Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB.7

"Nggak lah, Har! Kamu udah kebelet gak ketemu istrimu dua minggu?" ledekku.

"Iyalah, Bos. Bisa uring-uringan si jago, Bos!"

Aku tertawa. "Makanya kawin lagi, Har! Bawa istri muda-mu tinggal di mess pabrik ini!" usulku.

Hardi terkesiap. "Gila, Bos! Bisa digantung aku sama istriku kalau ketahuan!"

"Kenapa? Kamu takut sama istrimu?"

Hardi tak menjawab hanya menggaruk tengkuknya. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya. "Sudah sana, mulai awasi pekerja!" perintahku.

Tanpa menjawab lagi, Hardi mengangguk hormat dan keluar dari ruanganku. Hardi memang takut pada istrinya. Tapi, dia selalu berkilah. Kalau dia itu suami yang setia pada pasangannya bukan takut istri. Ya, mungkin benar saja. Padaku saja dia tidak pernah berkhianat, apalagi pada istrinya.

Setelah Hardi pergi dari ruanganku, lantas aku menghempaskan bobot di kursi kerja yang ada di ruangan pribadiku ini. Aku lalu memperhatikan kembali lembar kertas yang ada di tangan.

Xaviero De'Store. Toko fashion dengan kualitas tinggi yang ada di salah satu kota di Singapura. Dulu, saat pabrik dalam keadaan stabil, bahkan pemasukan setiap tahun selalu mencapai target. Aku dan Fidelya selalu plesiran ke luar negeri, meski masih sebatas Asia Tenggara.

Setiap tiga bulan sekali, aku dan Fidelya pergi berlibur. Menghabiskan waktu di negeri orang sekalian memasarkan produk pabrik. Tapi, belum ada tanda-tanda produk yang pabrik keluarkan dilirik pasar luar.

Sedangkan satu bulan sekali. Aku dan Fidelya, rutin mengunjungi panti dan memberikan donasi sepuluh juta tiap bulannya. Aku menjadi donatur tetap untuk panti selama ini.

Setahun kebelakang, tidak lagi. Aku dan Fidelya benar-benar mengencangkan ikat pinggang demi pabrik bisa tetap berdiri.

Tapi, sekarang? Sungguh di luar dugaanku, bahwa akan secepat ini kemajuannya. Amazing!

Aku membenahi jas kerja di badan. Lalu bangkit dan keluar dari ruangan pribadiku. Berjalan menuju bangunan pabrik yang sudah lima tahun aku kembangkan.

***

Pukul delapan malam, aku baru tiba di rumah. Fidelya menyambut kedatanganku di teras luar. Ia berlari kecil dengan gaun tidur malam yang meski tertutup namun tetap terlihat indah.

Dengan cekatan, ia meraih tas kerja dari tanganku lalu menuntunku untuk masuk. Tanpa diperintah, ia melepaskan jas yang melekat. Juga sepatu dan kaus kakinya.

Kemudian Fidelya berlalu membawa jas serta sepatuku. Aku masih di sofa ruang tamu, melepas kancing lengan kemeja, lalu menggulungnya sampai siku. Serta dua kancing atas kemeja yang aku pakai.

"Mandi dulu sana, Mas!" titah Fidelya setelah kembali dan kini berdiri di sampingku yang masih duduk.

Aku menarik tangannya, hingga Fidelya duduk di pangkuanku. Fidelya menatapku. Aku melingkarkan tangan di pinggangnya. "Mas ada kabar baik, Fi!" ucapku bahagia.

"Apa, Mas?" tanya Fidelya dengan raut wajah berbinar.

"Produk pabrik kita mulai dilirik pasar luar. Tadi ada permintaan pengiriman sampel buat toko di Singapura, Fi!" jelasku.

Netra Fidelya membulat. "Beneran, Mas? Wah, baguslah, Mas! Keinginan Mas supaya produk kita tembus pasar ekspor sebentar lagi bisa tercapai!" balas Fidelya tak kalah bangga.

Aku mengangguk. "Tentu saja, Fi! Mas akan pastikan, setelah pengiriman sampel selesai, toko itu pasti akan mulai memesan produk kita."

Fidelya mengalungkan lengannya di leher dan merapatkan tubuhnya padaku. Aku dapat mencium wangi lembut dari rambutnya. "Semoga, ya, Mas!" ucapnya kemudian yang kubalas dengan anggukan.

Fidelya menarik diri, lalu beranjak. "Mandi dulu, Mas! Biar aku hangatkan makan malamnya," ucapnya dan berjalan menuju ruang makan.

Aku pun lantas beranjak dan menyusulnya. "Mas mau makan dulu, Fi!"

Sesampainya di ruang makan, aku menarik kursi lalu duduk. Sementara Fidelya menghangatkan makanan di dapur.

***

Aku keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar. Fidelya tengah sibuk mengemasi pakaian yang akan diberikan untuk anak-anak panti. Aku yang hanya berbalut handuk di pinggang, langsung memeluknya. Menyerbunya dengan ci***man panas. Fidelya yang tidak siap dengan seranganku, memukul lenganku dan sedikit berontak. Tapi tenaganya tidak sebanding dengan tenagaku. Sehingga perlawanannya sia-sia.

Aku membawa tubuhnya dan mendorongnya hingga terlentang di atas tempat tidur.

"Mas!" pekik Fidelya. Ia hendak bangkit, namun dengan cepat aku mengurungnya. Kini, ia berada di bawah Kungkungan badanku.

Kembali aku menyerbunya dengan ci***man panas bahkan lebih daripada tadi. Hingga berujung pertempuran panas nan syahdu.

Tubuhku ambruk. Mungkin saking lelahnya dan akhirnya terlelap.

***

Pelan aku membuka mata. Posisi tidurku tidak berubah dari semalam. Masih tengkurap. Kulihat ke tempat Fidelya, sudah kosong. Aku meraba-raba mencari ponsel. Setelah dapat, aku lalu melihatnya. Jam lima pagi.

Lantas aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Menuju lemari pakaian, mengambil pakaian dan memakainya. Aku lalu membuka pintu kamar.

Kukira, Fidelya sudah bangun dan sedang di dapur. Ternyata lagi-lagi Fidelya berada di depan jendela halaman samping yang terbuka lebar. Ia duduk dengan memeluk lututnya.

Aku bergegas menghampirinya. "Fi, kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil berjongkok di hadapan Fidelya.

"Mas! Yang dikatakan Mas Lukman ternyata bener, Mas! Rumah ini berhantu!" ucapnya ketakutan. Ia memegang pergelangan tanganku dengan kuat.

Aku menautkan alis. "Hantu? Hantu apa, sih, Fi? Kamu jangan ngaco lagi deh!"

Fidelya menggeleng cepat. "Mas! Aku ngga ngaco! Mas harus percaya sama aku! Aku inget. Semalam, aku keluar dari kamar dan Mas tahu apa yang aku lihat?" tanyanya yang kubalas dengan gelengan.

"Kun**anak, Mas! Makhluk itu melayang di pohon jambu, Mas! Terus dia mendekat sampai akhirnya aku pingsan! Kepalaku sakit banget ini rasanya, Mas!" balas Fidelya sambil memegang bagian belakang kepalanya.

Ya, ampun. Aku kecolongan. Ah, sial. Kenapa semalam aku tidur terlalu nyenyak. Lantas aku berdiri dan berjalan mendekat ke arah jendela. Aku pura-pura melihat keadaan sekitar. Lalu kembali mendekati Fidelya yang masih terduduk.

"Nggak ada hantu, Fi! Kamu pasti cuma mimpi!" ujarku.

"Aku nggak mimpi, Mas! Aku sadar dan aku melihatnya sendiri," bantahnya.

Begitulah Fidelya. Dia akan menjadi perempuan keras kepala saat apa yang dirasanya benar. Aku mengusap wajah kasar.

"Fi, tapi di luar gak ada apa-apa. Sudahlah, mungkin itu cuma halusinasi kamu, Fi!" ucapku.

Fidelya melotot. "Nggak, Mas! Gak ada aku berhalusinasi. Aku ini beneran lihat makhluk itu, Mas! Rupanya itu mengerikan, Mas!" ucapnya lagi sambil bergidik. Lalu menutup wajahnya dengan tangan.

Aku menghela nafas. Lalu merangkul pundak Fidelya agar ia segera berdiri. "Nggak usah takut, ada Mas! Ayok kita ke kamar!" ajakku.

Sekarang Fidelya sudah duduk di atas tempat tidur dan aku di sebelahnya. Menenggelamkan kepala Fidelya di dada bidangku dan membelai rambutnya.

Setelah dirasa tenang, aku kembali bersuara.

"Fi, kita sudah lima tahun tinggal bersama di rumah ini. Selama ini, rumah kita aman. Nggak ada hantu seperti yang kamu bilang. Kamu jangan mikirin terus ucapannya Lukman tempo harilah, Fi! Lukman itu dari dulu ngaco!"

"Tapi ucapan Mas Lukman tempo hari itu beneran, Mas. Ada kuntilanak di halaman samping rumah ini. Mas bilang aku dan Mas Lukman ngaco, itu karena Mas belum melihatnya langsung. Coba kalo Mas sudah lihat. Pasti Mas bakal pingsan juga!"

Aku menghembuskan nafas kasar. "Terus, kenapa semalam kamu gak bangunin Mas?"

"Semalam aku cuma kebelet aja, Mas. Pas keluar dari kamar mandi, ada sekelebat bayangan di jendela, ditambah bau anyir banget, Mas! Aku intip, dan mengarah ke halaman samping. Aku penasaran, dan akhirnya malah lihat makhluk itu, Mas!"

Aku memegang kedua pundak istriku itu. "Sekarang mending kamu mandi. Biar kamu ngga keinget terus!" perintahku.

Fidelya mengangguk dan berjalan gontai masuk ke kamar mandi.

Aku buru-buru membuka lemari pakaian dan membuka koper. Mengambil botol kecil bening waktu itu. Setelah dapat, aku lalu keluar dari kamar. Berjalan cepat menuju dapur untuk menemui Bi Marni.

Benar saja. Bi Marni memang tengah sibuk memasak untuk sarapanku dan Fidelya. Aku lalu menghampirinya. "Bi, ambil ini!" ucapku seraya memberikan botol kecil itu.

Bi Marni menerimanya dengan raut muka keheranan namun segan untuk menolak. "Teteskan air dalam botol ini sedikit saja, pada air minum untuk Fidelya!"

Bi Marni memperhatikan botol kecil itu. "Ini apa, Den?" tanyanya kemudian.

"Udah, bibi gak perlu tahu! Pokoknya jangan sampai air minum untuk Fidelya nanti salah ya, Bi! Paham 'kan?" ujarku memastikan.

~

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel