BAB 1. Pulau Kematian
Debur ombak menghantam karang bergantian dengan sangat cepat karena derasnya angin di pesisir pantai pinggiran kota Hongye. Batu karang yang hanya tersisa satu yang menonjol di pinggiran pantai bak dikeroyok ombak. Pemandangan yang tak jauh berbeda dengan yang dialami seorang anak kecil yang terpojok oleh puluhan orang dewasa di bibir pantai.
“Hahaha… mau kemana lagi kau bocah? Tidak ada tempat untuk kau melarikan diri dari sini. Di belakangmu adalah lautan. Di seberang itu adalah Pulau Iblis Kematian. Dan disini kami siap mencincangmu! Keturunan keluarga Liong akan berakhir di sini!”
Seorang anak kecil berusia delapan tahunan dikelilingi puluhan lelaki dewasa yang menghunuskan pedang, nampak terpojok di bibir pantai. Ia akan dihabisi oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya. Hanya jalan ke laut lah yang menjadi jalan satu-satunya. Namun arus dan angin saat itu pasti membawanya ke sebuah pulau yang sangat ditakuti, Pulau Iblis Kematian.
Liong Yun nama anak itu. Ia menengok ke belakang, lalu menghela nafas berat. Dalam benaknya, sekecil apapun kesempatan hidup, akan ia ambil. Ucapan terakhir ayahnya sesaat sebelum dibantai masih terngiang. Ia harus balas dendam dan menghabisi semua sekte dan klan yang telah membantai keluarganya.
Kejadian itu memang sangat mengenaskan. Ada lima sekte dan tujuh keluarga ternama datang ke kediaman keluarga Liong. Liong Chen ayah Liong Yun dituduh sebagai orang yang mencuri pusaka Dunia Persilatan. Ketua dunia persilatan pun memerintahkan para pendekar untuk mengambil kembali pusaka itu secara paksa dan menghabisi seluruh keluarga Liong sebagai hukuman.
Sang ketua dunia persilatan memang gentar untuk turun langsung. Hal ini dikarenakan keluarga Liong terkenal sebagai keluarga memiliki kemampuan beladiri yang sangat tangguh. Bahkan di dunia persilatan Liong Chen sang Pemimpin keluarga termasuk satu dari lima pendekar nomor satu yang mendapat gelar Lima Malaikat Dunia Persilatan, si Malaikat Pengejar Nyawa.
Akhirnya terkumpulah orang-orang tangguh untuk menjalankan tugas dari sang ketua dunia persilatan. Liong Chen diminta mengembalikan pusaka. Namun si Malaikat Pengejar Nyawa itu menampik tuduhan yang diarahkan kepadanya. Ia tidak merasa menyimpan pusaka yang dimaksud.
Akhirnya para pendekar yang terdiri dari orang-orang sekte dan keluarga besar dunia persilatan menghabisi seluruh keluarga Liong. Itu pun baru berhasil mereka lakukan dengan muslihat yang membuat hampir seluruh anggota keluarga itu keracunan. Akibatnya mereka tidak mampu bertarung secara maksimal. Tenaga anggota keluarga Liong perlahan menghilang oleh racun yang berada di tubuh mereka.
“Kelak, kalian akan mengalami apa yang keluarga Liong alami. Sepuluh tahun setelah hari ini, maut akan datang pada kalian satu persatu!” teriak Liong Yun dengan mata merah penuh dendam.
Tiba-tiba saja hujan turun disertai sambaran halilintar yang sangat keras. Seolah-olah alampun murka atas apa yang dialami keluarga Liong. Beberapa orang pengepung bergidik merasakan kemarahan alam saat itu.
Teringat betapa seluruh keluarganya dibantai dengan kejam, amarah Liong Yun kembali memuncak. Tanpa ragu ia melompat ke belakang menaiki sebuah sampan. Lalu berbekal tenaga dalam yang pernah ia pelajari dari ayahnya, ia pun mendorong ke depan sehingga perahunya meluncur dengan cepat.
“Hahaha bocah bodoh! Kematian di pulau itu lebih menakutkan daripada dicincang dengan seribu pedang,” ucap salah seorang dari pengeroyok.
Duarrrrr!
Sebuah gelombang besar menghantam perahu Liong Yun sehingga menyebabkan perahu itu hancur. Anak itu pun terhempas di tengah lautan setelah sebelumnya diterbangkan ke atas. Semua orang yang berada di bibir pantai melihat jelas apa yang menimpa bocah berusia delapan tahun itu. Mereka bergidik ngeri melihat nasib tragis yang menimpa anak itu.
“Entah mengapa perasaanku tidak enak. Seolah-olah kemalangan yang terjadi pada anak itu merupakan sebuah awal kehancuran semua perkumpulan dan keluarga yang terlibat atas pembasmian keluarga Liong ini. Amitabha…” desah seorang biksu yang terlibat penyerangan.
Para pendekar dunia persilatan itu pun berlalu meninggalkan tepi pantai itu. Beberapa orang diantara pengepung itu menyisakan perasaan yang tidak bisa mereka jelaskan. Ada rasa penyesalan atas apa yang sudah mereka perbuat.
Sementara itu nasib yang menimpa Liong Yun tidak sepenuhnya sebuah kemalangan. Takdir belum menghendaki Liong Yun berakhir di laut. Air malah membawanya sampai ke daratan sebuah pulau. Perlahan ia yang terbaring mulai membuka matanya.
“Di mana aku ini? Apa aku sudah berada di neraka?”
Liong Yun melihat sekelilingnya. Nyalinya dibuat terbang setelah mengetahui dimanakah ia berada saat ini. Ia tahu tempat itu tempat yang ditakuti semua orang. Sebuah pulau yang bernama Pulau Kematian. Namun ketakutan itu hanya sesaat merasuki perasaannya, perasaan dendam lebih besar menguasai jiwanya.
Anak itu kemudian bangkit. Perlahan ia melangkahkan kaki menuju jalan setapak masuk ke dalam pulau. Memang setelah pesisir pantai, pulau itu hanya terlihat pepohonan lebat dari luarnya. Hanya ada satu-satunya jalan setapak untuk masuk ke dalam pulau.
‘MASUK DENGAN RASA DENDAM MENJADI IBLIS, MASUK DENGAN RASA TAKUT MENJADI MAYAT’
“Aku tidak akan menjadi mayat. Lebih baik aku menjadi Iblis agar bisa membalaskan semua dendam keluargaku!”
Liong Yun berteriak. Anak lelaki yang masih berusia delapan tahun itu sudah menanggung beban dendam yang besar. Ia tanpa rasa takut memasuki jalan setapak yang terbentang di depannya.
Saat Liong Yun mulai memasuki bagian dalam pulau itu, ia melihat sebuah cahaya terang yang mencolok diantara kegelapan pulau diselimuti hutan. Ia pun menjadikan titik cahaya itu sebagai tujuan. Beberapa kali ia meringis kesakitan merasakan terinjak batu berduri ataupun digigit binatang. Karena gelapnya tempat itu ia tidak mengetahui hewan apa saja yang sudah menggigitnya.
Anak itu terus berjalan dengan sisa-sisa tenaga dan semangatnya. Sesekali ia terjatuh dan merasakan hewan-hewan dibawah langsung menyerangnya. Hanya dengan menyapu dengan tangan ia coba menepis hewan-hewan yang merayapi tubuhnya. Hewan yang menggigit dimana saja tempat ia singgahi.
Keadaan Liong Yun semakin payah. Ia merasa pandangannya mulai kabur. Sudah dapat dipastikan hewan-hewan yang menyerangnya itu adalah hewan berbisa.
Pada akhirnya anak itu sampai juga ke tempat cahaya yang dilihatnya tadi. Ternyata cahaya itu berasal dari dalam goa yang letaknya tepat di tengah-tengah pulau itu. Tepat di depan goa itu, Liong Yun roboh tak sadarkan diri.
Beberapa saat setelah Liong Yun tidak sadarkan diri hujan pun turun. Hujan yang entah dari mana datangnya, karena langit yang tertutupi pepohonan besar nan lebat membuatnya tidak bisa terlihat. Entah dari langit entah dari kekuatan lain.
Ada keanehan yang terjadi diakibatkan oleh tetesan hujan yang mengenai tubuh Liong Yun. Semua luka yang dialami Liong Yun perlahan mulai membaik sampai akhirnya tidak berbekas lagi. Begitu juga keadaan luka dalamnya. Air hujan itu benar-benar menyembuhkannya.
Liong Yun pun perlahan mulai membuka matanya. Ia merasakan tubuhnya terasa sangat segar. Perasaannya terasa sangat bersemangat. Ia sendiri tak mengerti apa yang terjadi. Liong Yun Bangkit, di depan gua ia melihat tulisan…
‘Bangkit dari kematian sebagai pertanda langit memilih. Gerbang Dewa di depan mata’