Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Teganya Ayah

Pesawat yang ditumpangi rombongan kami sedang landing. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, di atas angkasa setinggi 10000 kaki akhirnya tiba dengan tepat waktu, di bandara Soekarno-Hatta.

Ustaz Rahman masih menggendong Nara, saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ustaz Iman Farzan juga mulai turun, dan berjalan di belakang mereka.

Udara siang itu di bandara Soekarno-Hatta, begitu sejuk. Angin menyapu sepoi-sepoi, basah terasa menembus kulit ari. Gamis syar'iku yang menjuntai ke bawah pun, ikut melambai diterpa angin.

"Ustaz Rahman, gantian aku yang gendong, Nara. Pasti, Ustaz sudah lelah sedari tadi menggendongnya," ucapku.

Wajah Ustaz Rahman yang berkarismatik tersenyum ke arahku.

"Tak apa, Ay. Tulangku masih cukup kuat untuk menopang tubuh Nara," Ustaz Rahman berkata sembari mengulas senyum.

Nara memang terlihat nyaman berada dalam gendongan Ustaz Rahman. Wajah imutnya yang memakai kerudung warna pink muda, terlihat cantik. Sedari kecil sudah dibiasakan memakai hijab, agar sampai besar menutup aurat.

Aku hanya menuruti saja kemauan Ustaz Rahman, masih betah menggendong Nara. Sementara Habib, masih berjalan di samping Ustaz Iman Farzan. Sesekali dia terlihat tersenyum ke arahku.

"Bunda!" panggil Habib.

Senyum Habib seketika merekah, saat menghampiriku.

"Iya, Nak. Ada apa?" tanyaku kemudian.

"Habib, lapar," ucapnya polos.

Belum sempat aku menyahut, Ustaz Iman sudah memotong pembicaraan kami.

"Kita cari restoran saja dulu sebelum menuju wisma," potong Ustaz Iman.

Meskipun umurnya masih terbilang muda, Ustaz Iman sudah banyak pengalaman dalam dunia keagamaan.

"Gimana, Ay? Apa kamu setuju dengan usul Ustaz Iman?" tanya Ustaz Rahman padaku.

Pandangannya sekilas meminta jawaban ke arahku.

Aku mengangguk pelan. "Terserah, Ustaz saja."

"Kita pesan taksi online saja biar mudah dan cepat sampai ke tujuan," usul Ustaz Iman kemudian.

"Oh, iya, Ustaz biar aku saja yang pesan taksi online," ucap Ustaz Rahman sembari mengambil ponselnya dari saku celana.

Ustaz Rahman segera mengaktifkan, layanan gojek online untuk memesan taksi.

Sepuluh menit kemudian taksi online pun datang. Kami berlima masuk ke dalam taksi, menuju ke sebuah tempat makan yang bisa melepaskan lelah.

Sepanjang perjalanan, kami hanya saling diam tanpa banyak bicara. Ustaz Iman duduk di depan bersama sopir. Sementara aku, Habib, Ustaz Rahman, dan juga Nara duduk di bangku belakang.

***

Setiba di tempat makan cepat saji, kami memesan satu meja untuk lima orang. Ustaz Iman memesan menu ayam bakar. Begitu juga dengan kami menyamakan menu makanan yang dia pesan.

Netraku tertuju pada satu keluarga, mereka juga ada dalam rumah makan ini. Mas Anan ada di restaurant yang sama bersama seorang wanita cantik dan anak kecil perempuan.

Usia anak itu tidak jauh berbeda dari Nara, sekitar 3-4 tahun. Inilah alasan Mas Anan betah tinggal di Jakarta. Keluarga baru dan istri muda hingga melupakan, anak-istri di kota kelahirannya.

"Ayah!" panggil Habib berlari mendatangi ayahnya.

Serentak kami menoleh ke arah keluarga Mas Anan. Seketika aku menghentikan suapan ke mulut Nara.

Kukejar Habib yang sedang menuju ke meja Mas Anan. Aku tidak ingin ada keributan, saat kami baru tiba di kota yang asing.

"Habib, berhenti!" ucapku.

Namun, Habib terus saja berjalan menuju ke meja Mas Anan.

Mas Anan terkejut melihat kedatangan kami, ada di kota Jakarta.

"Habib!" serunya.

Mas Anan terkesiap melihat kedatanganku. Dia tak menyangka kami ada di kota Jakarta.

"Ayah," panggil Habib kembali. Berjalan perlahan menuju meja Mas Anan.

Wanita cantik yang berada di sampingnya, memandang penuh kebencian kepada Habib. Sorot mata istri-Mas Anan memancarkan api kemarahan.

"Mas, usir deh, anak kamu! Moodku jadi hilang karena kedatangannya. Dasar gembel," celetuknya.

Habib disebut gembel. Entah karena pakaian kami tak sebagus yang dikenakannya, kami disebut gembel.

"Sarah Sayang, jangan gitu, dong! Biar bagaimanapun Habib adalah darah dagingku," ucap Mas Anan memberi pengertian.

Wanita cantik yang disebut Sarah mendengkus, memandang rendah ke arah Habib.

"Cih, aku tidak sudi mengakui anak gembel ini, sebagai anak tiriku, Mas. Meskipun dia darah dagingmu sekali pun," ketus Sarah. "Usir dia sekarang dari hadapan kita!"

Ustaz Rahman dan Ustaz Iman menyaksikan adegan dramatis ini. Aku hanya tertegun, mendengar penghinaan, wanita yang menjadi status istri sah Mas Anan sekarang. Nara, beringsut mendekati Mas Anan tanpa aku duga.

"Tante jahat, Tante sudah mencuri, Ayahku," ucap Nara sembari mengguncang badan Sarah.

Seketika Sarah mendorong tubuh Nara, hingga terjatuh menatap sudut meja. Darah segar mengucur dari pelipis Nara.

"Astagfirullah, Nara Sayang, bangun, Nak!" ucapku panik.

Melihat darah yang menetes segar dari pelipis Nara, langsung kuusap dengan memakai hijab syari yang kukenakan.

Mas Anan hanya menjadi penonton saja, menyaksikan istri barunya mendorong Nara. Tanpa reaksi atau pun membantu menolong Nara. Ustaz Rahman, dan Ustaz Iman beringsut mendatangi kami secara refleks.

"Anan, tidak seharusnya sikapmu sebagai Ayah seperti ini. Mengabaikan anak sendiri demi seorang wanita. Dimana harga dirimu, hem?" sela Ustaz Rahman.

Ustaz Rahman, merasa geram dengan kelakuan Mas Anan.

"Jangan ikut campur, Rahman! Ini, urusan keluargaku," hardik Mas Anan. Wajah Ustaz Rahman seketika mengucap istighfar mendengar jawaban Mas Anan.

"Astagfirullah, Anan. Ingat! Harta dan tahta hanyalah perhiasan dunia. Anak adalah bekal penolong di akhirat. Suatu hari nanti, kamu akan menyesal sudah menyia-nyiakan anak sholeh seperti, Habib," jelas Ustaz Rahman.

"Hei, Ustaz, kalau mau ceramah di masjid sana! Di sini bukan tempatnya," celetuk Mas Anan.

Kami yang mendengar ucapannya hanya mengelus dada. Terlebih aku, tidak menyangka sikap Mas Anan berubah seratus delapan puluh derajat, setelah menikah dengan wanita kaya. Kudiamkan Nara, yang masih menangis karena menahan sakit. Ustaz Iman, kemudian membawaku kembali ke meja untuk membantu mengobati luka Nara.

"Sebaiknya kita obati dulu luka Nara, Ay," ucap Ustaz Iman mengusulkan.

Aku mengangguk mengikuti sarannya. "Iya, Ustaz."

Pertengkaran mulut masih terjadi di antara Mas Anan, dan Sarah. Habib hanya bisa menangis, mendapat perlakuan kasar dari istri baru Mas Anan.

"Ayah, Habib, kangen," lirihnya.

Mas Anan tak bergeming, sedikit pun melihat Habib. Hanya istri barunya yang kemudian berdiri mencibir Habib.

"Hei, gembel. Ayahmu, sekarang bukan ayahmu lagi, tahu. Pergi dan kembali saja ke kampung bersama ibumu!" cibir Sarah.

Habib terisak. "Ayah, Habib, janji akan membuat Ayah bahagia bersama Bunda tapi kembali, ya bersama kami."

"Nak, maafkan, Ayah, ya! Ayah, tidak mungkin kembali pada bundamu," ungkapnya.

Dengan memberi pengertian Mas Anan membujuk Habib.

"Kenapa, Yah?" tanya Habib.

"Karena, kau dan ibumu orang miskin. Ayahmu, tidak mau hidup susah dengan kalian," potong Sarah.

Kata-kata Sarah, bagai sebuah pedang yang menghunus dengan tajam. Mungkin ucapannya benar, Mas Anan menikahinya karena harta.

Harta sudah membuat Mas Anan lupa segala-galanya. Bahkan, darah dagingnya pun disia-siakan. Sarah langsung saja berdiri, dan memberi ultimatum pada Mas Anan.

"Ayo sekarang kita pergi, Mas! Jika, kamu masih ingin di sini menemani anak dan istrimu, maka gak usah kembali lagi ke rumahku!" hardiknya.

Sarah kemudian bangkit, lalu melangkah meninggalkan restoran.

Mas Anan seketika bangkit dan mengikuti kepergian Sarah. Habib masih berdiri memandangi kepergian Mas Anan dengan sedih, dan kecewa.

"Ayah," panggil Habib.

Tanpa menoleh sedikit pun ke belakang, Mas Anan berlalu mengejar Sarah.

Menangis terisak hanya itulah yang dirasakan Habib, memandang kepergian ayahnya bersama istri dan keluarga baru. Ustaz Rahman yang melihat adegan dramatis itu, hanya bisa menghibur Habib.

"Habib, doakan agar ayahmu mendapat hidayah, Nak!. Mungkin hatinya sekarang lagi tertutup, tidak tahu arah jalan pulang. Suatu hari nanti pasti, ayahmu akan menyadari kesalahannya," ucap Ustaz Rahman.

Habib mengangguk pelan. "Iya, Ustaz. Habib janji setelah ini, tidak akan lagi mengharap Ayah kembali."

Ustaz Rahman tersenyum. "Anak pintar."

Setelah memberi penjelasan Ustaz Rahman kembali ke meja, tempat aku, dan Ustaz Iman duduk. Nara sudah mulai tenang, Ustaz Iman memasang plester di pelipis yang terluka.

"Sudah gak sakit' kan, Nara? Sini sama, Ustaz Iman!" Ustaz Iman kemudian menggendong Nara, lalu memangkunya.

"Makasih, Ustaz. Sudah mengobati luka, Nara," celoteh Nara. Seraya tersenyum kepada Ustaz Iman.

Ustaz Iman tersenyum. "Sama-sama."

Kecerian wajah Nara kembali, begitu mendapat hiburan dari Ustaz Iman.

***

Rasa letih terasa mendera tubuhku, seharian dalam perjalan. Tujuan kami kini sudah sampai, di wisma yang menampung para peserta lomba MTQ.

"Ustaz Rahman, kita sudah sampai di depan wisma yang sudah disediakan panitia. Maaf, karena aku harus meninggalkan kalian di sini. Untuk dewan juri, panitia menempatkan ruang berbeda. Juri dari luar kota di wisma yang lain," terang Ustaz Iman kemudian.

Ustaz Iman mengambil koper, lalu berpamitan menuju wisma para juri.

"Iya, Ustaz. Terimakasih sudah mau menemani kami sampai tujuan," balas Ustaz Rahman mengulas senyum.

"Habib, Nara, Ustaz pamit, ya," lanjutnya. "Ayi, aku juga mohon pamit mau bergabung dengan juri yang lain."

Aku mengangguk pelan. "Iya, Ustaz."

"Jaga diri kalian baik-baik! Kalau ada perlu hubungi saja ke nomorku," uja Ustaz Iman.

Seraya tersenyum sebelum akhirnya pergi setelah mengantar kami ke wisma. Jarak antara wisma peserta dengan juri hanya berbeda letak saja. Untuk para peserta wisma berada di barat, sedangkan untuk wisma dewan juri berada di sebelah timur.

Ustaz Iman perlahan mulai menghilang dari balik koridor wisma yang memanjang. Kami pun segera masuk ke dalam wisma sesuai arahan dari panitia. Ada dua kamar yang disediakan panitia buat kami. Ustaz Rahman menempati kamar yang bersebelahan dengan kamarku.

Baru saja aku masuk merebahkan badanku di atas tempat tidur, mendadak ketukkan pintu terdengar dari luar.

"Assalamualaikum," ucap salam terdengar dari luar.

"Waalaikumsalam," jawabku.

Kubuka pintu kamar wisma dengan perlahan, melihat siapa yang datang berkunjung.

Aku baru saja tiba di Jakarta beberapa jam. Tidak mungkin ada tamu datang berkunjung. Di kota besar ini tidak ada satu pun orang yang aku kenal selain Ustaz Rahman, dan Ustaz Iman.

"U… ustaz?" aku terperangah dan kaget saat melihat siapa yang datang.

***

Bersambung.

Jangan lupa izin tekan tombol love ya guys. Bantu author kasih semangat. Maaf cerita harus di gantung dulu. Bersambung pada episode berikutnya. Siapakah yang datang tiba-tiba menemui Ayi? Apakah ustad Rahman? Atau ustad Iman? Jika penasaran jawaban ada di part berikutnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel