2. Dia Amnesia
Panggilan sang ayah membuat langkah wanita itu terhenti. Dia kembali berbalik setelah menghela napas ringan. Bagaimanapun juga dia ingin tetap tenang menghadapi ayah yang sangat dia cintai itu.
“Ayah harap kamu segera mempersiapkan diri. Ayah melakukan semua ini juga untuk kebaikan kamu. Ayah akan mengatur semuanya, jadi kamu terima beres saja.”
“Nou harap Nou tidak akan kecewa dengan keputusan ayah ini.” Balasan singkat Noura mengakhiri obrolan mereka. Percuma saja dia membantah. Biarlah dia menerima untuk saat ini.
Jaka mengekor langkah wanita itu dengan matanya hingga menghilang dari pandangan. Dia menyimpulkan, Noura yang keras kepala, tidak terima akan keputusan sang ayah. Namun, wanita itu tak menunjukkan emosi yang berlebihan, tak sekali pun dia meninggikan suara. Jaka dapat melihat, seperti apa kilat kemarahan di mata wanita itu. Noura pasti diajarkan tata kerama dengan baik.
***
“Amnesia? Bisakah dia dipercaya?”
Noura masih belum jelas cerita lengkapnya. Sekarang dia memang mengalah, tapi tetap saja masih ragu sepenuhnya pada pria itu.
Bagaimanapun, sebagai seorang wartawan yang memiliki intuisi kuat, Noura tetap ingin mengetahui asal usul Prawira. “Jika sekarang pria itu terlihat baik, bukan berarti latar belakangnya juga baik, kan?”
Setelah makan malam, Noura akhirnya kembali menanyakan tentang bagaimana Prawira bisa berada di rumah ini. Seserius apa kecelakaan yang didapat hingga menyebabkan pria itu hilang ingatan. Pak Sugiarto yang menjabat sebagai Lurah selama empat tahun itu pun menceritakan pada Noura.
Semua itu terjadi pada lebih tiga bulan yang lalu, saat beberapa orang yang hendak ke ladang di kaki bukit. Mereka menemukan seorang pria dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuh penuh luka, pakaian compang camping. Tuhan sangat baik karena pria itu masih bernyawa walau tanda kehidupannya lemah. Nyawanya tertolong, tapi dia harus kehilangan semua ingatan tetang kejadian. Akhirnya Pak Sugiarto memutuskan untuk merawat pria yang diberi nama sementara Jaka tersebut.
"Jadi, Ayah membiarkan dia tinggal di rumah kita?" Jika bukan karena niat sang ayah menjodohkannya dengan pria itu, rasa keingintahuan Noura tidak akan sebesar ini.
"Iya, Nou … tidak ada cara lain. Sebagai Lurah Ayah harus bertanggung jawab, karena kecelakaan yang Jaka alami terjadi di kampung kita. Satu lagi alasan, selain Ayah, tidak ada yang mau bantu. Melihat kehidupan kita yang selama ini jauh lebih baik dari warga kampung."
Hembusan napas Noura terlihat berat. Bukan itu saja alasan yang dia pikirkan. Semua juga karena Ayahnya terlalu baik dengan warga, jadi tentu saja mereka akan mengandalkan Lurahnya.
Selama beberapa hari dia di rumah, baru ini dia menanyakan cerita keseluruhan. Sebelumnya Noura terlihat cuek karena dia berpikir pria yang kehilangan ingatannya itu hanyalah pekerja biasa di warung bakso sang ayah. Terlebih lagi kesan pertama pertemuan mereka yang membuat Noura tak menyukai pria itu.
Noura kemudian terdiam. Tampaknya dia masih ingin membujuk sang ayah untuk membatalkan perjodohan. Namun, Pak Sugiarto sebagai orang yang membesarkan gadis itu tau bagaimana menghadapinya.
"Nou ... ayah tahu kamu masih berpikir untuk menolak pernikahan ini. Ayah minta maaf jika kamu merasa terpaksa. Ayah mengerti kamu sangat mencintai pekerjaanmu, Nak. Ayah sangat bangga dengan pencapaian karir kamu di usia segini. Ayah bangga dengan semua yang kamu lakukan. Tapi, lebih bagus lagi jika kamu juga bisa menikah di usia sekarang. Dengan begini ayah menjadi semakin tenang melepas kamu di kota besar, Nak.” Perkataan Pak Sugiarto terhenti sejenak, merasakan keharuan karena kasih sayangnya pada sang putri.
Melihat itu, Noura pun ikut merasa sedih. Mengingat bagaimana perjuangan sang ayah membesarkannya setelah sang ibu meninggal sejak dia kecil. Noura menjadi tidak tega untuk menolak niat menjodohkannya dengan Prawira. Tubuh pria itu pun direngkuhnya, membawa dalam dekapan hangat.
“Selama ini ayah khawatir, terlebih lagi dengan resiko pekerjaan kamu yang tidak mudah. Lebih bagus lagi kalau kamu berhenti bekerja, Nou. Serahkan semua tanggung jawab pada suami nanti."
Mendengar itu, Noura melepas pelukannya. "Nggak,Yah. Noura tetap mau kerja walau udah nikah sekali pun. Lagi pula Noura masih mau ngejar karir, Yah."
"Loh, kenapa? Liat temen-temen kamu, ada yang anaknya sudah SMP."
"Ayah jangan samakan Noura sama mereka, Yah. Mereka nikah muda, dan hidup hanya bergantung sama suami. Noura mau mandiri, dan nggak mau menyusahkan orang lain."
"Kalau kamu nikah, akan ada yang gantiin Ayah menjaga kamu, Nak. Ayah sudah tua, Nou. Udah kangen mau gendong cucu," ucap Pak Sugiarto mengiba.
"Iya, Yah. Noura ngerti."
Gadis itu akhirnya mengalah. Demi membahagiakan orangtua satu-satunya. Tapi, dia tetap akan terus bekerja. Karirnya baru saja naik, bagaimana dia akan melepaskan begitu saja, hanya karena mau jadi ibu rumah tangga.
***
Prawira mengingat lagi, malam ketika Pak Sugiarto memintanya untuk menikahi Noura. Tentu saja dia sangat terkejut, kenapa pria yang telah berbaik hati menerimanya di rumah ini, serta memberinya pekerjaan, mau menjadikannya menantu?
Pria itu menghirup oksigen banyak-banyak. Perkataan Pak Sugiarto malam itu, permintaan dari seorang ayah yang sangat ingin anaknya terlindungi. Prawira tak dapat menolak, anggap saja ini merupakan caranya untuk membalas budi.
"Mas Jaka.”
“Ya.”
Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunan pria yang tengah duduk di depan kamarnya. Sebuah pavilun belakang rumah utama. Dia pun menoleh ke belakang. Noura telah berdiri dengan melipat lengannya di bawah dada.
“Bukan. Harusnya sekarang saya panggil Prawira. Mas Pra ... wira,” ujarnya dengan penekanan. Tampak semburat tidak suka dari wajah wanita itu.
“Ya.”
“Kita harus bicara!"
Prawira pun menghela napas ringan, pastinya mereka akan membicarakan masalah ini dengan serius.
"Baiklah," balas pria itu datar. Dia pun berdiri dan mengajak Noura duduk menggantikannya. Karena hanya ada satu kursi di sana. "Silakan."
"Tidak perlu, saya hanya mau menyampaikan satu hal,” tolak wanita itu. “Jangan pikir saya sudah menerima begitu saja pernikahan ini. Saya tidak bisa menolak kemauan Ayah. Jadi, saya terpaksa, saya juga belum bisa percaya sepenuhnya sama kamu." Manik mata Noura menatap tajam.
"Terserah kamu, ini juga karena permintaan Ayah kamu. Saya hanya membalas budi beliau," kata Prawira datar.
"Baguslah." Tanpa berkata apa-apa lagi, Noura berbalik dam masuk kembali ke dalam rumah.
Pria yang tetap datar menanggapi situasi itu, memandangi Noura. "Wanita keras kepala," batin Prawira kemudian.
Sampai pada keesokan harinya, siang itu, Prawira tanpa sengaja mendengar percakapan Noura dengan seseorang di telepon.
"Sayang, maaf. Aku nggak maksud khianati kamu. Ayah maksa aku nikah! Aku nggak bisa nolak, aku nggak mau ngelawan keinginan Ayah."
Prawira yang ingin masuk ke rumah utama. Diam-diam menguping dari balik tembok. Mendengar suara Noura yang sedang berada di halaman belakang rumah. Prawira sadar, Pernikahan ini Noura terima karena terpaksa, dan ternyata alasan lainnya juga karena sudah memiliki tambatan hati. Lalu kenapa mereka tidak merencanakan pernikahan saja, apakah Noura belum mengenalkan kekasihnya itu kepada ayahnya? Sehingga kini dia diminta untuk menikah segera. Pemikiran itu seketika Prawira bayangkan.
"Iya, Sayang, aku janji. Pernikahan ini hanya untuk sementara, agar ayah senang, nggak lebih dari itu. Aku juga akan minta dia menandatangani perjanjian." Suara Noura terdengar memohon.
