Tawaran tak Terduga
Hujan semalam masih menyisakan jejak di dedaunan yang basah. Angin pagi berembus perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Ernita berdiri di depan rumah kos sederhana yang kini menjadi tempat tinggalnya. Mata sembabnya menatap kosong ke jalanan sepi.
Hari ini genap seminggu sejak Gudel menceraikannya.
Pernikahan yang ia jalani dengan penuh harapan kini hanya tinggal kenangan pahit. Ia tak hanya kehilangan bayinya, tetapi juga kehilangan tempat tinggal, keluarga, dan segala yang pernah ia anggap rumah. Gudel mengusirnya tanpa belas kasihan. Tak ada harta yang bisa ia bawa selain beberapa potong pakaian dan sedikit uang di dalam dompetnya.
Ernita menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan sakit yang terus menggerogoti hatinya.
"Sampai kapan aku akan begini?" gumamnya.
Ia sadar, larut dalam kesedihan tak akan membuat hidupnya lebih baik. Ia harus bangkit, harus mencari cara untuk bertahan hidup. Uang yang tersisa semakin menipis, dan ia tidak punya siapa-siapa yang bisa ia andalkan. Kedua orang tuanya telah lama meninggal dunia.
Ernita mengusap perutnya yang masih terasa nyeri setelah melahirkan. Matanya kembali memerah saat mengingat bayinya yang tak pernah sempat menghirup udara dunia ini.
Dengan sisa keberanian yang ia miliki, ia membuka koran bekas yang ia dapatkan dari meja ruang tamu kos. Ia mencari lowongan pekerjaan.
"Asisten rumah tangga, baby sitter, koki .…"
Matanya terus menelusuri halaman demi halaman. Tidak ada pekerjaan yang benar-benar cocok untuknya, tapi saat ini ia tidak punya pilihan.
"Aku butuh pekerjaan. Pekerjaan apa pun."
Dengan tekad bulat, ia mengambil tas kecilnya, memasukkan sisa uangnya dan berjalan keluar kos. Ia menaiki bus kota menuju pusat kota, berharap bisa menemukan tempat yang menerima pekerja baru.
Setelah satu jam perjalanan, bus berhenti di sebuah kawasan elit. Ernita turun dengan hati yang sedikit berdebar.
Di hadapannya berdiri sebuah rumah tingkat yang begitu megah. Gerbang besi tinggi menjulang, dihiasi ukiran mewah. Dari luar saja sudah terlihat betapa besarnya rumah itu.
Ernita menelan ludah. "Apa benar aku bisa bekerja di sini?"
Namun ia segera menepis keraguannya. Tak ada salahnya mencoba. Tangannya gemetar saat menekan bel di samping gerbang. Tak butuh waktu lama, pintu rumah terbuka.
Seorang pria muda tampan muncul di hadapannya. Wajahnya tegas, dengan mata tajam yang menatap Ernita dari ujung rambut hingga ujung kaki. Usianya sekitar 29 tahun, dengan tubuh tegap dan aura yang memancarkan wibawa.
"Siapa, ya?" tanyanya, suaranya dalam dan berwibawa.
Ernita langsung menundukkan kepala.
"Maaf, Tuan, apakah Anda membutuhkan pelayan rumah tangga? Saya butuh sekali pekerjaan itu," ucapnya, suaranya penuh harap.
Pria itu, Taufik Wijaya mengernyit. Ia tampak sedang menilai Ernita dengan tatapannya yang tajam.
Namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada sesuatu yang aneh. "Lho, baju kamu kenapa basah gitu? Dan yang basah cuma bagian itu saja," tanyanya curiga.
Ernita terkejut. Ia buru-buru menunduk, menyadari bahwa bagian depan bajunya basah.
Ia menggigit bibir merasa malu. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Eh, ini, Tuan .…" Ernita tergagap, mencoba mencari alasan. "Sebenarnya saya baru saja melahirkan seminggu yang lalu, tapi bayi saya meninggal karena penyumbatan placenta. Suami saya juga meninggal karena syok. Dan ini … ASI saya masih mengalir deras," lanjutnya dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca.
Taufik terdiam. Matanya menajam, seolah sedang memproses apa yang baru saja ia dengar. Di dalam hatinya, sebuah kenangan lama kembali menyeruak.
Istrinya, wanita yang sangat ia cintai, juga meninggal dunia setelah melahirkan. Pendarahan hebat merenggut nyawanya sebelum sempat melihat anak-anaknya tumbuh besar. Kini ia hanya memiliki bayi kembar yang membutuhkan ASI untuk bertahan hidup.
Sebagai seorang presdir perusahaan ternama, Taufik memiliki segalanya. Uang, kekuasaan, dan kemewahan. Tapi satu hal yang ia tak punya adalah seorang ibu untuk kedua anaknya.
Dan kini, seorang wanita asing berdiri di hadapannya dengan air susu yang masih mengalir deras .…
Ia menatap Ernita dalam-dalam. "Apakah kamu mau berbagi ASI-mu untuk bayi kembarku?"
Ernita terhenyak. Tawaran itu tak pernah terpikirkan olehnya.
Bagaimana mungkin takdir membawanya ke sini? Bagaimana mungkin ia yang kehilangan bayi kini diminta menjadi ibu susu bagi anak orang lain?
Namun di tengah keterkejutannya, ia sadar bahwa ini adalah kesempatan besar. Ia membutuhkan pekerjaan. Ia membutuhkan tempat untuk bertahan hidup.
Dengan suara pelan, Ernita mengangguk. "Saya … saya bersedia, Tuan."
Dan dengan jawaban itu, tanpa sadar ia telah membuka lembaran baru dalam hidupnya, lembaran yang penuh dengan kejutan, luka lama, dan mungkin sebuah harapan baru.
Taufik mengangguk pelan, seakan menyetujui keputusan itu. "Baik. Ikut saya masuk."
Ernita mengikuti langkah Taufik menuju dalam rumah. Begitu melewati pintu utama, Ernita dibuat terpana oleh interior rumah yang begitu megah. Marmer putih menghiasi lantai, lampu kristal tergantung di langit-langit, dan perabotan mahal tampak tertata rapi. Semua itu terasa begitu jauh dari kehidupannya yang sederhana.
Namun sebelum sempat mengagumi lebih jauh, tangisan bayi terdengar dari lantai atas.
Taufik melangkah cepat menaiki tangga, sementara Ernita mengikutinya dengan ragu. Setibanya di lantai atas, mereka memasuki sebuah kamar luas yang didominasi warna lembut. Dua boks bayi berdiri berdampingan, dan di dalamnya dua bayi mungil menangis dengan wajah memerah.
Seorang wanita paruh baya yang tampaknya seorang pengasuh berusaha menenangkan mereka, tetapi kedua bayi itu tetap meraung seakan kelaparan.
Taufik segera mendekati boks dan menatap bayi-bayi itu dengan mata yang melembut. Ada kesedihan mendalam di sorot matanya, kesedihan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.
"Mereka menolak susu formula sejak dua hari lalu. Aku sudah mencoba segalanya, tapi mereka tetap menangis," katanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Ernita menatap bayi-bayi itu dengan perasaan campur aduk. Hatinya mencelos. Ada sesuatu dalam tatapan mereka yang membuat nalurinya sebagai seorang ibu tersentuh.
Perlahan Ernita berlutut di samping salah satu boks dan mengulurkan jemarinya. Bayi mungil itu meraih jarinya, genggamannya lemah namun terasa begitu kuat di hati Ernita.
"Bolehkah saya mencobanya, Tuan?" tanyanya hati-hati.
Taufik menoleh lalu mengangguk. "Silakan."
Dengan tangan sedikit gemetar, Ernita menggendong salah satu bayi dengan penuh kehati-hatian. Begitu tubuh mungil itu bersentuhan dengannya, ada perasaan aneh yang menjalar di dadanya. Perasaan kehilangan yang selama ini menghantui, kini bercampur dengan rasa hangat yang tak bisa ia jelaskan.
Perlahan, Ernita mulai menyusui bayi itu ....
Tangisannya yang tadinya begitu keras perlahan mereda, digantikan oleh suara isapan lembut. Ernita menatap wajah mungil itu dengan mata berkaca-kaca.
Taufik yang berdiri di sampingnya hanya diam. Tatapannya tak lepas dari pemandangan di hadapannya. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya.
Sebuah keajaiban kecil telah terjadi di rumah itu.
