Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Banyak sekali yang mendekati dan menjanjikan sesuatu untuk Kamila. Tetapi entah kenapa dia merasa belum ingin memiliki kekasih. Entah apa yang di pikirkan nya tetapi ia sungguh belum menemukan tambatan hatinya yang sesuai dan merasa cocok.

Tak hanya Sersan Iqbal yang tampaknya memberikan kode kode etik mengenai pendekatan antara dua jenis manusia yakni pria dan wanita.

Setelah pernikahan Amierra dan Kapten Djavier berlangsung, Milla sudah tidak bertemu kembali dengan Sersan Iqbal karena pekerjaannya. Dan tak bisa di pungkiri Mila menyukai dan senang berdekatan dengan Sersan Iqbal. Bisa kalian bayangkan bukan, bagaimana rasanya di dekati oleh seorang Abdi Negara yang memiliki wajah lumayan di atas rata-rata. Dan tak bisa Milla pungkiri kalau dia memang menyukainya dan senang. Tetapi rasa suka itu hanya di landasi emosi dan nafsunya sesaat.

Sekarang setelah melihat bagaimana gencarnya sersan Iqbal mengabarinya dan memberikan perhatian lebih, itu malah membuat Milla sedikit takut.

Kamilla adalah seorang wanita yang suka sekali bercanda. Bahkan banyak pria yang terang-terangan mendekati nya di anggap bercanda seperti mahasiswa yang merangkap menjadi sopir grab. Milla sedikit memiliki trauma dalam menjalani hubungan yang serius. Selain itu pengalaman Amierra dengan Fauzan juga membuatnya sedikit ngeri untuk sekedar menjalani hubungan serius.

Tetapi jujur saja, Milla mengagumi sikap Djavier yang langsung melamar Amierra dan mengajaknya serius. Ah, wanita mana yang tidak mau di nikahi oleh seseorang yang memiliki ketampanan, keimanan dan kedewasaan yang mumpuni seperti Djavier. Siapa yang akan menolak lamaran seorang kapten Djavier? Adakah di antara kalian yang akan menolaknya kalau di sodorkan seorang Djavier?

Dan untuk Milla sendiri pastilah jawabannya TIDAK. Dia selalu bermimpi di lamar seorang pangeran tampan yang mencintainya dengan tulus. Memberikan ribuan cinta dan kasih sayang. Ah, itu adalah pemikiran primitif Milla yang terpendam di dalam hatinya.

Dan melihat sikap Iqbal padanya terlihat sekali kalau Iqbal tak terlihat serius. Hanya kode kode yang akan membuat para wanita baper tingkat Menara Eiffel tetapi setelahnya akan di jatuhkan ke bawah. Ah, rasanya sudah pastilah sakit. Milla sudah tau ciri-ciri pria yang hanya ingin bermain-main dengannya.

Milla menghela nafasnya beberapa kali. Pikirannya melalang buana ke hal hal lain sedangkan tugas kuliahnya masih menumpuk di depannya. Ia menggigit ujung pulpennya dan mulai mengerjakan tugasnya. Hingga suara pesan masuk menyadarkannya. Milla menyimpan pulpen di tangannya dan mengambil handphone nya.

Mas Iqbal

Pekerjaanku di sini akan segera selesai. Tidak akan ada lagi penambahan waktu. Kalau kamu berkenan, aku ingin mengajakmu bertemu. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Mil.

Milla terpaku menatap isi pesan itu. Ia tidak tau apa yang hendak di bicarakan oleh Iqbal padanya. Tetapi jujur saja, ia merasa gelisah.

Milla memilih tak membalasnya dan kembali sibuk mengerjakan tugasnya. Cukup lama Milla larut dalam kegiatannya mengerjakan rumus rumus di dalam buku hingga dering handphone kembali terdengar.

Mas Iqbal

Balaslah pesanku, saat ini aku sedang ada di kota. Aku akan kembali ke hutan dan tidak akan mendapatkan sinyal. Aku menunggu jawabanmu Mil.

Milla menghela nafasnya dan mengetik sesuatu di sana.

Me

Iya Mas, nanti hubungi saja kalau mas ingin bertemu aku.

Setelah membalasnya, Milla kembali mengerjakan tugas kuliahnya tanpa ingin di ganggu lagi. Dan terlihat jelas, Iqbal tidak membalas pesannya lagi.

***

Amierra tidak masuk kuliah setelah kejadian kemarin saat Djavier datang dan bertentangan dengan Fauzan. Mila memakluminya dan berharap hubungan mereka baik-baik saja.

Milla melangkah menuju ke sisi jalan untuk menunggu taxi hingga panggilan seseorang menghentikan langkahnya. Di depannya Iqbal tampak berjalan ke arahnya dengan senyuman manisnya. Ia tampak santai memakai kaos putih dengan celana jeansnya.

"Hai," sapanya membuat Milla tersenyum malu. Iqbal tidak memberikan kabar apapun padanya dan tiba-tiba saja berada di hadapannya.

"Katanya mau mengabariku dulu," ucap Milla.

"Kamu jarang membalas pesanku. Jadi ku pikir, sebaiknya aku langsung mendatangimu kesini." Iqbal menjawabnya tetap dengan senyumannya. " kamu mau pulang?"

Milla mengangguk canggung menjawab pertanyaan Iqbal.

"Ayo mari, aku akan mengantarmu." Iqbal mempersilahkan Milla membuat Milla berjalan lebih dulu menuju ke mobil milik Iqbal yang terparkir tak jauh darinya.

Milla memasuki mobil Iqbal setelah di bukakan pintu oleh Iqbal. Setelah ikut menaiki mobilnya, Iqbal langsung menginjak gas mobilnya meninggalkan tempat itu.

"Tidak apa-apa kan kalau aku mengajakmu makan siang dulu."

"Hmm,"

"Seperti yang sudah aku bilang. Ada yang ingin aku katakan padamu."

"Baiklah," ucap Milla.

Tak butuh waktu mereka sampai di restaurant kristal yang begitu mewah. Milla sampai berdecak pelan saat tau kemana Iqbal membawanya. Restaurant Kristal memang sangat terkenal. Masakannya yang memiliki cirikhas tertentu dan citra rasa yang sangat khas sudah dari beberapa tahun lalu. Restaurant ini juga setara dengan restaurant mewah berbintang 5 yang sudah pasti harganya melejit. Seorang seperti Milla mana bisa makan di tempat seperti ini. Bisa-bisa bekalnya selama satu bulan habis begitu saja.

"Ayo Mil," ajak Iqbal menyadarkan Milla yang tampak masih mengagumi nuansa mewah dan elegant restaurant itu. Mereka berdua memilih tempat duduk di dekat kaca hingga mampu melihat ke depan dimana kendaraan ramai berlalu lalang.

"Pesan saja sesukamu," ucap Iqbal saat seorang waiter menyerahkan dua buku menu ke mereka.

Milla kembali berdecak dan melotot sebentar melihat harga yang tertera di sana. Milla bisa mengambil kesimpulan kalau Iqbal bukanlah seseorang dari keluarga biasa saja. Menyimpulkan itu entah kenapa Milla meringis ngilu. Astaga bagaimana bisa seseorang berpangkat tinggi mau berjalan bersamanya yang merupakan gadis rantauan dari desa nan jauh di sana.

"Kenapa?" tanya Iqbal saat melihat Milla hanya diam terpaku.

"Aku tidak tau mau memesan apa. Di samakan saja," ucap Milla.

"Mbak, siapkan menu spesial di sini."

"Baik mas," setelah mencatat, waiter itu kembali membawa buku menu nya dan berlalu meninggalkan meja mereka.

Milla diam membisu dan menatap sekeliling restaurant yang di desain bergaya eropa. Matanya menangkap seseorang berwajah tampak yang baru saja memasuki restaurant. Milla sempat mengernyit dan menatap binar pria itu. Baru pertama kali Milla melihat pria setampan itu dengan wajah blazterannya dan aura dingin yang melingkupinya. Iqbal mengikuti arah pandang Milla.

"Dia sangat tampan bukan?" tanya Iqbal menyadarkan Milla dan tersenyum kikuk dengan wajah yang merah karena malu. Kebiasaan buruk Milla selalu saja seperti ini. Dia tak bisa menstabilkan tatapan matanya saat melihat cowok ganteng yang bling bling. Rezeki tidak boleh di tolak, bukan?

"Eh itu..."

"Doa adalah Leonard Pandu Adinata. Pemilik restaurant ini," ucap Iqbal.

"Pemilik?" tanya Milla merasa sangat kaget. Ia kembali melirik ke arah pria tadi yang tengah berbincang dengan seseorang. Dari penampilannya dia terlihat santai, dan terlihat masih sangat muda.

"Iya pemilik, aku memang tidak mengenalnya. Tetapi karena aku sering kesini, aku jadi tau siapa dia. Restaurant ini sering mengadakan event saat weekend dan hampir semuanya mengenal Leonard sebagai pengusaha muda." Milla mengangguk paham.

"Tadi mas bilang ada yang mau di bicarakan. Apakah itu?" tanya Milla mengalihkan pembicaraan walau tak di pungkiri sesekali matanya melirik ke arah Leon yang kini menghilang di balik pintu lift.

"Begini," Iqbal tampak berubah canggung seraya mengusap lehernya gusar. "Milla, aku mengirimkan kata-kata itu kepadamu bukan sekedar candaan. Aku sungguh serius padamu."

Milla tampak masih terpaku di tempatnya, hingga akhirnya ia berdehem pelan berusaha menetralkan suaranya.

"Serius? Maksudnya?" tanya Milla.

"Kita memang belum saling mengenal. Dan kamu juga pasti merasa ini sangat terburu-buru. Tetapi bisakah kita menyepakati sesuatu?"

"Kesepakatan apa?" tanya Milla tampak bingung.

"Aku tidak akan mengajakmu berpacaran. Tetapi bisakah kita lebih dekat dari seorang teman untuk saling mengenal satu sama lainnya? Dan aku berharap tak ada pria lain di hidupmu selain aku."

Milla masih mengernyit bingung. "Mas ingin aku setia pada mas, tetapi tanpa ada status? Seperti itukah?"

Iqbal mengangguk samar. "Sebenarnya aku sudah menyukaimu saat kita pertama kali bertemu. Dan aku sejujurnya belum pernah meminta seorang wanita seperti ini. Aku memang tidak memungkiri kalau aku pernah berpacaran dan dekat dengan beberapa wanita. Tetapi saat ini tidak ada, sudah tidak ada Milla."

"Mas, aku sebenarnya masih bingung. Ini serba mendadak. Apa jenis hubungan ini seperti ta'aruf yang berujung pada lamaran dan pernikahan ataukah hanya sekedar mengalihkan rasa bosan?" tanya Milla.

"Ini bisa di bilang ta'aruf. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Tetapi untuk lamaran dan pernikahan aku belum bisa menjanjikannya." ucapan Iqbal sudah pasti membuat Milla semakin bingung. Kalau seperti itu. Kemana arah tujuan hubungan mereka ini.

"Mas, kalau mas ingin mengusir rasa bosan. Maka silahkan mencari wanita lain. Karena saya, tidak siap hanya untuk bermain-main."

Wanita mana yang rela di gantungkan tanpa status yang jelas. Di gantung itu rasanya pedih, Sersan!

"Baiklah aku akan mengatakan kejujuran. Saat ini, aku sedang dalam proses perjodohan oleh orangtuaku. Tetapi sungguh aku tidak menyukainya, aku menyukaimu. Milla. Aku ingin kamu bersabar sampai aku berhasil membatalkan perjodohan ini, sebelum akhirnya aku memutuskan melamarmu."

Milla menganga tanpa sadar mendengar ucapan Iqbal uang terang-terangan itu.

Bagaimana bisa seperti itu?

Eta Terangkanlah......

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel