Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Lulus Seleksi

Mentari pagi masih terlihat malu-malu muncul di garis cakrawala. Udara yang terasa dingin menusuk kulit pun, tidak mengendorkan semangatku untuk bangun melakasakan semua kegiatan.

Pada pukul empat pagi aku sudah bangun untuk melaksanakan salat tahajud, setelah itu aku melanjutkan mengaji membaca Al-Qur'an sampai menjelang subuh. Baru setelah itu, aku akan menyiapkan sarapan untuk kedua buah hatiku. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari senin dan kamis, aku akan melaksanakan puasa sunah. Kebiasaan ini sudah aku jalanani sejak masa gadis dulu.

Kedua orang tuaku bukanlah berasal dari orang kaya. Namun, hanya penduduk biasa yang sehari-hari bertani. Itu pun menjadi buruh ladang di tempat warga desa yang meminta jasanya. Kehidupan yang dijalani keluargaku bisa terbilang sederhana. Meskipun aku terlahir dari keluarga tak mampu, kedua orang tua selalu taat menjalankan ibadah.

Begitu pun juga denganku yang tidak pernah lepas dari didikkan orang tua, selalu yang mengutamakan agama.

Selain punya wajah yang cantik, aku juga punya suara yang merdu dan fasih dalam membaca Al-Qur'an. Sifat Habib yang pandai membaca, dan menghafal ayat suci di dapat dariku yang gigih dalam mengajari. Hingga di usianya yang masih relatif muda Habib sudah pintar membaca ayat suci, serta menghafal beberapa jus.

"Bunda!" sapa Habib.

"Iya, Nak," sahutku.

Meletakkan sepering nasi dengan lauk tempe goreng di atas balai bambu.

"Hari ini, Ustaz Rahman akan membawaku untuk ikut seleksi MTQ. Doa'kan aku menang biar lulus seleksi, ya, Bun," ucapnya sembari menyendokkan nasi ke mulutnya.

"Iya, Nak. Aamiin. Bunda selalu berdoa untukmu agar kamu menjadi anak yang sholeh dan berbakti pada orang tua."

"Kalau, Habib menang nanti, hadiahnya buat Bunda," ucapnya polos.

Habib terus saja berkata sembari mengunyah nasi yang disuapkan dalam mulut.

Aku terharu mendengar ucapan Habib. Seketika air mata ini meluncur begitu saja membasahi pipi.

"Bunda, bangga padamu, Nak," tuturku sembari membingkai wajahnya.

"Bunda, jangan menangis! Jika, Habib besar nanti akan membuat hidup Bunda bahagia. Habib, janji tidak akan buat Bunda susah," lanjutnya sembari mengusap air mataku.

Kupeluk tubuh Habib yang kurus, dan kudekap dengan penuh kasih sayang. Cita-citanya sungguh mulia setinggi langit ingin membuat bahagia.

"Bunda, gak nangis, Nak. Bunda, bangga punya anak sepertimu yang punya cita-cita ingin membahagiakan orang tua."

"Jika, Habib menang dalam lomba MTQ maka semua hadiahnya buat Bunda. Bunda, bisa beli beras, lauk, serta baju baru dan mukena yang cantik buat salat," ujarnya.

"Aamiin. Bunda, akan doa'kan yang terbaik untukmu, Nak."

Habib terus saja berkata sembari mengunyah makanannya. Nasi di piring sudah tak tersisa lagi.

"Bunda, Habib pamit, ya ke sekolah," lanjutnya.

Sebelum pamit ke sekolah , dia menyalami, dan mencium punggung tangan ini dengan sopan.

"Hati-hati, Nak! Dan jangan lupa salat, jangan buat Ustaz Rahman repot sesampainya di sana," ucapku.

Kumasukkan bekal dalam tas Habib untuk makan siang nanti, sehabis pulang sekolah dia akan langsung mengikuti audisi agar bisa lulus mengikuti perlombaan.

"Iya, Bunda. Assalamualaikum," ucapnya.

"Waalaikumsalam," jawabku.

Habib pergi dengan dijemput oleh Ustaz Rahman dengan mengendarai motor metic.

Di pinggir jalan Ustaz Rahman sudah menunggu dengan memakai helem, dan jaket warna hitam. Sekilas dia tersenyum ramah saat bertatapan mata. Senyum yang manis tersungging dari bibirnya yang tipis merah muda. Ustaz muda ganteng, dan juga kaya. Banyak diidolakan oleh gadis-gadis muda di kampung ini.

"Mari, Ay," ucapnya berpamitan menekan tombol kelekson.

Aku mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Ustaz."

***

Tiba di tempat audisi Ustaz Rahman dan Habib segera mengambil nomer urut dan mendaftar sebagai peserta. Ada muridnya sekitar lima orang yang mengikuti audisi membaca Al-Qur'an untuk mengikut perlombaan MTQ tingkat provinsi. Semua calon Qori yang dibawa Ustaz Rahman adalah pilihan yang sudah benar-benar lulus tahap uji coba.

"Habib, Oman, Irfan, Maulana, Zain, ini nomer urut peserta kalian," Ustaz Rahman menyerahkan nomer urut tersebut. Sesuai dengan nama yang tertera dalam papan nama.

Habib dapat nomer urut 105, nomer urut pertama dari teman-temanya. Selanjutnya nomer urut berada nomer urut teratas temannya antara 106-110.

"Ustaz, izin salat zuhur ya," sela Habib.

Dari sekolah perjalanan menuju tempat audisi memakan waktu satu jam, belum sempat melaksanakan salat dzuhur.

"Ayo anak-anak kita laksanakan salat zuhur! Sehabis itu kita makan siang sembari menunggu nomer antrian," ucap Ustaz Rahman memberi penjelasan. Seraya membawa anak didiknya menuju musala, secara bersamaan yang sudah di sediakan pihak panitia untuk melaksanakan kewajiban lima waktu.

Penyelenggaraan audisi dilakukan pada aula yang terletak di tengah kota. Satu-persatu peserta nomer urut maju mengikuti audisi baca Al-Quran hingga tiba giliran Habib untuk membaca, di atas podium yang sudah disediakan panitia penyelenggara.

Juri di undang untuk menilai dipanggil dari kalangan Ustaz yang terkenal. Ustaz Rahman adalah ustadz yang terkenal santui dan berwajah tampan. Selain dia, Ustaz termuda di kalangan Ustadz yang lain. Dia juga punya wajah yang tampan, biar begitu tidak membuatnya sombong, dan membanggakan diri.

"Nomer urut peserta 105 atas nama Habib Adelio bin Anan Adelio di persilahkan untuk maju ke depan," ucap pembawa acara.

Panggilan dari pembawa acara telah jatuh pada nomer Habib 105. Dia pun menuju ke atas pentas yang telah disediakan oleh panitia. Dengan santai Habib menuju podium sembari mendekap Al-Qur'an di dadanya. Habib mendapat tantangan membaca surat Ar-Rahman dari ayat 1-33.

Para dewan juri dan hadirin yang menyaksikan suara emas Habib yang merdu membuat mereka terpukau. Habib melantunkan ayat suci dengan sangat merdu dan begitu indah. Tidak ada suara sekecil apa pun yang terdengar saat dia melantunkan surat Ar-Rahman.

Tepuk tangan meriah dari dewan juri dan penonton seketika memenuhi aula tersebut. Suara Habib benar-benar memukau dan menghipnotis para dewan juri dan penonton. Begitu juga dengan Ustaz Rahman yang menyaksikan anak didiknya menjadi terharu.

"Luar biasa, Habib. Suara kamu benar-benar merdu dan membuat para dewan juri terpukau. Ustaz, bangga padamu," ucap Ustaz Rahman memberi pujian pada Habib.

"Makasih, Ustaz," sahutnya datar.

"Ustaz Rahman, ini anak didikmu?" tanya Ustaz Iman. Ustaz Imam adalah juri yang di pilih untuk menilai semua peserta.

Ustaz Rahman mengangguk. "Iya, Ustaz."

"Murid kamu benar-benar punya bakat. Selamat, ya," ucapnya mengulurkan tangan.

"Terima kasih, Ustaz Imam," balas Ustaz Rahman mengulas senyum.

Selanjutnya nomor peserta yang di atas Habib maju ke depan, untuk menerima tantangan membaca surat yang ditentukan oleh dewan juri.

Dari ke lima peserta didik yang dibawa Ustad Rahman yang lolos seleksi hanyalah Habib. Selanjutnya Habib akan maju ke babak berikutnya, untuk ikut lomba MTQ di Jakarta.

Dari semua provinsi yang menang, dan lolos tahap satu akan di bawa audisi lagi ke Jakarta untuk mengikuti lomba. Dengan hadiah utama uang senilai seratus juta. Perlombaan MTQ ini, diikuti oleh semua derah seluruh wilayah Indonesia. Bagi yang lulus seleksi audisi di kotanya maka fasilitas, dan keberangkatan semua biaya akan ditanggung oleh pihak penyelenggara yang bersangkutan.

"Selamat, Habib. Kamu lolos seleksi tahap pertama," ucap Ustaz Rahman.

"Makasih, Ustaz," balas Habib tersenyum.

"Lusa kita akan pergi ke Jakarta untuk ikut perlombaan selanjutnya. Semua biaya akan di tanggung oleh pihak panitia," lanjut Ustaz Rahman.

Saat Ustaz Rahman mengatakan Habib akan pergi ke Jakarta mendadak wajahnya menjadi sedih. Dia terlihat murung, lalu duduk dengan lesu di bangku belakang aula.

"Bib, kenapa? Kamu tidak senang lolos seleksi?" tanya Ustaz Rahman heran.

Habib mengeleng pelan. "Bukan."

"Lalu?" tanya Ustaz lagi.

"Habib, sedih karena harus meninggalkan Bunda sendiri di rumah, Ustaz," jawabnya polos.

Kening Ustaz Rahman berkerut. "Kita hanya pergi beberapa hari, Bib."

"Habib, mau ajak Bunda ikut ke Jakarta Ustaz."

Habib mengatakan yang menganjal dalam hatinya dengan wajah sendu. Ustaz Imam yang mendengar penuturan Habib menjadi terkesan iba. Dia lantas mendekati Habib dan menimpali pembicaraan antara Ustaz Rahman.

"Biar, Ustaz yang akan menanggung keberangkatan Bunda kamu, Bib," potong Ustaz Imam.

Seraya berkata dengan mengulas senyum sembari mendekati Habib, dan ustadz Rahman. Ustaz Imam adalah teman akrab Ustaz Rahman dari masa kuliah dulu. Bedanya Ustaz Imam sudah menikah, dan menjadi duda karena istrinya meninggal tiga tahun yang lalu dalam ke adaan hamil mengandung anaknya delapan bulan. Akibat pendarahan karena terjatuh dari kamar mandi.

Sejak kepergian istrinya Ustaz Imam masih betah menjomlo hingga kini dan belum menikah lagi. Meskipun banyak wanita yang jatuh hati padanya, namun dia enggan untuk menikah kembali membuka hatinya.

Ustaz Rahman yang mendengar berita ke pergian istri, Ustaz Imam saat itu datang untuk berduka cita dan memberi semangat. Ustaz Rahman adalah sahabat terbaik bagi Ustaz Imam, hingga kini mereka masih saling kontak satu sama lain.

"Habib, kamu harus mengucapkan terimakasih pada Ustaz Imam Farzan. Ustaz Imam Farzan akan membiayai Bunda agar bisa ikut menyaksikanmu dalam perlombaan dan memberi semangat," lanjut Ustaz Rahman.

Wajah Habib semingrah, mendengar ucapan Ustaz Imam yang akan membiayai bundanya ikut serta ke Jakarta.

"Terima kasih, Ustaz Iman," ucapnya dengan mata berbinar.

Ustaz Iman kemudian mengangguk sembari tersenyum. "Sama-sama."

Habib langsung memeluk Ustaz Iman, dan mencium tangannya.

"Habib, janji. Jika, nanti menang dalam perlombaan uang Ustaz akan Habib kembalikan," ujarnya.

Ustaz Iman tersenyum simpul mendengar kepolosan bocah kelas lima SD tersebut.

"Gak perlu, Bib. Ustaz ihklas membantu kamu."

"Alhamdulilah," ucap Habib kemudian sembari mengangkat kedua tangannya.

***

Bersambung.

Jangan lupa like dan komen ya Guys biar author semangat karena di kasih dukungan. Nantikan episode berikutnya pertemuan Habib dengan ayahnya di Kota Jakarta yang dramatis penuh emosi dan air mata. Apakah ayah Habib masih tidak akan mengakui Habib atau kah ayahnya akan menyesal karena telah menyia-nyiakan anak yang sholeh. Jawabannya ada di episode yang berikutnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel