Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 1: Si Kunyuk Menyebalkan

ARINI

“Nggak bisa! Cewek nggak boleh gabung di klub basket kita.” Terdengar suara lantang dari ruangan basket membuat diri ini terkesiap.

Siapa itu? Apa kapten tim? Siapa namanya? Gue lupa.

“Lo hati-hati, Rin. Kapten tim basket itu ‘kan songong banget. Udah gitu anti lihatin cewek kayak kita.” Kalimat yang dilontarkan oleh Lova tadi siang kembali berputar di pikiran.

‘Cewek kayak kita’ di sini maksudnya yang cantiknya di bawah rata-rata dan nggak penting.

“Tapi gue cuma pengin latihan aja. Nggak mungkin masuk tim intilah,” tanggap gue.

“Gue kenal banget siapa Brandon, Rin. Dari SMP anaknya belagu banget. Sok kegantengan dan perfectionist. Dulu pernah ada anak cewek yang mau ikut latihan basket, tapi akhirnya dikeluarin karena ketahuan modus buat deketin dia,” papar Lova lagi.

Gue kembali merapatkan terlihat di pintu masuk ruangan, agar bisa mendengarkan percakapan lebih lanjut antara Pembina dan cowok yang diduga bernama Brandon itu.

“Dia hanya latihan, Brandon. Bapak juga sudah tes dan memang permainannya oke. Bisa bantu anggota kita untuk latihan juga, jika ada yang sakit.” Kali ini terdengar suara Pak Bambang, pembina klub basket SMA tempat gue sekolah.

“Nggak bisa, Pak! Sejak awal setuju jadi kapten klub, saya udah bilang nggak ada cewek kecuali cheerleaders di klub ini!” tegasnya membuat mata ini menegang.

Fix, cowok yang lagi ngomong sama Pembina adalah Brandon. Belagu bener nih anak, mentang-mentang orang tuanya donatur tetap di sekolah ini, jadi seenak jidatnya ngomong kayak gitu sama Pak Bambang. Nggak diajarin sopan santun sama orang tuanya? Huh!

Sebagai siswa kelas satu yang memasuki semester kedua di sekolah ini, gue pernah dengar track record seorang Brandon Harun yang diberi julukan Casanova kelas 1D. Dia anak Sandy Harun, pengusaha tajir melintir di bidang property dan garment. Sejak SMP punya banyak gebetan, tapi nggak satupun yang dipacari.

Well, gue memang belum pernah lihat dia secara langsung sih. Kata anak-anak cewek, tampang si Brandon ganteng banget. Seganteng apa sih? Masa iya lebih ganteng dari Jerry Yan yang dramanya lagi booming sekarang?

“Jangan cari gara-gara sama Brandon, Rin. Sama aja lo cari mati,” nasihat Lova sebelum gue ke sini.

Sehebat apa sih dia? Meski bapaknya donatur tetap, tapi nggak boleh semena-mena gitu dong sama orang!

Tiba-tiba pintu ruang basket terbuka, membuat gue terperanjat. Netra ini langsung menangkap sosok Pak Bambang berdiri di sela pintu. Kayaknya mereka sudah selesai berdiskusi. Bukan! Lebih tepatnya berdebat.

“Masuk Arini. Kapten klub mau bertemu sama kamu,” suruh Pak Bambang.

Gue menelan ludah. Buat apa si Brandon mau ketemu? Kalau nggak mau ‘kan tinggal tolak aja. Masih bisa latihan sendiri di rumah kok sama Uda.

Jujur sih, nyali menjadi sedikit … ciut sekarang. Perkataan Lova kembali berputar di pikiran. Gimana kejamnya Brandon waktu SMP. Katanya lagi, cewek yang dulu masuk ke klub basket sampai pindah sekolah karena di-bully sama fans-nya saking nggak tahan lagi.

“Se-sekarang, Pak?” tanya gue mendadak gagap.

“Iya. Masuk,” jawab Pak Bambang mempersilakan gue memasuki arena yang biasa digunakan untuk latihan dan pertandingan basket antar sekolah itu.

Enam bulan jadi siswi di sini, baru sekarang memasuki ruangan basket. Ternyata besar dan bagus juga. Nggak sia-sia Bokap sekolahkan gue di sekolah favorit berskala nasional ini.

Siapa sih yang nggak tahu dengan Globe School? Sekolah swasta yang biaya bulanannya nggak sedikit, fasilitasnya juga nggak main-main dan prestasinya juga sudah diakui. Siswa dan siswi di sini beragam. Ada anak artis, anak pengusaha hingga anak PNS seperti gue. Mungkin ada juga yang lewat jalur beasiswa.

Ya, Bokap seorang PNS di Kementerian Perhubungan. Tahu sendirilah gaji PNS berapa? Apalagi memiliki tanggungan tiga orang anak yang masih sekolah. Nyokap hanya seorang ibu yang mengabdikan diri 24 jam untuk keluarganya.

Kaki ini terasa berat waktu dilangkahkan memasuki ruangan. Kepala juga menunduk dalam sehingga poni sudah jelas terjuntai di depan jidat. Rambut yang diikat ke atas jadi turun ke bahu kanan. Netra ini hanya melihat sepatu yang terus bergerak hingga ….

Kayaknya kepala ini tertahan sesuatu deh. Spontan kepala jadi mendongak ke atas dan melihat cowok yang berdiri di depan dengan tangan diulurkan ke depan. Gue langsung mundur dua langkah ke belakang saat sadar si Kunyuk itu baru saja mendorong kepala dengan tangan kirinya.

“Kalau jalan lihat ke depan dong!” cetusnya dingin.

“Sorry nggak sengaja,” ucap gue pelan banget sambil membetulkan poni yang sedikit berantakan.

Dia tertawa lantas berdecak. “Lo sengaja ya biar bisa gue peluk?”

What? Mata gue langsung melebar mendengar kalimat super nggak sopan yang dilontarkan, di dekat guru pula. Kurang ajar!!

“Gue bilang nggak sengaja. Kalau tahu lo di depan ya pasti gue langsung berhenti,” sergah gue menatap nyalang sehingga bisa melihat wajah Brandon. Ganteng dari mana? Dekil kayak gini. Haha!

Sesaat gue tertawa singkat membuat kening Brandon berkerut. Dia pasti bingung.

“Arini,” tegur Pak Bambang sambil menggelengkan kepala.

Beliau kayaknya khawatir kalau gue cari masalah sama si Kunyuk ini. Kata Lova bisa jadi bulan-bulanan cewek satu sekolah kalau bermasalah sama Brandon. Bodoh amat. Emang gue takut?

Demi menghormati Pak Bambang akhirnya dicoba juga redam emosi yang mulai tersulut tadi.

“Brandon tadi kamu bilang mau tes kemampuan bermain basket Arini, ‘kan?” Pak Bambang mengalihkan paras ke arah si Kunyuk.

“Awalnya sih begitu, Pak. Tapi mood saya tiba-tiba hilang. Besok aja. Mau pulang dulu,” katanya santai sembari mengambil tas dan botol minum.

Gue cuma bisa melongo lihat si Kunyuk melenggang santai menuju pintu keluar lengkap dengan baju kaus dan celana pendek. Sama guru aja nggak sopan banget. Jadi penasaran gimana orang tuanya? Kok bisa sih punya anak songong kayak gini? Nyebelin banget, pengin gue maki-maki kalau Pak Bambang nggak ada di sini.

“Maaf ya, Arini. Besok saja datang ke sini lagi. Jangan lupa bawa baju untuk olahraga,” ujar Pak Bambang memperlihatkan raut bersalah.

Kasihan juga sih lihat Pak Bambang. Pasti kewalahan hadapi si Kunyuk itu.

“Iya, Pak. Nggak pa-pa,” balas gue, “tapi saya punya peluang latihan di sini ‘kan, Pak?”

Pak Bambang mengangguk. “Kamu main basketnya bagus. Bapak sudah lihat beberapa hari yang lalu waktu olahraga. Bisa bantu anak-anak latihan juga nanti.”

“Makasih, Pak. Jadi tenang.” Gue diam sebentar. “Walau tahu nggak akan pernah gabung di klub, tapi latihan di sini aja saya udah senang, Pak.”

Sayang banget di sekolah ini klub basket untuk cewek nggak ada. Katanya sedikit siswi yang berminat, karena mereka kebanyakan anak orang kaya jadi lebih memilih jaga penampilan daripada bermain basket.

“Syukurlah kalau begitu. Sekarang kamu pulang dulu. Sampai jumpa besok,” pungkas Pak Bambang sebelum gue meninggalkan ruangan.

Gue beranjak menuju pintu keluar. Tiba di luar embusan napas kesal keluar dari sela bibir. Belagu bener tuh si Brandon. Bener-bener nggak ada akhlak. Sambil menghentakkan telapak sepatu, kaki terus melangkah menuju gerbang sekolah menunggu angkot datang. Mungkin hanya 10% dari jumlah siswa yang ada di sekolah ini pergi dan pulang sekolah menggunakan kendaraan umum, karena sisanya sudah jelas punya jemputan masing-masing. Bahkan ada juga yang menggunakan motor dan mobil pribadi.

Lima langkah sebelum mencapai gerbang, terdengar bunyi gas motor bersahut-sahutan. Kuat banget sampai gue kaget. Spontan kepala menoleh ke belakang. Tampak seorang siswa mengendarai motor Honda CBR warna biru dengan helm fullface warna senada. Tiba-tiba kendaraan roda dua itu berhenti tepat di samping gue. Siswa itu membuka tutup helm, sehingga sepasang mata sayunya terlihat.

Gue memutar bola mata waktu menyadari siswa itu adalah Brandon.

“Eh, Kutilangdara!” panggilnya membuat gue memalingkan paras bersiap melangkah lagi ke arah gerbang.

“Woi! Rambut kuda,” teriaknya membuat langkah ini berhenti.

Gue menatap malas ke arahnya. “Nama gue Arini. Nggak sopan banget sih panggil orang kayak gitu,” gerutu gue berusaha menahan diri.

“Siapapun nama lo, gue nggak peduli.” Dia mengarahkan telunjuk kiri tepat di depan wajah gue. “Kalau lo masuk klub basket cuma pengin deketin gue, mending nggak usah! Gue nggak tertarik sama cewek kutilangdara kayak lo.”

What? Kutilangdara? Kalian tahu apa kepanjangannya? Kurus, tinggi, langsing dan dada rata. Kurang ajar nih cowok. Emang dipikir semua cewek tergila-gila sama kunyuk kayak dia?

Gue maju selangkah sehingga berdiri tepat di samping motornya. Kedua tangan kini berada di pinggang. Kepala sedikit didongakkan ke atas.

“Heh, denger ya! Gue sama sekali nggak tertarik sama cowok dekil dan nyebelin kayak lo. Nggak usah sok kepedean deh. Lo itu nggak ada ganteng-gantengnya di mata gue, jadi jangan pernah berpikir kalau gue caper sama lo!” cecar gue kesal kemudian berlalu di hadapannya.

Sumpah! Kalau bukan karena hobi main basket, detik ini juga gue urungkan niat berlatih di klub itu. Apalagi harus ketemu sama si Kunyuk Brandon setiap hari. Gue sumpahin pria kayak gitu dapat istri yang jauh dari kriteria cewek impiannya.

Bersambung....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel