Eight
Masa kecil kami tidak jauh beda. Alan sama bandelnya denganku. Sama malasnya soal pelajaran sekolah. Dan sama bebalnya dalam menuruti nasehat Ibu. Kami sangat dekat, melebihi kedekatan kakak beradik pada umumnya.
Hanya saja, dimulai sejak kami umur sembilan tahun, dia berubah. Hal yang saat itu membuatku merasa dia seperti sengaja ingin bersinar di depan semua orang. Sedangkan aku semakin tak berharga di mata keluarga. Aku memang tak pernah mengatakan kegelisahan itu padanya, atau pada orang-orang di rumah. Selain karena masih kecil, aku juga tidak pernah punya kesempatan berbicara di rumah itu. Berbeda dengan Mbak Dita, Gina, maupun Alan sendiri. Yang berhak menyuarakan apapun di hati mereka.
Puncaknya adalah saat kenaikan kelas delapan SMP, itulah waktu di mana aku mengeluarkan semuanya di depan Alan. Penyebabnya? Karena Alan berhasil lolos di kelas akselerasi dengan nilai terbaik di sekolah, dan aku ... tidak naik kelas.
"Kamu sengaja, kan?" tanyaku ketika itu, di hari libur pertama setelah penerimaan buku rapor. Alan menghampiriku yang duduk menyendiri di taman kompleks rumah.
"Apa?" Alan menatapku bingung.
"Kamu sengaja bikin semua orang muji-muji dan banggain kamu, sedangkan aku diejek, dimarahin, dianggap nggak berguna. Kamu sengaja bikin semua orang mikir kalau kamu sempurna, sedangkan aku banyak kurangnya. Kamu jahat, Lan!"
"Icha." Alan menatapku nanar, tapi aku berusaha untuk tidak peduli.
"Kamu mau buktiin kalau saudara kembar itu nggak selalu sama? Kalau hidup itu nggak adil? Kamu menang, Alan. Aku bahkan udah mikir itu dari kita masih SD."
"Icha, aku nggak gitu."
"Kamu gitu!" Aku berteriak di depan mukanya. "Kamu mau nunjukin kalau kamu selalu beruntung sedangkan aku hanya kebagian sialnya. Nggak perlu kamu lihatin, aku udah sadar. Nggak perlu berusaha pun, kamu udah jadi jenius dan jago dalam segalanya. Sedangkan aku harus mati-matian belajar sampai telat tidur, tapi apa? Aku masih bodoh dan bahkan nggak naik kelas."
"Cha, maaf. Aku nggak–"
Aku menepis tangannya kuat-kuat dengan air mata berderai. "Kamu bahkan hanya perlu senyum dan semua orang langsung sayang kamu. Langsung banggain seolah kamu dewa. Tapi aku, berjuang cari perhatian dari kecil dan selalu gagal. Kenapa kita dibedain?"
Saat itu, untuk pertama kalinya aku melihat Alan menangis. Dan aku makin menangis. Marah karena dibeda-bedakan, juga terluka karena menyakiti Alan.
"Kata orang, kita lahir barengan dari perut Ibu. Tapi kenapa aku sama kamu dibedain? Kenapa kamu pintar dan aku bodoh? Kenapa kamu disayang-sayang dan aku selalu dianggap nggak berguna? Kenapa aku harus jadi saudara kamu? Aku nggak suka."
"Icha!" Alan menutup kedua telinga sambil menggeleng.
"Aku benci kamu."
"Jangan."
"Aku benci kamu. Aku benci kamu. Aku-"
"Berhenti."
"-benci kamu."
"Berhenti."
"Icha benci Alan!"
Saat itu, aku hanya diliputi banyak kemarahan. Aku yang berumur empat belas, hanya ingin menumpahkan semua beban yang tersimpan sejak kecil. Aku hanya tahu bahwa Alan adalah obyek yang tepat untuk menerima semuanya. Tanpa aku tahu, bahwa semakin aku mengucapkan kebencian, dia semakin panik. Bahwa saat itu, dia ketakutan. Tapi aku malah berbalik, dan meninggalkannya sendirian di tengah hujan.
"Mbak, helmnya jangan dibawa, dong!"
Aku tersentak, dan menoleh. Supir ojek online menatapku geli. Meringis, kulepaskan helm di kepala dan mengulurkan padanya.
"Maaf ya, Mas."
"Nggak apa-apa, Mbak. Patah hati emang bikin lupa segalanya. Saya maklum kok." Si supir tertawa geli.
Aku hanya tersenyum malu, lalu mengucapkan permisi dan berbalik. Nyatanya, aku memang patah hati. Sejak kejadian kemarin, Alan tidak menghubungiku. Selalu begitu. Tiap gangguan kepanikannya muncul, dia selalu butuh waktu untuk menyendiri dan memaafkan dirinya. Dan aku tidak bisa berbuat banyak. Menghibur pun, tak berpengaruh besar.
Pintu gerbang rumah besar berlantai dua peninggalan almarhum Kakek sudah terbuka saat langkah kakiku sampai di sana. Ada sebuah mobil terparkir di sana, dan seorang pria masuk ke dalamnya dengan tergesa. Aku masih berdiri, memandangi kendaraan yang melaju pelan melewatiku itu. Dan saat itulah, Ibu muncul dari beranda sambil berteriak.
"Icha!"
Aku sedikit terkesiap. Suara Ibu yang seperti itu, menandakan jika dia sedang menahan emosi. Tapi karena apa? Jelas bukan karenaku-bahkan masuk rumah saja aku belum, kan?
"Masuk Icha!"
Mendengar itu, aku bergegas mendekat. Ibu menatapku dengan sepasang bola mata tajam yang tak kutahu apa penyebabnya.
"Ibu kenapa?" tanyaku, setelah mencium punggung tangannya.
"Masuk!"
"Ibu nggak apa-apa? Tadi itu siapa, Bu?"
"Ibu bilang masuk ya masuk!" Ibu mendorong bahuku menuju pintu depan. "Kamu nggak berhak tanya-tanya!"
Aku menelan ludah, lalu berjalan pelan masuk rumah dan meninggalkan Ibu yang masih berdiri di luar. Memasuki ruang keluarga, aku melihat Ayah duduk di sofa dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Sedangkan di anak tangga terbawah, Mbak Dita berdiri mematung. Tumben sekali dia sudah pulang kerja?
"Ayah." Aku memanggil, hati-hati.
Ayah menoleh. Saat tatapannya beradu dengan mataku, aku menangkap sesuatu yang berbeda dari sorot itu. Lebih dingin dari biasanya. Dan terselip sesuatu yang sulit kupahami. Mencoba menepis itu semua, aku mendekat dan mencium punggung tangannya.
"Tadi itu tamu Ayah?" tanyaku.
Ayah justru buang muka, dan kemudian berlalu meninggalkan ruang keluarga. Kucoba sebisanya menahan semua sikap abai semua orang, bahkan Mbak Dita yang menatapku sinis lalu naik menuju kamarnya. Aku menelan ludah, lalu melangkah ke dapur dan menemukan Bu Lina sedang memasak.
"Bu."
Wanita usia enam puluhan tahun itu sontak menoleh, kelihatan terkejut karena kedatanganku. Kakinya langsung mendekat. "Mbak Icha pulang? Alhamdulillah."
Aku tersenyum, setengah meringis. Sedikit merasa bersalah, karena sejak peringatan tujuh hari meninggalnya Nenek, aku belum sekali pun pulang lagi. Rasanya sedih, saat mengingat bahwa satu-satunya tetua di rumah ini yang mendukung keputusanku di bidang pastry, sudah dipanggil Allah. Bahkan aku butuh menenangkan diri sebelum kembali mengelola Louvre.
"Ini apa, Mbak?" Bu Lina menatap dua kotak kue besar yang kuletakkan di atas meja dapur.
"Bolu singkong sama sarang semut, Bu." Aku tersenyum kecil, menaruh dua loyang kue itu ke dalam nampan.
Bu Lina mengusap-usap lengan atasku, tersenyum meski matanya menunjukkan sebuah keibaan. Tapi kucoba untuk mengabaikannya, dan segera menata kue kesukaan Ibu dan Ayah itu agar bisa dimakan setelah makan malam nanti.
"Tadi itu tamu siapa, Bu?"
Bu Lina tersentak saat aku bertanya begitu. Dan itu membuatku bingung. Tapi dia kelihatan menormalkan ekspresi dan berkata, "Tamunya Bapak, Mbak."
Aku mengangguk-angguk. "Icha belum pernah lihat teman Ayah di kampus ada yang punya mobil kodok begitu."
"Memang baru pertama ini, Mbak."
Aku ber'oh, meski sedikit heran karena Bu Lina kelihatan gugup. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Ibu masuk dapur saat aku sedang membantu Bu Lina memotong kacang panjang. Bercengkerama dengan asisten rumah tangga lebih mending daripada harus di dalam kamar dan terlarut dengan kesedihan, bukan?
"Masuk kamar dulu, Icha."
Aku tersenyum, ketika Ibu merebut kacang panjang dan pisau yang kupegang. Nada suaranya sudah melunak dibanding tadi. Artinya, dia sudah tidak marah.
"Icha nggak capek kok, Bu."
Ibu menghela napas. "Kamu mau Ibu marah?"
"Eh, enggak." Aku menggerak-gerakkan tangan di udara. "Ya udah, Icha masuk, deh."
Segera kuambil tas selempang di kursi, dan membawanya keluar dari dapur. Tapi saat akan menaiki anak tangga, langkahku terhenti karena kedatangan dua orang dari pintu depan. Budhe Risna dan ... Gina.
"Lho, pulang kamu?" Budhe Risna berkata ketus. "Kupikir nggak ingat rumah lagi."
Aku tidak menjawab, hanya berjalan mendekat dan mencium punggung tangannya. Tak lupa, tersenyum tipis pada Gina yang mengangkat dagu.
"Alan mana?"
"Masih kuliah, Budhe."
"Oh iya, lupa. Gina juga baru pulang kuliah. Jam-jam segini memang harusnya baru pulang kuliah, sih." Budhe menatapku penuh cemooh. "Nggak seperti kamu, yang lulus SMA aja sudah syukur."
Aku tetap mempertahankan senyum. Ibu keluar dari dapur, menatap kami bergantian. Begitu pula Ayah yang masuk dari halaman samping rumah. Melihat ekspresi angkuh Budhe Risna, aku bersiap untuk menebalkan telinga.
"Tahu nggak, Wen." Budhe Risna menatap ke arah Ibu. "Gina ini lho, baru dapat kabar kalau dosennya nawarin dia jadi asisten. Hebat, kan?"
"Bener, Gin?" Ibu menatap Gina datar.
"Iya dong, Tante. Nggak nyangka aku, lho. Mana ini dosen terbaik di kampus." Gina berkata riang sambil sesekali melirikku. "Tapi memang semester kemarin kan IPK Gina paling tinggi, Tante, jadi wajar sih dapat tawaran fantastis begitu."
"Itu lho, Cha, gunanya ilmu." Budhe Risna beralih padaku. "Orang pintar itu gampang dapat peluang. Kalau yang otaknya di bawah pas-pasan, bikin usaha pun palingan nanti ujung-ujungnya bangkrut."
"Iya, Budhe." Akan kupastikan Louvre tidak akan bangkrut sampai kapan pun.
"Lihat ini Gina sama Alan. Anak kuliahan. Dapat nilai paling bagus. Besok terjamin hidupnya."
"Iya, Budhe."
"Yang seperti Gina ini memang cocoknya sama laki-laki berpendidikan macam Reno. Kalau yang cuma lulusan SMA, jangan mimpi tinggi-tinggi, Icha. Laki-laki sekelas Reno nggak level kalau sama kamu. Pantasnya yang seperti kamu ya dapat kuli, atau pekerja kantoran tapi jadi OB."
"Iya, Budhe."
"Kalau kamu maksain dapat yang kasta tinggi, nanti susah di kamu juga. Jomplang. Tiap hari makan ati, kamu."
Kali ini aku hanya diam. Untuk menjawab 'Iya, Budhe' rasanya sudah tak mampu. Tenggorokanku seperti terganjal batu yang besar.
"Kalau orang tua ngomong itu didenger. Bukan cuma masuk telinga kanan keluar telinga kiri."
"I-ya, Budhe." Aku melengos saat Gina tersenyum miring menatapku. Kualihkan pandangan ke arah Ibu. "Tadi Icha bawa kue singkong sama sarang semut buat Ayah dan Ibu. Dimakan ya, Bu. Icha ... ke kamar dulu."
Kemudian, secepatnya aku menaiki anak tangga. Di kamar paling ujung, aku membawa masuk tubuhku. Kamar dengan luas terkecil, dan tempat tidur juga berukuran kecil. Kujatuhkan tubuh di ranjang yang sejak lulus SMA kutinggalkan ini. Lalu mataku tertumbuk ke arah bingkai foto di atas meja belajar. Di sana, adalah fotoku dan Alan yang berangkulan, saat kami kelas dua SD.
Aku lahir dua belas menit lebih dulu darinya. Kami kembar. Tapi orang-orang selalu mengolok bahwa kami tidak cocok jadi saudara kembar. Alan terlalu sempurna, untukku yang cacat sana sini. Fisik kami pun beda. Mataku sipit berwarna cokelat terang, sedangkan mata Alan besar berwarna hitam gelap. Rambutnya lurus, sedangkan rambutku bergelombang. Badanku mungil dan pendek, Alan sangat tinggi mendekati jangkung. Otakku kecil dan tidak bisa menampung banyak hal, sedangkan dia ... jenius.
Ya, Budhe Risna benar. Bahkan menjadi saudara Alantra Mahendra saja aku tak pantas. Apalagi berharap berdampingan dengan laki-laki sekelas Reno? Pak Gio yang polisi? Mimpi saja!
***
