Pustaka
Bahasa Indonesia

IPRIT

117.0K · Tamat
Siti Auliya
114
Bab
966
View
9.0
Rating

Ringkasan

Berlatar belakang sebelum peradaban modern, di mana dunia persilatan masih terasa kental di Kampung Keris. Gerombolan-gerombolan perampok masih sering mengganggu masyarakat. Kepercayaan terhadap mistis dan klenik adalah hal biasa serta dianggap wajar. Masih sering terjadi, siluman-siluman menyamar menjadi manusia. Wisaka adalah seorang pemuda yang terusik nuraninya. Dia ingin mengungkap misteri kematian beberapa pasang pengantin. Pengantin pria mati setelah lebih dulu melakukan hubungan badan. Pengantin wanita diperkosa serta menjadi bisu. Wisaka berguru ilmu kanuragan, tetapi di perjalanan banyak sekali rintangan yang dihadapi Wisaka. Bukan saja dari manusia, tetapi para siluman dan mahluk halus ikut jadi kendala dalam perjalanannya. Bagaimana Wisaka menghadapi rintangannya satu persatu? Berhasilkah dia atau kalah di tangan siluman yang menyamar?

Pengembara WaktuTuan MudaSuspenseDewasaZaman Kuno

KEMATIAN PENGANTIN

Tak lama setelah bunyi lolongan serigala dan suara burung hantu bergantian, terjadilah hal di luar dugaan. Malam yang tadinya benderang terlihat suram karena bulan bersembunyi di balik awan. Sesosok laki-laki nampak berjalan tergesa-gesa menuju satu rumah, kemudian mengetuk jendela sebuah kamar.

Mendengar ketukan di jendela kamar, Sulastri yang sedang berbaring di ranjangnya menoleh cepat. Dia berdiri dan menghampiri jendela, mencoba mencari tahu apa atau siapa yang menghasilkan suara ketukan tadi.

Sulastri membuka jendela kamarnya yang penuh dengan hiasan pengantin. Tak ada siapapun di luar, hanya kegelapan malam yang menyambut. Cahaya bulan yang temaram belum sepenuhnya menampakkan diri. Pohon pisang terlihat seperti hantu yang melambaikan tangan, Sulastri bergidik ngeri, cepat-cepat dia menutup kembali daun jendela kamar. 

Melanjutkan aktifitas sebagai calon pengantin esok hari, hatinya penuh dengan debaran-debaran aneh yang baru sekali ini dirasakan. Kadangkala bibirnya tersenyum sendiri, saat teringat akan Firman sang kekasih.

Mencoba kembali kebaya putih, baju yang dijahit emak seminggu yang lalu, lengkap beserta kain yang sudah dilamban --dikasih lipit layaknya pengantin khas Priangan. Sulastri mematut diri di cermin mengagumi kecantikan diri sendiri dalam balutan busana itu, lalu tertawa kecil seraya menutup mulutnya.

Ketukan samar itu terdengar lagi, Sulastri menajamkan telinga. Tidak salah, memang ada ketukan lagi di jendela kamarnya. Sulastri mengangkat kain yang dipakainya untuk memudahkan berjalan, berjingkat-jingkat mendekati jendela.

"Lastri, Lastri." 

Suara yang lebih mirip desahan terdengar lamat-lamat di telinga Sulastri. Sulastri kaget, itu seperti suara Firman, ada apa menemuinya? Bukankah di rumah sedang berlangsung hajatan untuk melepasnya jadi pengantin besok? Apakah ada sesuatu yang sifatnya darurat sehingga Firman menemuinya diam-diam? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya membuka jendela.

Kegelapan yang menyambut membuat Sulastri mengerjap beberapa kali agar pandangannya bisa menerobos pekatnya malam. Rembulan separuh tertutup awan saat itu. Gadis montok itu tidak melihat siapapun. Keramaian di rumah yang sedang menyiapkan hajatan juga hanya diterangi lampu petromax, tak mampu menjangkau tempat jauh. 

Eh tapi tunggu, ada sesosok tubuh berdiri di bawah pelepah daun pisang. Ia melambaikan tangan ke arah Sulastri. Sulastri seperti mendengar kembali panggilan itu. Seperti terhipnotis ia bermaksud menemui orang itu.

Dia lupa baju pengantin itu masih melekat di badannya. Dengan susah payah Sulastri berhasil keluar lewat jendela. Mengendap-endap berjalan menghindari pandangan orang-orang yang ramai di depan rumahnya. 

Ketika Sulastri melihat wajah orang itu dari dekat, berhasil memastikan bahwa pria itu adalah Firman, kekasihnya sekaligus calon suaminya.

"Ada ap--"

Belum sempat Sulastri menyelesaikan ucapannya Firman menempelkan satu jari ke bibirnya. Meminta gadis itu untuk mengecilkan volume suaranya.

"Sttt, sini," ujar pria tersebut seraya menarik Sulastri dan membawanya ke balik rimbunan pepohonan.

"Ada apa, Kang? Kenapa malam-malam begini datang?" bisik Sulastri

"Akang tak sabar menunggu hari esok, makanya malam ini Akang menemui bidadari Akang," jawab Firman sambil mencolek dagu Sulastri.

"Ah, Akang," kata Sulastri sambil tersipu. Perempuan itu mencabuti rumput tempat mereka duduk sambil menunduk, merasa jengah dan malu karena pujian dari kekasihnya .

"Akang merasa beruntung memilikimu, rembulan saja tak berani menampakkan diri karena malu, kalah dengan kecantikan dirimu." Firman semakin berani, dia mulai melingkarkan tangannya ke pinggang Sulastri. Sulastri kaget karena sebelumnya Firman tak pernah berlaku kurang ajar.

"Kang ... jangan," Sulastri berbisik sambil menunduk. 

Firman malah menengadahkan muka Sulastri agar menatap wajahnya. Sulastri kaget bukan kepalang, wajah yang didepannya ternyata bukan kekasihnya. Belum sempat menjerit satu tiupan sudah membuatnya terkulai tak berdaya. 

Firman palsu menidurkan Sulastri diatas rerumputan. Raungan anjing hutan di kejauhan merobek kesunyian malam. Mengiringi sosok iblis yang melampiaskan hawa nafsunya.

Hawa dingin menusuk kulit menghujam tulang. Pria bejat itu mulai mengelus badan Sulastri, kemudian melucuti pakaian gadis itu. Calon pengantin itu hanya mampu melotot memandangi jemari kekar yang menjamah tubuhnya.

"Bagaimana, Manis, kamu suka?" tanya laki-laki itu di telinga Sulastri. 

Dengan rakusnya lelaki itu mencumbui Sulastri. Gadis itu menggeliat, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman iblis tersebut. Namun, tenaga lemahnya tidak cukup untuk mengenyahkan lelaki itu dari atas tubuhnya.

Sungguh biadab, menggagahi wanita yang tidak berdaya karena pengaruh ilmu hitam. Air mata menuruni wajah Sulastri.

"Tolong ...." Batinnya berkata karena mulutnya seolah-olah terkunci.

Setelah selesai dengan hasrat iblisnya, sebelum berlalu lelaki itu mendudukan Sulastri di batang pohon sawo di dekatnya. Baju pengantin itu kotor dan ternoda, lamban kain terlepas, rambut panjangnya sebagian menutupi wajah, sungguh mengenaskan.

                              *******

Di sisi desa yang lain, terlihat sekelompok pemuda bercanda-tawa sembari bermain kartu. Suguhan makanan dan kopi turut meramaikan suasana.

"Brrr ... dingin sekali malam ini, tak seperti biasanya," tutur seorang pria sambil memeluk tubuhnya sendiri. "Wisaka, nggak dingin kamu pakai kaus tipis begitu?" Dia menoleh kepada seorang pemuda dengan wajah cukup tampan.

Pemuda tersebut sedang menyeruput kopinya. Dia menurunkan gelasnya dan tersenyum. "Enggak, Kang Saep, biasa aja," jawabnya.

Kang Saep menggelengkan kepalanya. "Aneh banget kamu." Lalu, dia melirik pemuda lain yang duduk tak jauh dari pemuda bernama Wisaka itu. "Firman, kamu kedinginan nggak?"

Belum sempat Firman menjawab, Wisaka lebih dahulu berceletuk, "Dingin hari ini nggak masalah, yang penting mulai besok ada penghangat pribadi, kan?" godanya membuat para pemuda lain tertawa.

Firman mendengus, "Heh! Ngomong sembarangan, ya! Sulastri itu istriku, bukan penghangat pribadi!" balasnya seraya meninju ringan bahu sahabat kecilnya itu.

Wisaka tertawa, teman Firman sejak kecil itu manggut-manggut tanda setuju, kemudian dia menyeruput kopinya lagi. Wisaka, seorang pemuda kekar yang sekarang sedang mondok di pesantren, sengaja datang karena tahu sahabatnya mau menikah.

Firman menggeliatkan tubuh. Tanpa sengaja pria itu melihat satu sosok wanita di bawah pohon kersen samping rumah. Cahaya redup membuat mukanya tak jelas penampakannya, tapi dari bentuk tubuh sepertinya itu Sulastri. Ada apa Sulastri datang malam-malam, bukankah seharusnya tidak kemana-mana? 

Firman pamit kepada temannya, lalu dengan menyelinap berhasil menemui Sulastri. Dituntunnya Sulastri agak menjauh dari keramaian. Alam yang masih banyak pepohonan memudahkan Firman terlindung dari pandangan orang-orang.

"Ada apa?" tanya Firman kepada calon istrinya sambil mengajaknya duduk di atas sebatang kayu yang hampir lapuk.

Sulastri tidak menjawab, malah melingkarkan tangan seolah memancing keintiman. Firman heran, mengapa sikap Sulastri malam ini berubah? Selama dua tahun berpacaran mereka tak pernah melakukan hal-hal yang tidak senonoh.

"Aku tak sabar menunggu besok, Kang," kata kekasihnya itu.

Firman memandang wajah ayu kekasihnya yang terkena pantulan cahaya bulan, hasrat kelelakiannya timbul, karena keagresifan Sulastri. Kewarasannya seolah hilang, dia membalas cumbuan wanita itu. Tangan Firman mulai bergerilya menggerayangi Sulastri.

Sampai akhirnya ... Firman merasakan sesuatu yang janggal, tidak ada hambatan saat melakukannya. 

"Bukankah Sulastri sudah bersumpah, tidak akan ada lelaki yang menyentuh kecuali dirinya," batinnya. 

Diamatinya wanita itu sekali lagi, detik itu juga Firman tersadar, orang yang digaulinya bukanlah Sulastri. Wanita itu lebih tua dari tunangannya.

Firman mencoba untuk melepaskan diri, tapi wanita itu begitu ganasnya menggumuli Firman, menyuguhkan surga kepadanya. Firman terlena, tak ingat lagi Sulastri, tak ingat lagi tentang perkawinannya besok, otaknya hanya ingin meraih kepuasan saat itu. 

"Kakang ...  Kang," wanita itu lirih bergumam.

"Ya," Firman menjawab sambil melanjutkan aksinya.

Saat kepuasan mencapai puncaknya, wanita itu menggigit leher Firman, sedikit-sedikit darah calon pengantin itu tersedot. Firman meronta-ronta, tapi pelukan wanita itu bagaikan belitan ular pada mangsanya. Firman merasakan kesakitan yang amat sangat, dia menjerit, badannya roboh sesaat setelah terlepas dari pelukan wanita laknat itu.

Wisaka berlari ke arah sumber suara. Begitu matanya menangkap pemandangan mengerikan di bawah pohon itu, langkahnya berhenti dan tubuhnya membeku.

"Fir ... man?" gumam Wisaka dengan nada tak percaya.

Jasad Firman tidak mengenakan busana. Tak hanya itu, kulitnya yang mengering dan berubah hitam legam layaknya seseorang yang terbakar membuat tubuh Wisaka bergetar hebat.

Dengan tenaga yang tersisa dalam tubuhnya, Wisaka melangkahkan kakinya mendekati tubuh sahabatnya. Dia mencoba menyentuh tubuh Firman, tapi tak berani. Alhasil, tangannya hanya mengambang di atas tubuh sahabatnya itu.

Tak lama, derap langkah kaki para pemuda lain terdengar mendekat. Begitu mereka melihat jasad Firman, mereka terkesiap.

"A ... apa ini?!"