5. Berbeda sikap
Suara azan subuh berkumandang sangat merdu. Prawira terbangun karena nyanyian itu memanggil untuk melaksanakan ibadah. Setelah mandi dan rapi dengan baju koko juga sarung, pria itu membangunkan sang istri. Noura menggeliat, melenguh merasakan tubuhnya tergoncang.
Noura membuka mata dan langsung mendorong tangan pria itu. "Mau apa kamu, Mas!" Dia langsung beringsut ke belakang. Menyilangkan kedua tangan di dada.
"Saya cuma membangunkan kamu, ayo subuhan dulu," jawab Prawira datar mengembalikan tangan ke posisi semula. Dia mundur selangkah.
Tatapan mata Noura lurus sejajar pada pria di hadapannya. "Tapi jangan pegang-pegang juga. Panggil aja, kan bisa." Dia menatap nyalang.
"Maaf, saya sudah panggil kamu beberapa kali tadi," jawab Prawira kemudian. Ini hari pertama sebagai suami istri, dan mereka sudah berdebat.
Tak memperpanjang masalah, wanita itu beranjak dari tempat tidurnya. Langsung masuk ke kamar mandi dengan wajah masam. Dia mengerutu entah apa, menutup pintu sedikit keras.
Prawira pun menghembuskan napas panjang. Sebaiknya dia langsung ke masjid saja. "Noura, saya ke masjid dulu, ya!" seru Prawira saat di depan pintu kamar mandi.
Tak terdengar jawaban dari dalam sana, pria itu pun melangkah meninggalkan kamar. Setelah berada di ruang tamu, terlihat sang mertua juga baru keluar dari kamar. Tampak Pak Sugiarto sepertinya juga ingin solat ke masjid.
"Bapak mau ke masjid?" sapanya menghentikan langkah kaki Pak Sugiarto.
Ayah mertua Prawira menoleh, sambil mengerutkan kening. "Loh … kamu mau ke Masjid, Jaka?" Dia pikir menantunya itu akan salat di rumah saja dengan Noura.
"Iya, Pak." Prawira mengangguk.
"Jangan panggil saya 'bapak' lagi dong, Prawira. Kamu itu sudah menjadi menantu saya. Panggil saya 'ayah' sama seperti Noura!" perintah Pak Sugiarto.
"Baik … Ayah."
Pundak Prawira ditepuk, Ayah mertuanya itu tersenyum. Ada perasaan hangat ketika merasakan cara Pak Sugiarto memperlakukannya. Selama bertahun-tahun Prawira tidak pernah merasakan seperti ini lagi kebersamaan bersama orang tua laki-lakinya. Kini perasaan itu kembali hadir setelah bertemu dengan sang penyelamatnya ini.
Rasanya sedikit aneh atau hanya kebetulan. Pak Sugiarto terlalu baik padanya. Sangat baik, seperti mereka sudah saling mengenal sangat lama. Seolah dirinya sudah dianggap anak sendiri.
***
Setelah kembali dari masjid Prawira langsung masuk ke kamarnya di paviliun belakang rumah. Mengganti pakaian dan segera menuju pangkalan Bakso untuk bekerja. Tak tau bagaimana dengan Noura, dia pun rasanya enggan untuk mengganggu istrinya itu.
"Mas Jaka? Kenapa di sini?" Mas Kardiman, orang yang biasa mengatur semua keperluan untuk Bakso, menyapa. Dia baru saja akan menyiapkan bahan-bahan.
Prawira memasuki dapur hendak membantu Kardiman mengiling adonan. "Lalu, saya seharusnya di mana, Man?" tanyanya.
"Ya di kamar manten lah, Mas. Pengantin baru … emang nggak capek ya, semalam?" Alis Kardiman terlihat naik turun.
"Ya, capek lah, Man." Prawira menanggapi pertanyaan yang sebenarnya mengarah ke maksud lain. Namun, jawabannya tidak salah juga, karena dia memang kelelahan karena berdiri seharian penuh.
Kardiman tersenyum mesum. "Jadi … berapa ronde, Mas?" tanya Kardiman menaik turunkan alis, lagi. Senyumnya terlihat menggelikan, sampai membuat Prawira mendelik tajam. Dia pun tertawa terbahak-bahak. Pengantin baru memang mengasyikkan jika digoda, pikirannya.
Prawira menggeleng, hanya bisa tersenyum digoda seperti itu. "Kamu tidak akan sanggup kalau tau saya kuat berapa ronde. Stamina saya jauh lebih kuat dari kamu," sarkasnya, lalu tertawa.
Namun, tentu saja ejekan itu hanya candaan, Kardiman tau itu. Dia pun ikut tertawa bersama.
Hari ini tidak banyak adonan bakso dibuat. Warung juga tidak dibuka, hanya empat gerobak bakso saja yang akan berkeliling kampung. Itu pun hanya setengah dari target hari biasa per gerobak. Walau baru selesai mengadakan hajatan, tidak mungkin membiarkan pada pegawai tidak berpenghasilan. Pak Sugiarto selalu mengutamakan kesejahteraan pegawainya adalah yang paling penting.
Satu jam setelah membantu Kardiman menyiapkan adonan. Prawira kembali ke rumah untuk sarapan. Dia pun langsung menuju kamarnya. Namun, seketika pria itu dikejutkan dengan sosok wanita yang duduk di kursi santai di teras kamarnya, sedang menyilangkan kedua kaki. Noura sepertinya sedang menunggunya datang.
"Mas, dari mana?" serang Noura langsung bertanya. Wajahnya tampak tidak bersahabat.
"Noura? Saya dari pangkalan, bantu Kardiman buat adonan," jawab Prawira. Lalu dia lebih mendekat, ingin masuk ke kamar, tetapi Noura menghalangi. Wanita itu langsung berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang.
"Ya seharusnya Mas bilang dong kalau mau keluar, Ayah jadi nyalahin aku karena nggak tau Mas pergi ke mana!"
"Iya, maaf, saya lupa. Lain kali saya akan kasih tau kamu." Prawira masih bersikap lembut. Salahnya juga tidak memberitahu istrinya itu. Statusnya kini telah berbeda, dia juga harus mempertimbangkan posisinya sebagai suami dan juga menantu di rumah ini.
"Ya udah, sekarang ke dalam, Ayah suruh kita sarapan sama-sama," ucap Noura sedikit kesal.
"Iya, sebentar ya. Saya ganti baju dulu."
Prawira maju selangkah. Noura dengan cepat menghindar menjauhkan tubuhnya. Dia mendengus langsung berbalik dan meninggalkan Prawira. Pria itu menghela napas. Jelas sikap Noura padanya terlihat jauh berbeda ketika dibandingkan dengan orang lain.
***
“Suami kamu mana, Nou?”
“Masih ganti baju di paviliun, Yah. Tadi setelah subuh Mas Pra bantuin bikin adonan di pangkalan.”
Jawaban Noura dibalas anggukan kepala pria paruh baya itu. Hari ini hari pertama sang putri di kehidupan rumah tangga. Di setiap sujud dia berharap, anak sematawayangnya itu dapat bahagia. Meski pilihannya sulit diterima Noura, tapi semua harapan telah dia tanamkan di sana. Kelak saat dia tidak lagi ada, hatinya pun sudah merasa tenang.
“Ayah minta kamu bisa jaga sikap ke suamimu ya, Nou. Ingat kalian sudah menikah, jadi berusahalah untuk patuh dan mendengar perkataan suami. Kamu harus minta persetujuan suamimu kalau mau melakukan apa pun.”
“Iya, Yah. Nou mengerti.”
Percakapan tiba-tiba terhenti karena sebuah panggilan telepon. Saat melihat layar dengan nomor yang familiar, kening Noura mengerut. Ini waktu liburnya, mendapat panggilan tersebut sepertinya sesuatu yang sangat penting.
“Telpon dari kantor?” sela sang ayah.
“Iya, Yah. Sebentar ya, Noura jawab dulu.”
Usai anggukan Noura menekan tombol terima. “Halo ... ya.”
“Halo, Noura. Saya ada perkerjaan penting buat kamu.”
Noura terlihat mendengarkan ucapan lawan bicaranya dengan serius. “Tapi saya masih di kampung, masih cuti, Pak.”
Entah hal mendesak apa yang sedang menyambutnya. Kemungkinan besar itu pasti berhubungan dengan pekerjaan. Suatu hal yang sepertinya tak dapat Noura tolak. Mau bagaimana lagi, profesinya sebagai jurnalis memang harus selalu siap dalam keadaan apa pun. Apalagi jika itu adalah keadaan darurat, sulit bagi Noura untuk menolak.
“Baik, saya harus bagaimana?” balas Noura membalas sebuah arahan. “Selama tidak terlalu mengganggu waktu liburan, saya tidak terlalu masalah.”
