Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Tale Three

"Jika aku tahu waktuku terbatas dengannya, aku hanya ingin melihat wajah orang itu. Mencintainya dengan lebih dan lebih baik kepadanya."

–49 Days–

Tengah malam Samudera terbangun dari tidurnya. Dia mengeluhkan perutnya yang berbunyi kelaparan, salahkan dirinya yang tidak mengisi perutnya saat datang ke rumah, ahh tadi juga dia bersikap pahlawan dengan menolak tawaran bi Erna.

Samudera turun ke bawah, lampu rumah hampir semuanya padam memudahkan Samudera untuk pergi ke dapur mencari sesuatu yang bisa dimakan. Namun yang didapatnya hanya ada mie instant. Sepertinya bi Erna belum belanja bulanan.

Sambil merebus mienya, Samudera membuat teh untuk teman makannya. Ketika akhirnya mie dan teh yang dibuatnya selesai. Dia buru-buru duduk di kursi bar, melihat sekilas ke arah jam dinding yang menunjukan pukul 2 pagi. Dia tidak mempedulikannya dan memilih menyantap mienya dengan perasaan bahagia.

"Aishh, nggak di rumah nggak di apartemen, makannya tetap aja mie instant," gumam Samudera tersenyum kecil. Namun ketika tersadar dari sesuatu, Samudera segera menjauhkan mie itu darinya.

"Ohh, aku harus makan dengan baik jika ingin hidup panjang." Dia mengeluh tidak bisa lagi makan makanan favoritnya mulai sekarang. Menghabiskan tehnya Samudera memilih kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda.

Pagi harinya bi Erna menyiapkan sarapan dengan porsi yang cukup banyak membuat Hania heran melihatnya. Kenapa tiba-tiba wanita itu menyiapkan makanan cukup banyak padahal yang ada di rumahnya hanya ada tiga orang saja.

"Tumben bi Erna buat sarapan cukup banyak. Ada apa?" gumam Henry yang juga heran melihat keanehan yang terjadi.

Bi Erna tersenyum lebar di samping anak kecil berusia delapan tahun yang kini asik memakan nasi gorengnya. "Bibi sengaja buat banyak soalnya den Samudera pulang tadi malam."

Ketiga orang yang ada di meja makan sontak terkejut mendengarnya. Anak mereka yang sudah tidak kelihatan dua tahun ini pulang ke rumah?

"Sam pulang? Kapan? Kami tidak melihatnya." Hania berseru senang.

"Kemarin malam saat Nyonya dan Tuan makan malam di luar. Tuan Sam menunggu tapi mungkin karena bosan dia bilang akan menginap di rumah."

"Ka Samudera pulang? Yeyy," teriak Galih, dia meminum susunya dan berlari ke atas menuju kamar Samudera untuk melihat kakaknya.

Sedang di bawah sana, Hania yang senang Samudera datang buru-buru membantu bi Erna menyiapkan sarapan kesukaan Samudera yang sudah dihapalnya sejak dulu.

"Sudahlah lebih baik kamu diam saja," kata Henry tiba-tiba dengan nada datar, matanya fokus pada koran yang dibacanya. "Untuk apa susah-susah buat sarapan untuk dia, ini juga sudah cukup."

"Mas, Sam jarang pulang ke rumah. Aku ingin membuat sesuatu yang membuatnya betah di sini, atau bahkan mau tinggal bersama kita."

"Apa untungnya jika dia tinggal bersama kita?"

Hania ingin membantah namun seruan Galih menghentikannya. Dia melihat anaknya berlarian menuruni tangga dengan wajah sedih.

"Ka Sam nggak ada di kamarnya, bi Erna di mana Ka Sam?" tanyanya penuh ingin tahu.

Bi Erna juga bingung, apa mungkin Samudera sudah pulang duluan. Tapi ini masih pagi, tidak mungkin juga Samudera pulang ke apartemennya. Saat matanya melihat ke luar, dia melihat sosok Samudera yang sedang berjalan menjauhi mereka. Mungkin saja mendengar pembicaraan Henry dan Hania.

"Mungkin Tuan Sam sudah pulang, tadi malam Tuan Sam bilang kalau dia harus masuk pagi karena ada tugas yang harus dikumpulkan." Bi Erna memberikan alasan yang logis.

Sontak hal tersebut membuat Hania dan Galih sedih, padahal mereka sangat ingin bertemu dengan Samudera.

***

Samudera kembali naik bus TransJakarta pagi ini. Dia lebih memilih berdiri karena kursi tempatnya duduk dia berikan pada seorang nenek yang sepertinya kelelahan karena berjalan cukup jauh. Bus berhenti di depan halte dan segerombolan orang-orang naik ke dalam bus yang sudah penuh, dia mengeluh dalam hati namun hal itu hanya sebentar karena kini fokusnya teralih pada seorang cewek yang baru saja naik.

"Bukannya dia cewek yang dibully sama orang-orang," gumamnya pelan sambil melihat cewek yang diketahuinya bernama Ayya yang kini berdiri tepat di sampingnya.

Samudera ingin menyapanya namun dia ragu, ketika tangannya hendak menepuk bahu Ayya sebagai sapaan tapi segera diurungkannya dan hal itu terjadi berulang kali. Samudera merutuki dirinya sendiri yang bisa dibilang pengecut. Menyapa saja tidak bisa. Sambil melenguh pelan Samudera mengalihkan perhatiannya ke luar jendela bus sambil berpikir cara apa yang bisa membuat Ayya sadar kalau dirinya sudah berdiri di sampingnya hampir lima belas menit lamanya.

Dan keinginan Samudera tercapai ketika tiba-tiba bus berhenti mendadak yang membuat Ayya kehilangan keseimbangan sehingga hampir terjatuh jika saja Samudera tidak cepat menahan bahu cewek itu. Ayya menggumamkan sesuatu sambil mengelus dadanya.

"Terima kasih, maaf saya—" kata-kata Ayya terhenti ketika melihat siapa orang yang sudah menolongnya. Matanya sedikit terbelalak sebelum akhirnya mengalihkan perhatiannya lagi.

"Kenapa nggak dilanjut? Gue masih nunggu loh." Samudera berkata, nadanya terdengar geli bercampur ingin tahu.

Ayya menatap Samudera kesal, sejujurnya kesal karena cowok itulah yang menolongnya. Kenapa juga dia harus bertemu cowok itu pagi ini, di bus lagi. Meskipun kemarin Samudera secara tidak langsung menolongnya dari Citra yang sedang membullynya, tapi tetap saja dia merasa segan pada cowok ini.

Dari desas desus yang didengarnya Samudera lumayan ditakuti karena dia pernah mengalahkan Vano dan membuat Citra malu. Bisa saja sekarang ini Samudera ikut-ikutan membullynya. Jadi sebelum terlambat lebih baik dia menghindari sebisanya.

"Nama lo Ayya kan?" Samudera berkata lagi.

Ayya diam, mengabaikan keberadaan Samudera di sampingnya. Namun cowok itu tidak menyerah sama sekali, dia terus bicara meskipun omongannya diabaikan oleh Ayya. Hingga mereka sampai di sekolah pun Ayya masih tetap mengabaikan Samudera yang berceloteh ria.

Ketika Ayya hendak masuk ke sekolah lewat gerbang belakang tangannya langsung ditahan oleh Samudera. Cowok itu menarik Ayya agar masuk ke dalam sekolah lewat gerbang utama. Sontak saja hal tersebut membuat Ayya kelimpungan. Dia berusaha untuk melepaskan diri namun cekalan Samudera terlalu kuat.

"Kenapa sih lo takut banget masuk lewat gerbang utama!" tanya Samudera tampaknya belum mengerti apa yang menjadi ketakutan Ayya.

Cewek itu mendelik kesal, Samudera itu pura-pura bodoh atau cowok itu bener-bener bodoh hingga tak mengerti apa yang menjadi ketakutannya. "Gue nggak bisa masuk lewat sana."

"Iya gue tau, tapi kenapa?" Seolah baru teringat sesuatu Samudera menepuk keningnya sendiri sambil cengengesan. "Okelah, kita masuk lewat belakang," katanya, kemudian menarik tangan Ayya. Berjalan memutar ke belakang sekolah.

"Bisa lepasin tangan guenya nggak?" tanya Ayya kesal sambil menghentakan tangan Samudera.

Samudera cemberut, ini pertama kalinya dia kembali bereskpresi setelah empat tahun berpura-pura. Meskipun tangannya sudah ditampik oleh Ayya, cowok itu tetap mengikuti Ayya masuk lewat gerbang belakang. Lagi pula ada untungnya juga, dia bisa jadi bertemu dengan Dino dan Reno yang selalu nongkrong dulu di kantin belakang.

"Kenapa sih lo ngikutin gue mulu?"

Samudera terserentak, dia memandang Ayya dengan alis terangkat sebelum akhirnya tersenyum miring. "Gue nggak ikutin lo kok, gue cuma mau masuk ke sekolah."

Ayya diam tak menjawab, dia langsung pergi meninggalkan Samudera yang berdiri di belakangnya sambil tersenyum. Merasa sedikit bahagia saat melihat cewek itu marah.

Ahh, ternyata rasanya masih sama seperti dulu, Samudera bergumam pada dirinya sendiri. Pada akhirnya dia kembali menemui kedua sahabatnya yang sedang memandangnya dengan pandangan menyelidik, bahkan tas mereka masih tersampir di bahu masing-masing tanda kalau mereka sama sekali belum masuk ke dalam kelas.

"Kalian kenapa?" tanya Samudera dengan polosnya.

Kedua cowok itu mendecih, tak percaya dengan sifat Samudera yang polosnya minta ampun. "Jadi kenapa lo nggak ngasih tau kita kalau lo lagi pedekate sama murid baru yang kemarin gue ceritain."

"Murid baru?" ulang Samudera bingung. "Ohh jadi Ayya murid baru yang dibully sama satu sekolah itu? Pantas saja dia jalan lewat belakang."

"Jadi bisa lo jelasin; bagaimana bisa lo deket sama murid itu? Bahkan lo pegang tangannya. Jangan-jangan kalian pacaran ya." Reno berasumsi dengan seriusnya.

"Dia punya nama. Ayya, namanya," kata Samudera kesal karena dari tadi Reno dan Dino terus menerus menyebut Ayya dengan 'murid baru'.

"Wahh, bahkan sekarang lo nggak suka jika kita salah manggil dia gitu. Pasti ada apa-apa di atara kalian ya."

Samudera mengangkat bahunya, dia mendudukan dirinya di samping Reno dan meminum air mineral milik Dino. "Dia cantik, menarik juga."

Sontak kata-kata yang diucapkan Samudera membuat kedua sahabatnya melongo. Pasalnya ini pertama kalinya Samudera memuji seorang cewek, biasanya setiap kali mereka membicarakan ataupun mengatakan ada cewek cantik yang naksir sama Samudera pasti cowok itu hanya menanggapi dengan acuh tak acuh.

"Pantas saja kemarin siang anak-anak pada bicarain lo," kata Dino. "Tapi lo beneran suka sama Ayya?"

Samudera memandang sahabatnya dengan pandangan serius. "Haruskah gue bilang kalau gue jatuh cinta sama dia pada pandangan pertama."

Rasanya Reno dan Dino ingin mati saja, sungguh sangat menakutkan jika Samudera jatuh cinta. Tapi masa sih Samudera bisa menyukai murid baru itu pada pandangan pertama? Memangnya ini film apa? Tapi agak aneh juga melihat Samudera yang terlihat berbeda pagi ini. Sikapnya agak aneh, terlihat ceria dan murung dalam waktu bersamaan.

"Ya deh gue percaya." Pada akhirnya Reno berkata, meskipun sebenarnya dia masih terkejut dengan ungkapan cinta Samudera yang terkesan blak-blakan. "Sebaiknya kita masuk kelas sebelum para guru hukum kita. Lo nggak niat bolos lagi kan, Sam?"

Samudera langsung mengalihkan perhatiannya pada Reno dan nyengir lebar. "Nggak, gue udah janji sama bu Fatma nggak bakal bolos lagi."

Reno dan Dino menganggukan kepalanya mengerti. Mereka berjalan bebarengan memasuki kelas sambil mengolok-ngolok Samudera yang pada akhirnya bisa jatuh cinta juga, mereka mengira kalau hati Samudera terbuat dari batu karena selalu menolak setiap cewek yang mendekatinya dengan sikap sedingin es.

Samudera memasuki kelasnya yang sudah dia tinggalkan hampir dua minggu ini. Keadannya masih sama, ribut dan tak terkendali. Dia berjalan menuju bangkunya dengan sikap cuek seperti biasanya, mengabaikan pandangan orang-orang yang tertuju padanya. Ketika pada akhirnya Samudera sudah duduk di bangkunya dia melihat ke depan, ke arah seorang cewek yang duduk di kursi tepat di hadapannya.

Seketika seringaian kecil hadir di wajahnya. Dia menjulurkan kakinya untuk menggeser kursi di depannya, sehingga cewek yang menduduki kursi itu terganggu dan menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya cewek itu saat melihat Samudera yang sedang tersenyum lebar ke arahnya.

"Hai, Ayya!!" sapa Samudera dengan nada manis.

Ayya masih membelalakan matanya, tak percara dengan cowok yang sedang dilihatnya. "Sa—Samudera?"

Senyuman Samudera semakin melebar ketika Ayya menyebut namanya. "Bagaimana bisa lo tau nama gue? Perasaan gue nggak pernah ngasih tau nama gue deh ke elo."

Ayya memutar bola matanya, siapapun akan tahu juga kali siapa cowok yamg duduk di belakang Ayya. Samudera Arial Stevano, cowok yang berani berkelahi dengan Vano dan mengerjai Citra, Samudera terkenal juga dengan sikap cuek dan wajahnya yahh bisa dibilang ganteng. Meskipun di mata Ayya Samudera sangatlah minus. Cowok badboy itu terlihat menyebalkan, bodoh dan setiap kali melihatnya, Ayya pasti ingin memukulnya.

"Ngapain lo di sini?" tanyanya.

Samudera mengerutkan keningnya sedikit kesal. "Ini kelas gue."

Kini malah Ayya yang bingung. "Lo di kelas ini? Kok gue nggak pernah liat lo?"

Samudera nyengir lebar, dia mengusap rambutnya tampak salah tingkah. "Engg, sebenarnya gue udah dua minggu nggak masuk ke sekolah. Ada sesuatu yang menghalangi. Kemarin gue masuk tapi malah dihukum sama bu Fatma."

Samudera jelas-jelas berbohong. Dia bukannya izin sekolah tapi bolos sekolah. Namun dia tidak ingin terlihat buruk di depan cewek yang disukainya. Bisa-bisa harga dirinya turun dan bagaimana jika nanti cintanya ditolak sama Ayya, padahal ini adalah cinta pertamanya.

Ayya mengerutkan keningnya ragu. "Benarkah?" Samudera menganggukan kepalanya, meyakinkan Ayya bahwa ucapannya adalah kebenaran. "Bener."

Namun ternyata Samudera harus bernasib sial. Ketika pak Gilman masuk ke dalam kelas. Dia tersenyum menyapa murid-muridnya hingga akhirnya tatapannya terhenti tepat ke arah bangku yang diduduki oleh Samudera. Guru Biologi itu tersenyum lebar. "Ouhh, kamu masuk kelas, Sam." Pak Gilman menyapa. Jelas beliau sangat mengenal murid cowok yang satu itu. "Bapak kira kamu akan bolos lagi."

Ayya menelengkan kepalanya, sedangkan Reno dan Dino tertawa cekikikan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel