Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CRAZY RICH

POV LEO

Aku baru saja sampai di negeri yang sangat asing. Meskipun tak jarang tanteku membawaku jalan-jalan ke luar negeri saat tahun baru atau saat aku ulang tahun, tetapi belum pernah ke sini. Ya, sekarang aku berada di negeri Pak BJ Habibie dulu menuntut ilmu.

Tujuan Abang mengirimku ke sini juga untuk melanjutkan studi. Namun, aku jelas bukan orang yang tekun seperti BJ Habibie. Jangan tanya soal ketekunan, karena semua tugasku sejak masuk SMA dikerjakan oleh sahabatku-Taksis.

Aku beruntung sekali mengenal Taksis. Dia sangat galak padaku, tetapi bagusnya dia terlalu miskin untuk mengabaikan uang-uangku. Alhasil, dengan iming-iming upah, gadis itu bersedia kuperintah ini dan itu. Kami berteman sangat akrab. Dia tinggal di rumahku dan mengurusi semua keperluanku mulai dari menyiapkan makan, baju, membersihkan rumah, bahkan semua PR ku.

Sementara itu, aku sibuk dengan para gadis. Hampir semua gadis populer di sekolah pernah kupacari. Terakhir adalah Gitara. Dia gadis keturunan bule yang sangat cantik seperti mantan istri Steven William. Jangan tanya apakah aku mencintai Gitara? Aku dengan dia sama seperti dengan gadis-gadis sebelumnya yang hanya untuk bersenang-senang saja.

Ya, meskipun orang menyebut diriku playboy dan tinggal dengan seorang gadis seusiaku. Namun, aku sama sekali tidak tertarik dengan gadis itu. Namanya Taksis. Di mataku dia satu-satunya sahabat terbaik yang kupunya selama ini. Apa aku bernafsu padanya? Jawabnya adalah sama sekali tidak.

Taksis gadis yang biasa saja. Tidak cantik apa lagi seksi. Dia hanya berkulit putih itu saja nilai plus dari fisiknya. Tingginya mungkin 160 atau 164 sentimeter. Badannya kurus tidak ada yang menarik. Penampilannya apa adanya dan tidak pernah berdandan. Rambutnya dicepol berantakan dengan anak rambut yang mengganggu. Selain itu, dia juga sangat galak. Kurasa seumur hidupnya tidak ada cowok yang berani mendekati gadis itu.

Berbeda jauh dengan pacar-pacarku. Terutama yang sekarang. Seorang model top asal Indonesia. Sosok yang sempurna, berparas cantik dan pastinya putri tunggal Presdir perusahaan yang menaungi perusahaan keluargaku.

Kedekatanku dengan Violin, nama super model itu, berawal dari kunjungannya ke Jerman untuk melakukan pemotretan juga syuting film layar lebar. Kami tak sengaja bertemu di kafe yang sama dan ternyata keluarga kami memiliki hubungan bisnis yang sangat baik.

Berpacaran dengan Violin yang lebih tua dua tahun dariku sangat menantang. Violin sangat ahli gemes-gemesan. Aku berkali-kali tepar olehnya sampai ketagihan. Dia benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan gadis-gadis SMA yang juga pernah menghangatkan kasurku.

"Apa yang kalian lakukan?!"

"Papa?!"

Nahas! Saat aku sedang berada di apartemen milik Violin dan sedang mantap-mantapan, papanya datang memergoki putrinya sedang gemes-gemesan denganku.

Malu bukan main rasanya. Aku dan Violin buru-buru memakai baju, lalu disidang oleh Papa Violin.

"Anak muda! Kamu harus bertanggung jawab atas anak gadisku! Kalian harus segera menikah setelah kembali ke Indonesia!"

Aku masih sangat muda baru saja berulang tahun ke dua puluh tahun bulan lalu. Namun, Papa Violin menuntut diriku untuk segera menikahi putrinya. Jika tidak, pria tua itu akan mengadukan aku kepada abangku dan dia tidak akan menjamin kerja sama perusahaan keluarga kami dengannya masih bisa diteruskan atau diputus begitu saja.

Pria tua dengan segala kekuasaan yang dia miliki itu menyodorkan telepon genggam kepunyaanku. Dia memintaku untuk menelepon abangku saat ini juga guna menyampaikan jika aku hendak menikahi putri tunggal Presdir, sehingga abangku harus mengatur pertemuan keluarga secepatnya.

Sekarang di Jerman masih pukul 19. 00 sedangkan di Jakarta sudah pukul 01. 00 dini hari. Menelepon pada jam kalong begini pasti abangku sangat kesal.

"Halo ...."

Terdengar suara abangku yang seperti orang ngantuk berat. Aku ragu untuk menyampaikan padanya. Kulirik ke arah Papa Violin yang ternyata dia menatap nyalang padaku membuat jantungku seperti berhenti berdetak.

"Halo, Bang! Aku mau nikah!" seruku karena gugup ditatap seperti itu oleh Papa Violin.

"Apa?! Kamu udah nggak waras, Leo?"

Sudah kuduga sebelumnya. Abangku pasti mengira aku sudah hilang waras. Namun, aku terdesak. Ini semua juga demi kelangsungan bisnis keluarga.

"Aku serius, Bang. Abang dan Tante segera ke Jerman. Lamar gadisnya!" pintaku kemudian.

"Nggak! Kuliah setahun belum genap udah mau nikah. Abang nggak setuju!" teriak abangku yang membuatku refleks menjauhkan ponsel dari telinga.

"Bang, gadis yang akan kunikahi ... dia ... dia Violin, putri tunggal Presdir Xanders Djokosoetopo."

"Apa?!"

Mendengar nama Presdir, abangku langsung memintaku memberikan ponselku pada Presdir itu karena kuberitahu jika saat ini aku sedang bersama Papa dan anak dari keluarga Djokosoetopo tersebut.

Presdir dan abangku berbicara melalui sambungan telepon. Aku tak bisa mendengar apa yang abangku katakan. Idenya selalu buruk. Semoga dia tidak bicara hal-hal yang tidak diperlukan. Namun, setelah pria tua itu mengakhiri obrolan via telepon, aku tahu sekarang kelangsungan hidupku yang bebas terancam punah.

Seminggu kemudian, Tante dan abangku datang ke Jerman untuk melamar violin. Aku suka bermain-main dengan gadis itu, tetapi baik aku maupun Violin sebenarnya masih belum ingin menikah. Kuno sekali mereka. Memangnya kenapa kalau kami gemes-gemesan tanpa harus menikah? Semua teman-temanku juga bercinta dengan pacarnya. Kenapa aku harus menikahi pacarku? Oh, ya Lord ....

"Papa, bisa nggak kami jangan menikah dulu? Karirku bisa hancur kalau aku menikah sekarang," rengek Violin saat keluargaku datang melamar dirinya.

"Nggak bisa! Pemuda ini sudah ambil kesempatan denganmu. Bagaimana kalau dia kabur?!" gusar sang Presdir yang lagi-lagi mengungkit hari memalukan itu.

"Presdir, maaf. Kalau menurutku, bagaimana jika Leo dan Violin tunangan saja dulu. Aku akan menjamin bahwa adikku nggak akan kabur. Percayalah," pinta abangku mencoba bernegosiasi.

Bagus sekali, Bang. Dia bukan menyelamatkan diriku, tetapi hanya menunda kematianku saja. Dasar tidak pernah bisa membela adiknya sendiri. Kalau seperti ini ujung-ujungnya aku juga tetap harus menikah dengan Violin. Bagaimana kalau nanti setelah tunangan aku bertemu dengan gadis yang lebih cantik dari Violin? Mereka pasti akan mencincangku sampai lumat.

"Ide bagus. Setelah tunangan mereka berdua harus kembali ke Indonesia. Tunangan dilakukan di sini agar tidak diketahui oleh pers," jawab sang Presdir yang setuju dengan ide bodoh abangku.

Kini, kutatap cincin seharga 2, 7 milyar di jari manisku. Benci sekali aku. Benda ini seperti kalung anjing yang diberi nama. Setiap saat mengikat dan mengekangku.

Siapa aku? Lionel Richie Lim-putra bungsu crazy rich yang telah wafat sebelas tahun yang lalu karena kecelakaan pesawat. Abangku, Neymar Richie Lim sekarang bertingkah seolah-olah dia adalah ayahku. Kepala keluarga yang menyebalkan. Itu sebabnya aku malas tinggal dengan mereka dan memilih menyendiri di rumah peninggalan orang tua kami.

Sebagai seorang pewaris kedua, saat pertama kali aku mendapatkan kartu tanda penduduk, pengacara keluargaku memberikan hakku yang tentunya sama banyak dengan abangku. Hanya saja, kuasa penuh perusahaan sampai aku mampu, tetap dipegang seorang diri oleh abangku. Whatever, setidaknya aku masih punya aset lain dan deposito, semuanya kutafsir senilai 2, 1 triliun rupiah. Siapa aku? Anak SMA biasa di mata orang-orang, lalu setelah lulus melanjutkan studi di Jerman, sayangnya hanya sekejap saja aku mengenyam pendidikan di negara yang menurut sudut pandangku 'an amazing country.'

Kuingat kembali masa-masa bebasku kala itu yang sebentar lagi berakhir setelah menikah dengan putri tunggal Presdir Xanders Djokosoetopo. Aku pemuda yang sangat menikmati hidup. Uang banyak, pacar banyak, teman banyak, dosa-dosa pun banyak.

Tadinya kukira jalan hidupku akan selamanya menyenangkan dengan masa depan cerah gemilang. Sekolah, kuliah, memimpin perusahaan bersama abangku. Muda foya-foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Setiap hari aku bersenang-senang menghamburkan uang peninggalan orang tuaku.

Usiaku kala itu hampir 17 tahun, saat kutanggalkan serangan putih biru navy menggantinya dengan putih abu-abu. Abangku yang cerdas baru saja lulus universitas dengan predikat cumlaude dan langsung terjun ke perusahaan keluarga sebagai CEO muda yang jenius. Ia membeli sebuah hunian mewah hunian paling idaman kaum crazy rich di kota Batam. Namun, aku menolak untuk pindah. Berada di rumah peninggalan orang tua membuatku merasa seperti mereka masih hidup dan menjagaku.

Sejak saat itu, abangku nyaris tak pernah peduli lagi dengan hidupku. Kami sesekali bertemu di luar negeri. Dia tidak pernah datang ke rumah untuk mengunjungiku. Semakin lama dia semakin sibuk sebagai pemimpin perusahaan dan kurasa dia sudah lupa kalau masih memiliki adik.

Hari itu, asisten rumah tangga yang cuti lebaran menelepon. Dia bilang tidak bisa kembali bekerja karena akan menikah. Aku menghubungi yayasan penyalur pembantu rumah tangga untuk mendapatkan gantinya. Sudah enam kali gonta-ganti orang, tetapi tidak ada yang betah. Kenapa? Bukankah aku hanya seorang diri apakah aku Tuan yang cerewet bagi mereka? Entahlah.

Sampai akhirnya, si miskin itu menjadi pusat perhatianku. Dia tidak pernah makan di kantin. SPP, buku, seragam, juga uang pangkal belum dibayar membuatnya selalu berdebat dengan petugas tata usaha sekolah. Usut punya usut rupanya dia adalah seorang yatim piatu dari sebuah panti asuhan yang sudah tidak memiliki donatur. Sementara semua anak-anak di panti mendapatkan orang tua asuh, tapi tidak dengan dirinya. Keadaannya semakin sulit ketika tempat yang sebelumnya dijadikan panti asuhan itu habis masa sewa. Dia terpaksa tinggal di sebuah kamar kos di lingkungan kumuh.

Pemuda brengsek seperti diriku tentu saja masih punya sedikit kebaikan hati, bukan? Lagi pula dia gadis yang cerdas. Saat pengumuman penerimaan siswa baru namanya tertulis pada urutan teratas dengan nilai rata-rata hasil tes mendekati sempurna, yaitu 99, 99 untuk masing-masing mata pelajaran.

Siapa yang bisa menolak uangku, termasuk gadis itu? Ya, kutawari tempat tinggal dan pekerjaan untuknya. Untuk tempat tinggal dia tinggal di rumahku dan dibayar menggunakan tenaganya sebagai tukang beres-beres rumah. Sedangkan untuk setiap PR dan tugasku, kami harus bernegosiasi setiap saat dengan harga yang sesuai dengan tingkat kesulitannya.

Deal. Taksis sejak hari itu adalah sahabat baikku di rumah dan di sekolah. Aku akui, apa jadinya diriku jika tidak bertemu dengan dirinya?

Aku tidak perlu lagi memikirkan kerja sekolah. Bahkan untuk ujian pun, Taksis bersedia kubayar untuk 100 persen contekan. Dengan demikian, aku bebas bersenang-senang dengan teman-temanku juga pacar-pacarku.

Pacar terakhirku saat SMA merupakan gadis cantik keturunan bule Rusia. Dia anak baru yang masuk di awal semester genap tingkat akhir. Aku tidak ingat dia gadis ke berapa yang pernah gemes-gemesan denganku. Yang aku ingat, aku adalah pria pertama baginya. Noda merah tercetak jelas di seprei berwarna putih. Tidak menyangka zaman sekarang masih ada barang ori.

Gitara gadis cantik yang masih ori akhirnya berhasil kumiliki seperti gadis-gadis sebelumnya. Sayangnya, meskipun cantik dia kurang agresif saat bermain, sehingga membuatku bosan. Ujian nasional berakhir, berakhir pula hubunganku dengan Gitara. Aku bosan, bahkan untuk menjawab telepon darinya pun malas sekali.

Aku tak sabar untuk segera meninggalkan negara ini dan melanjutkan studi di Jerman sesuai dengan permintaan abangku. Membayangkan teman kuliah yang cantik dan seksi, membuatku begitu bersemangat. Namun, tiba-tiba saja aku mencemaskan Taksis.

Sahabatku itu bisa tinggal dengan layak, makan kenyang, sekolah tidak pusing biaya semua karena aku. Jika aku pergi, siapa yang akan menghidupi dirinya? Kulihat wajahnya yang lelah. Gadis itu ketiduran setelah mengemasi pakaianku yang akan kubawa besok. Kenapa tiba-tiba jadi melow seperti ini?

Taksis sahabat yang paling mengerti diriku. Meski sering memarahiku. Aku juga tidak rela jika dia sampai jadi gelandangan setelah ini. Akhirnya, aku memintanya untuk jangan meninggalkan rumah ini. Membiarkan rumah kosong untuk waktu yang lama juga tidak bagus. Setelah gadis itu setuju, aku menjadi lega. Kukatakan padanya akan tetap mengirimkan uang padanya asal dia bersedia mengerjakan tugas-tugas kuliahku yang akan kukirim melalui email.

Bukankah semua telah berjalan dengan baik? Lalu, kenapa aku masih membuat masalah dengan meniduri putri tunggal seorang Presdir? Astaga, sekarang aku harus kembali ke Indonesia dan berhenti dari kampus terbaik di Jerman.

Bandara internasional Juanda, Surabaya. Begitu sampai di Indonesia, Violin memintaku untuk jangan berulah karena film barunya akan segera rilis. Ya, sebaik mungkin kami menyembunyikan status tunangan kami, pada akhirnya terendus juga oleh pers. Violin model papan atas sekaligus pemain film telah siap mengakhiri masa lajang dengan seorang pemuda dari keluarga crazy rich yang belum diketahui identitasnya. Itu adalah aku Lionel Richie Lim.

Kami pun berpisah di bandara. Gadis itu sudah dijemput oleh sopir dan bodyguard suruhan papanya. Sementara aku, abangku bahkan tidak peduli apakah aku sudah sampai atau belum. Dia juga sudah tidak tinggal lagi di kota ini. Tidak jadi masalah, lagi pula aku tidak akan pulang ke hunian mewah direktur itu. Aku sudah terbiasa tinggal di rumah peninggalan orang tua kami.

Kutatap rumah mewah dengan halaman yang asri itu. Sangat bersih, tidak berubah sejak kutinggalkan beberapa bulan yang lalu. Tampaknya Taksis benar-benar menjaga rumah ini. Bahkan, rumput pun terlihat dipotong rapi. Dia pasti terkejut melihat kedatanganku. Pasalnya, aku sengaja tidak memberi tahu Taksis tentang kepulanganku ke Indonesia juga pertunanganku dengan Violin.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel