Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Pelepasan dan Pelarian

“Lo ngapain di sini, Bre?” tanya Cassie spontan ketika melihat kehadiran sahabat sekaligus lelaki yang dia sukai, Bryan. Ia hanya takut kalau Bryan salah paham melihat dirinya yang baru saja keluar dari toko perhiasan.

Lihat saja tatapan Bryan yang tertuju padanya, Bisma, lalu ke arah toko emas itu secara bergantian.

“Lo sendiri ngapain di sini?” Bryan menoleh pada Bisma. “Dia siapa?”

Mendapat pertanyaan itu, Cassie langsung menitikkan keringat dingin. Kenapa juga ia harus sebegitu canggungnya? Bukankah dirinya dan Bryan tidak ada hubungan apa pun?

“Oh, ini ... kenalin, Bre, ini—“

Bisma dengan segera mengulurkan tangan pada lelaki di hadapannya.

“Saya Bisma, calon suami Cassie.”

Cassie hanya nyengir saja kala Bryan melemparkan tatapan ke arah Cassie. Antara kaget, tak percaya, sekaligus memohon penjelasan.

Oke, Cassie akan menjelaskan. Namun, tentu saja tidak di tempat itu.

“Sudah, kan? Ayo kita pulang sekarang!” ajak Bisma, kemudian berjalan lebih dulu tanpa berniat menunggu Cassie yang kebingungan apakah akan tinggal di saan untuk memberi penjelasan ataukah mengekor langkah sang calon suami yang sejak tadi ketus terhadapnya.

“Gue pergi dulu, ya, Bre ....” Cassie bergegas setelah melambaikan tangan pada sahabat sekaligus lelaki yang ia sukai yang masih menatap punggungnya yang menjauh itu.

Bryan tidak percaya, tentu saja. Bukankah Cassie tidak pernah memiliki pacar selama ini. Apalagi yang tadi ... seperti om-om jika berjalan bersama dengan Cassie yang notabene masih tampak imut-imut di usianya yang juga tergolong masih belia.

Dua puluh tahun dan disuruh menikah dengan seorang om-om?

Bryan mungkin akan lebih terkejut lagi kalau tahu bahwa Bisma adalah seorang duda.

“Mas Bisma, stop! Aku capek, nih! Kenapa cepat-cepat, sih, jalannya?” Cassie yang berusaha mengekor langkah lebar Bisma, tampak mulai kewalahan. Tentu saja ia tak mampu mengikuti tubuh tegap di depannya.

Terlebih lelaki itu tak juga hentikan langkah meski ia tahu Cassie tertinggal jauh di belakang.

Pintu mobil sudah terbuka untuknya, tetapi Bisma tak menunggu sampai Cassie masuk, sudah ia tinggalkan masuk ke depan kemudi. Cassie hanya menanggapi itu semua dengan cemberut.

“Kenapa harus buru-buru, sih, Mas? Aku sampe engap ngejar Mas Bisma,” protes Cassie yang masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang sudah tak beraturan.

Untung saja tidak sampai copot.

“Memangnya mau apa lama-lama di sana? Biar deket sama mas-mas yang tadi?” sergah Bisma, yang mulai menunjukkan sikap posesif.

Bukan, dia bukan posesif karena cinta, melainkan karena kesal melihat Cassie yang salah tingkah di hadapan Bryan. Terlepas apakah Bisma cinta atau tidak terhadap Cassie, melihat interaksi antara calon istrinya dan lelaki lain, tentu saja membuatnya tak suka.

Cassie yang masih terengah saat sudah tiba di dalam dan duduk manis di samping sang pengemudi tanpa berkata-kata, hingga tiba di rumah. Bisma hanya mengantar Cassie sampai ke dalam, berpamitan pada sang calon ibu mertua, Monika. Dan jangan ditanya apa lagi yang ia lakukan, langsung pergi, tentu saja.

***

Bisma tiba di apartemennya dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa, memijit keningnya yang terasa berdenyut nyeri. Hari ini terlalu melelahkan baginya, yang sejak tadi sama sekali belum sempat merebahkan tubuh sama sekali.

Kali ini ia berniat untuk rehat, tetapi sepasang lengan melingkar di leher lelaki itu dan memeluknya dari belakang.

“Kamu ke mana aja, sayang? Aku nungguin kamu dari tadi. Aku kangen banget,” ucap wanita yang ternyata sudah sejak tadi berada di apartemen pribadi milik Bisma dan selalu melakukan itu setiap hari selama menunggu lelaki itu pulang bekerja.

“Kerja,” jawabnya, singkat.

Wanita itu bangkit, melepaskan rangkulannya dan memutari sofa demi berpindah ke hadapan lelaki itu, lalu duduk di pangkuannya. Lagi, ia melingkarkan lengannya pada pinggang Bisma dan menyandarkan kepala pada dada bidangnya.

“Iya, tahu kalau kamu kerja. Tapi kok pulangnya gak kayak biasanya?” tanya wanita itu dengan nada suara yang dibuat manja.

“Saya ada urusan.” Bisma menjawab lagi, masih dengan singkat seolah tak ingin berurusan dengan perempuan yang kini ada di pangkuannya.

“Memangnya gak kangen sama aku?” Satu pertanyaan lagi yang tak juga direspon oleh lelaki itu, akhirnya membuat sang wanita menyerah.

“Ya udah, gak apa-apa. Yang penting kamu sekarang udah di rumah. Aku udah masak, lho. Gulai ayam sama tumis daun singkong, kesukaan kamu!” ujar perempuan itu, gembira. Namun, Bisma tampak tidak tertarik.

Ia kemudian bangkit dan meninggalkan perempuan yang tetap mengekornya hingga ke kamar.

“Bisma, sayang! Kenapa sih kamu cuek gini? Biasanya enggak,” rengeknya. Mendengar pertanyaan itu, Bisma terdiam seolah membenarkan perkataan perempuan itu, bahwa hari ini ia memang berbeda.

Mungkin bukan beda, melainkan hanya lelah.

Lelaki yang semula memunggungi perempuan itu akhirnya berbalik dan menatap wajah ayu di hadapannya.

“Maaf Tamara, aku Cuma capek. Kamu bagaimana bisa masuk?” tanya lelaki itu, berusaha bersikap lembut, setelah beberapa menit lalu memberi respon dingin pada sang kekasih.

“Kamu lupa? Aku punya kunci cadangan dan aku biasa ngelakukan ini, kan? Kok tumben kamu tanya?” selidiknya. “Bisma, aku kangen banget ....”

Jika perempuan itu sudah merengek, tandanya ada yang diinginkan olehnya. Bisma pun hanya lelaki biasa yang tentu saja memiliki hasrat dalam dirinya. Sekokoh apa pun benteng yang ia bangun, jika godaannya jauh lebih kuat, maka ia tak mungkin bisa menghindar.

Ia lelaki yang cukup digandrungi, karena segala yang ia miliki. Jabatan, kekayaan, dan terlebih tampilan yang menawan. Tak ada yang akan ungkiri itu.

Jadi tak heran, jika dirinya masuk ke dalam jajaran pebisnis yang sukses, sekaligus seorang kasanova.

Namun, mengherankan ketika pada akhirnya, ia memilih Tamara sebagai tambatan hatinya. Bukan karena sungguh-sungguh mencintai wanita itu, melainkan untuk sebuah status dan pelarian.

Bisma meraih perempuan itu dengan lengannya, melingkarkannya di pinggang sang kekasih, memagut dan mengecup bibir ranum berpoleskan pewarna bibir yang mencolok, menyesap manis yang tak pernah bisa ia lupakan.

Namun bukan, bukan bibir perempuan itu yang masih terbayang, melainkan yang lainnya. Perempuan yang tak akan pernah bisa ia hilangkan dari ingatannya sekuat apa pun ia berusaha menjalin hubungan dengan yang lain.

“Kamu cantik sekali,” puji Bisma pada Tamara, tetapi dalam batin lelaki itu, bukan Tamara wanita yang ingin ia sanjung sedemikian rupa.

Bahkan ketika dirinya bergerak teratur di atas sang kekasih, wajah perempuan itu yang terbayang, aroma tubuhnya yang terhidu oleh Bisma. Bahkan saat dirinya mencapai puncak kenikmatan, nama perempuan lain itu yang ia sebut dengan lirih.

Sayangnya, kali ini, Tamara mendengarnya dengan jelas. Namun, ia hanya bungkam, karena setiap kali mereka melakukannya dan nama itu disebut oleh Bisma, yang terjadi di antara mereka hanyalah pertengkaran.

Bisma tak bisa bayangkan jika Tamara sampai tahu bahwa kedua orang tuanya sudah menjodohkan dirinya dengan perempuan lainnya lagi yang pasti akan menjadi saingan barunya.

Namun, di dalam hati Bisma, hanya satu nama perempuan yang tak pernah lekang oleh apa pun.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel