Reika menolak diantar dengan mobil dan lebih senang pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki saja. Alasannya ingin menjaga perasaan teman-teman lain yang kurang beruntung seperti dirinya. Lagipula jarak antara rumah dan sekolah tidak begitu jauh.

"Padahal aku juga sering lewat jalan ini, tapi kenapa belum pernah melihatnya ya?" Gumamnya dalam hati.

Ia kemudian berjalan meninggalkan rumah itu, tak disangka ternyata dia dan Reika masih tetangga dekat. Itu diketahuinya setelah tampak bagian belakang lantai dua rumahnya yang tinggi menjulang jika dilihat dari depan rumah Reika.

Sesampai di rumah, Rendy mencari mamanya. Dicari di ruang keluarga, tidak ada. Hanya ada sisa camilan tadi pagi yang dimakan Hani, adik perempuan yang masih duduk di kelas 2 SD. Lalu ia menuju dapur, juga kosong. Untung saja masih ada sisa lauk, paling tidak siang ini tidak kelaparan. Dilihatnya di garasi, mobil juga hilang !

"Kebiasaan, jalan-jalan gak ngajak aku," gerutu Rendy sebal.

Diambilnya ponsel dari balik saku celana, jemarinya mencari nomor kontak seseorang.

"Halo. Bagaimana Win, undangannya sudah kamu berikan ke ayahmu?" Diam sejenak mendengar orang yang berbicara di balik ponsel yang ternyata adalah Erwin.

"Bagaimana reaksinya?" Tanya Rendy penasaran.

"Hahaha ... lumayan lah. Paling tidak, ada tanda merah di pipi bekas sandal. Daripada tidak ada sama sekali, kan kamu belum pernah dicium ciwi."

Rendy tertawa mendengar temannya dihadiahi tamparan sandal di pipi. Ia beruntung punya papa yang sabar, tidak pernah memukul. Namun, Rendy salah mengartikan kasih sayang dari papa mamanya, ia jadi anak yang manja dan nakal di luaran sana. Setahu papa, Rendy adalah anak yang patuh pada orang tua dan juga pintar, itu dibuktikannya yang selalu meraih peringkat 1 atau 2 di kelas. Ini adalah surat panggilan untuk wali murid yang pertama dari sekolah, ia takut akan membuat papanya kecewa.

"Sementara masih aman, soalnya keluar semua. Entah kalau papa mama sudah pulang." Dilemparkannya seragan sekolah sembarangan di atas kasur. Ponsel masih menempel di telinga dan mendengarkan Erwin bicara.

"Biasalah win, hari sabtu gini papa libur. Mungkin beliau keluyuran ke mall. Sudah, ya. Aku mau tidur. Capek."

Dia memutus sambungan lalu merebahkan tubuh di atas kasur.

* * *

Sekitar pukul 8 malam, terdengar deru mobil dan suara pintu garasi dibuka. Nampak papa Rendy, Pak Andre turun dari mobil mengenakan kemeja batik coklat lengan panjang dan celana kain hitam. Mama Rendy dengan gaun hitam panjangnya, masih terlihat cantik walau sudah kepala 4. Sedangkan Hani, tidur di pelukan mama. Adik perempuan Rendy ini mudah sekali tertidur bila di dalam mobil.

"Dari mana, Pa?" Tanya Rendi yang tengah selonjoran nonton tv di ruang keluarga.

"Dari kondangan, papa sengaja ga ngajak karena kamu belum pulang. Lagipula kamu juga ga bakalan mau kan?!"

"Hehe, iya pa."

"Wajah kamu kenapa? Berantem?" Tanya papanya penuh selidik. Diamati wajah anak bungsunya itu, ada bengkak di pelipis kiri walau tidak terlalu besar.

"Tidak, pa. Ini cuma salah paham. Masa saya dikira pencopet." Jelasnya.

"Bagaimana bisa kamu dituduh pencopet?"

Rendy menceritakan awal mula kejadian. Mulai dari menguntit sampai berakhir dengan perkenalan dengan Reika yang ternyata adalah tetangga sendiri persis di belakang rumah. Papanya mengangguk perlahan, kemudian bangkit dan berjalan menuju kamar.

Dibiarkan papanya berlalu begitu saja tanpa bertanya lagi, Rendy ingin memberi kesempatan kepada papanya untuk istirahat.

Setelah makan malam diambilnya surat panggilan dari kamar dan diberikan kepada papanya.

"Apa ini, Ren?"

"Surat panggilan untuk wali murid, Pa." Rendy berdiri mematung di depan papanya, kepala menunduk, tangan kanan memegang lengan kiri dengan perasaan cemas. Pak Andre membaca dengan seksama dan teliti, alisnya bertaut saat matanya tertuju pada kalimat 'pelanggaran tata tertib sekolah'

"Masalah apa yang kamu perbuat, Ren?" Dilihatnya anak yang berdiri di hadapan dengan intens.

"Aku tidak melakukan pelanggaran yang dituduhkan, Pa. Itu hanya salah paham saja, tadi siang aku sudah menjelaskan kepada yang bersangkutan. Dan dia percaya sama aku kok, Pa. Tapi pihak sekolah tidak mau menerima alasan apapun, dan diberikankah surat itu."

"Masalah apa yang kamu perbuat?" Pak Andre melontarkan pertanyaan yang sama dengan lemah lembut. Kalau sudah begini, Rendy sudah menyerah. Walaupun papanya tidak sampai membentak, tapi sudah membuat keder juga. Perasaan bersalah mulai muncul, ia merusak kepercayaan yang diberikan oleh papa. Merasa menjadi anak yang tidak berbakti, menjadi anak yang nakal, dan urakan. Sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pikiran pak Andre.

"Aku dituduh mengintip siswa perempuan, Pa. Tapi seperti yang saya bilang tadi, itu hanya salah paham. Saya sama sekali tidak melakukan itu."

"Iya, papa percaya sama Kamu. Sekarang tidur, hari senin lusa Papa minta ijin cuti, kita berangkat bareng."

"Terima kasih sudah percaya sama aku."

Malam minggu biasanya ia keluar jalan-jalan dengan Erwin. Namun, kali ini Pak Andre tidak memberikan ijin sebagai bentuk hukuman yang harus diterima. Terpaksa ia menghabiskan sisa hari sabtu dengan rebahan di kamar. Naik turun tangga menuju dapur mengambil camilan. Lalu kembali lagi ke kamar tak ubahnya seorang napi di lapas.

* * *

Hampir sebagian besar sependapat, bahwa hari minggu adalah hari malas nasional. Hari yang membuat orang malas bangun pagi setelah 6 hari penuh dengan aktifitas yang membosankan, seolah menjadi pelampiasan akibat stres yang ditimbun sedikit demi sedikit tapi tidak bisa dijadikan duit.

Namun tidak bagi Rendy. Semenjak kanak-kanak sudah dididik pantang bermalasan di hari minggu. Tidak ada alasan untuk bangun siang. Maka bukan hal yang aneh jika melihatnya pagi-pagi sudah rapi. Memang tidak sedang pergi sekolah, melainkan jogging ke taman kota. Ia tidak ingin melewatkan sejuknya udara pagi, dikelilingi pepohonan yang jarang sekali dirasakan, karena kesehariannya hanya melewali jalanan beraspal disertai udara panas, asap kendaraan dan debu beterbangan.

Pukul setengah 6 pagi ia bersiap dengan melakukan pemanasan lari-lari kecil di halaman rumah. Setelah kaosnya sedikit basah, ia lanjutkan berjalan menuju taman. Sengaja lewat depan rumah Reika yang memang tampak asri, siapa tahu bisa berjumpa lagi dengannya.

Benar saja, dilihatnya Reika membuka pintu gerbang setelah turun dari mobil yang mesinnya masih menyala. Penampilannya rapi dengan memakai setelan hitam, kontras dengan kulitnya yang putih. Rambut diikat dibelakang dengan memakai pita biru muda. Membuatnya tampak bercahaya, seperti mentari pagi yang malu-malu mengintip di ufuk timur. Dihampirinya kemudian diajaknya berbincang.

"Hai, Reika. Mau pergi ke mana sepagi ini?"

"Mau ke gereja." Jawabnya singkat tanpa ekspresi. Ia masih berdiri di samping gerbang, memberi jalan agar mobil papanya bisa keluar kemudian menutupnya kembali dan tak lupa menguncinya.

"Kamu temannya Reika? Siapa namamu?" tanya papa Reika dari balik kaca jendela pintu yang perlahan terbuka. Rambutnya klimis, mengenakan kemeja putih dan dibalut dengan setelan jas warna hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu.

"Benar, Pak. Saya satu sekolahan dengannya. Kenalkan, nama saya Rendy." Jawabnya sambil mengulurkan tangan.

Diraihnya jabatan tangan Rendy. "Saya Johannes, papanya Reika." Kuat juga genggaman anak ini, batinnya.

"Kami berangkat dulu ya, Nak Rendy. Sudah agak siang," pamit Johannes diiringi dengan senyumnya yang ramah.

"Sikahkan, Pak. Hati-hati di jalan."

Perlahan mobil silver itu melaju ke arah yang berlawanan dengan tujuan Rendy. Jalanan masih sepi, belum banyak kendaraan melintas. Hanya ada beberapa sepeda yang berjalan santai beriringan.

Udara dingin yang sejak subuh menyelimuti kota, mulai menghilang seiring datangnya sinar mentari. Namun, karena sekarang masih bediding, terlebih hari minggu, membuat orang-orang enggan keluar rumah dan masih setia bergelut dengan selimut.

Diteguknya air mineral yang sedari tadi ada digenggaman, sekedar menghilangkan rasa kering di kerongkongan. Ia melanjutkan lari pagi yang sempat terhenti, menuju taman kota yang jaraknya lumayan jauh dari rumah.

Sesampai di taman, ia bertemu Tyo dengan gerombolannya bermain bola. Tingkah mereka sangat arogan, mereka tidak peduli bahwa itu adalah tempat umum. Seolah tempat itu adalah miliknya.

"Tyo !" Mereka menoleh dari mana suara itu berasal.

"Weee ... coba lihat siapa yang datang. Ada perlu apa ?!" Tanya Tyo dengan sebelah kakinya nangkring di atas bola.

"Aku mau minta maaf soal di sekolah kemarin."

"Maaf ?" Tyo menunjuk bibirnya sendiri, "kau lihat ini? karena ulahmu aku mendapatkan ini, dan kau datang dengan entengnya minta maaf. Memang bukan kamu yang memukulku, tapi sama saja. Jika tukang intip tidak berulah, ini semua gak pernah terjadi."

"Ya, maka dari itu. Aku minta maaf."

"O, gak bisa Men ! Semua ada konsekuensinya." Tyo mulai meradang.

"Tidak masalah. Asalkan setelah ini semuanya selesai, aku tidak mau ada masalah lagi."

"Jadi, Kau mengerti maksudku." Rendy mengangguk dan mengatakan ya dengan tidak ada suara yang keluar dari bibirnya.

Tiba-tiba saja Tyo melayangkan pukulan ke pelipis Rendy sampai tersungkur. Darah mengucur ke pipi, tak berhenti di situ mereka mengeroyok sampai tidak bisa berdiri. Bukannya Rendy tidak berani atau tidak mau membalas, tapi sesuai dengan niat awalnya kalau ia akan menyelesaikan permasalahnnya dengan Tyo secara baik-baik. Namun, ternyata reaksinya sangat berlebihan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel