Ruang hampa.
Eliza melangkah keluar dari kamarnya, menyusuri koridor rumah yang luas dengan langkah pelan. Sepanjang perjalanan, matanya menjelajah setiap sudut, memandangi barang-barang mewah yang tampaknya tidak pernah kekurangan. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal berkilauan, sofa kulit yang diposisikan sempurna di ruang tamu, dan hiasan dinding yang tampak seperti lukisan mahal semuanya menciptakan suasana kemewahan yang megah.
Namun di balik semua itu, Eliza merasakan kehampaan yang menyakitkan. Segalanya begitu berlebihan, tapi entah kenapa tidak ada yang benar-benar terasa berarti. Rumah ini mungkin dipenuhi dengan kemewahan, tapi kosong dari sesuatu yang jauh lebih penting—kehidupan.
Saat Eliza mencapai ruang keluarga, matanya tertuju pada deretan foto yang terpajang dengan bangga di atas perapian. Potret keluarga yang diambil dalam berbagai kesempatan, menampilkan wajah-wajah yang tampak bahagia. Diego dan Gloria ada di sebagian besar foto, begitu pula beberapa anggota keluarga lainnya. Tapi tidak satupun dari foto-foto itu yang menampilkan dirinya. Eliza tidak ada di sana. Seolah dia tak pernah menjadi bagian dari kehidupan yang terabadikan di bingkai-bingkai mahal itu.
Jantung Eliza berdebar aneh saat dia mendekat, matanya meneliti setiap foto satu per satu. "Kenapa... tidak ada aku?" gumamnya lirih pada diri sendiri. Suara itu tenggelam di dalam ruangan yang besar, tetapi pertanyaan itu menggaung dalam pikirannya.
Rasa asing semakin menghantamnya. Seperti orang luar yang hanya mengunjungi kehidupan orang lain, bukan kehidupannya sendiri. Hatinya terasa hampa, seperti ruang kosong yang tak bisa diisi oleh barang-barang mewah atau foto-foto indah. Kemewahan ini—rumah ini, kehidupan ini—tak pernah terasa seperti miliknya.
Eliza menyentuh salah satu bingkai foto, merasakan dinginnya logam di ujung jarinya. Dalam setiap sentuhan, dia merasa semakin jauh dari kenyataan yang dia coba pahami. Siapa dirinya sebenarnya di sini? Dan mengapa semua ini terasa seperti ilusi yang rapuh?
Dia menarik napas panjang, merasakan kekosongan yang semakin dalam seiring waktu. Di tengah rumah yang megah ini, dia hanyalah bayangan, hilang dalam gemerlap kemewahan yang tak pernah bisa menyentuh jiwanya.
Eliza melangkah memasuki dapur, di mana aroma masakan yang sedang dimasak menguar hangat di udara. Namun, suasana segera berubah saat para pelayan melihat kedatangannya. Beberapa dari mereka terkejut, menghentikan aktivitas mereka sejenak dan saling berpandangan dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Dengan langkah mantap, Eliza mencari tempat duduk di salah satu kursi yang terletak di dekat meja makan. Ia merasa sedikit lebih tenang di tengah kesibukan dapur yang riuh. Setelah duduk, ia melirik ke arah Ruri, pelayan yang sebelumnya ia temui, dan mengangkat tangannya sedikit, memintanya untuk mendekat.
Ruri menundukkan kepalanya hormat, kemudian berjalan mendekati Eliza dan berdiri di sampingnya, sedikit ragu namun siap untuk membantu. Eliza merasakan aura canggung di sekelilingnya, tapi ia memutuskan untuk menembus suasana itu dengan bertanya.
"Ruri, sudah berapa lama kau bekerja di rumah ini?" tanya Eliza, berusaha memulai percakapan.
"Sudah dua tahun, Nyonya," jawab Ruri dengan suara lembut, sedikit tersenyum meski terlihat gugup.
Eliza mengangguk, mencoba menciptakan koneksi yang lebih dalam. "Dan... apakah kau mengenal siapa diriku?" Pertanyaan itu keluar dengan nada penuh harap.
Ruri tampak terkejut, dan sekejap dia melirik ke arah pelayan lain yang sedang bekerja di sudut dapur. Para pelayan itu menundukkan kepala, seolah tidak ingin terlibat dalam percakapan ini. Ruri menggigit bibirnya, berjuang antara keinginan untuk menjawab dan rasa takut untuk berbicara terlalu banyak.
Eliza merasakan ketegangan di antara mereka. "Ruri, aku hanya ingin tahu. Kenapa tidak ada yang bisa memberitahuku siapa aku di sini?" Suaranya lembut, namun ada nada putus asa yang tak bisa disembunyikan.
Ruri menatap Eliza dengan mata yang penuh simpati. "Nyonya... semua orang di sini tahu bahwa Nyonya adalah istri Tuan Diego. Tapi...," Ruri berhenti sejenak, tampak ragu.
"Tapi apa?" tanya Eliza, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menunggu jawaban.
Ruri menghela napas, seolah berusaha mengumpulkan keberanian. "Tapi... banyak yang merasa tidak enak membicarakan hal-hal yang menyangkut Nyonya. Seperti, mengapa Nyonya tidak bisa mengingat apapun."
Kata-kata Ruri menggantung, menambah beban di hati Eliza. Dia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehilangan ingatan, tetapi ia tidak tahu apa. Dengan semua mata pelayan yang tertuju padanya, dia merasakan betapa terasingnya dia di tempat yang seharusnya menjadi rumahnya.
"Dapatkah kau memberitahuku lebih banyak tentang diriku?" pinta Eliza, suaranya kini sedikit bergetar. Ruri hanya bisa menatapnya, bingung dan tertegun, membuat Eliza merasa semakin terjebak dalam kegelapan yang menyelimutinya.
Tiba-tiba, pintu dapur terbuka lebar, dan Yoona melangkah masuk dengan senyuman lebar yang tampak dipaksakan. Para pelayan yang semula memperhatikan Eliza seketika bergerak menjauh, kembali ke pekerjaan mereka seolah-olah mereka tidak ingin terlibat dalam konfrontasi yang mungkin akan terjadi.
Yoona mendekati Eliza dengan langkah penuh percaya diri, matanya berkilau dengan keangkuhan. "Eliza, apa yang kau lakukan di sini? Aku rasa lebih baik kau kembali ke kamarmu," katanya, suaranya manis namun menyimpan nada otoriter.
Eliza menegakkan punggungnya, menatap Yoona tanpa rasa takut. "Tidak, aku tidak mau kembali. Siapa kau sebenarnya?" tanyanya, berusaha menantang.
Yoona tersenyum dengan angkuh, seolah tidak terpengaruh oleh ketegangan di udara. "Aku Yoona, sahabat masa kecilmu," jawabnya dengan nada percaya diri.
"Sahabat masa kecil?" Eliza mengulangi, mengerutkan alisnya. "Aku tidak merasa ada kedekatan denganmu. Bahkan aku tidak bisa mengingatmu sama sekali."
Yoona tampak sedikit terkejut, tetapi dengan cepat ia memulihkan senyumnya. "Oh, Eliza, mungkin ingatanmu belum pulih sepenuhnya. Kita sering bermain bersama. Aku ingat saat-saat bahagia itu." Suaranya lembut, tapi ada sesuatu yang dingin dalam senyumnya.
Eliza memejamkan matanya sesaat, mencoba menggali ingatan yang samar. Kapan dia pernah bersama wanita ini? Semua terasa begitu jauh dan tidak nyata. Jelas-jelas dia ingat saat pertama kali kembali ke rumah, ketika Yoona bergelayut manja di lengan Diego, tampak akrab dan nyaman. "Tapi... saat aku kembali, kau tampak sangat dekat dengan Diego. Aku tidak merasa itu wajar untuk seorang sahabat," kata Eliza, menantang.
Yoona mengangkat alisnya, terkejut dengan pernyataan Eliza. "Itu hanya karena kita berteman baik, bukan? Diego dan aku selalu dekat. Lagipula, aku di sini untuk mendukungmu, Eliza," jawab Yoona, mencoba menutupi ketidaknyamanan yang mulai muncul di wajahnya.
Eliza tidak bisa menahan tatapan curiganya. "Kau tidak mendukungku, Yoona. Kau hanya ingin menguasai situasi ini," ucapnya tegas, merasakan keberanian yang tumbuh di dalam dirinya. "Aku tidak percaya padamu."
Kedua wanita itu saling bertatapan, dan ketegangan terasa semakin tebal. Eliza bisa merasakan hasratnya untuk mencari kebenaran semakin membara, sementara Yoona berusaha menjaga wajah tenangnya di tengah serangan langsung. Di dapur yang megah ini, Eliza tahu bahwa ada banyak hal yang perlu diungkap, dan Yoona tampaknya menyimpan bagian dari teka-teki yang hilang dalam hidupnya.
