Bagian empat
Happy Reading !!!
***
Pukul sembilan malam, Rhea baru saja selesai dengan tugasnya dan kini Rhea sedang berada di dalam mobil menuju rumahnya. Namun kali ini bukan Trika atau pun sopir sahabatnya yang mengantar pulang, melainkan Xyan.
Bukan ingin Trika tak mengantar, tapi perempuan itu sudah tertidur sebelum tugas mereka selesai. Rhea yang tidak tega membangunkan sahabatnya memilih pulang sendiri dengan taksi online, tapi belum sempat mendapatkan driver, Xyan lebih dulu menghampirinya dan berkata akan mengantar. Awalnya Rhea hendak menolak, tapi tak cukup memiliki keberanian, sampai akhirnya Rhea mengangguk saja dan berakhir di dalam mobil Xyan. Duduk gugup di samping pria matang itu.
Sudah setengah perjalanan, tapi tidak juga ada obrolan diantara mereka. Xyan sibuk dengan kemudinya, sedangkan Rhea tidak memiliki keberanian untuk membuka suara. Ia begitu mati gaya di depan Xyan.
Selama ini ia memang bukan sosok yang pandai mencairkan suasana, tapi juga tidak begitu suka dengan suasana sunyi seperti ini. Tapi karena bersama Xyan, Rhea memilih tetap bungkam dan menatap jalanan lewat jendela samping. Walau sebenarnya Rhea ingin menatap sosok ayah sahabatnya yang begitu menggoda imannya.
Andai terlahir sebagai perempuan agresif, Rhea pastikan bahwa sejak awal ia sudah menubrukkan diri pada dada bidang Xyan yang terlihat menggiurkan itu. Tapi sayangnya, Rhea hanyalah perempuan pemalu yang memiliki otak liar dengan keberanian nyaris tak ada. Diam menjadi pilihannya pada akhirnya.
“Rumah kamu dimana?” Rhea mengerjap mendapatkan tanya itu, lalu menoleh ke arah Xyan, menatap laki-laki itu dengan sorot ling-lung. Sampai akhirnya Xyan mengulang pertanyaannya yang membuat Rhea meringis kecil seraya merutuki diri dalam hati. Namun setelahnya Rhea menyebutkan alamat rumahnya. Dan keadaan kembali sunyi, hingga mobil yang Xyan kendarai tiba di depan gerbang rumah minimalis dua tingkat milik ibu Rhea.
“Terima kasih sudah mengantarkan saya, Om,” sesantun mungkin Rhea berterima kasih walau dengan degup gugup. Lalu membuka sabuk pengamannya dan berniat turun dari mobil Xyan, namun gerakannya yang akan membuka pintu terhenti oleh cekalan Xyan.
Rhea kembali menoleh, menatap Xyan dengan kening mengerut. Namun bukan jawaban yang Rhea dapatkan atas kebingungannya, melainkan sebuah ciuman lembut yang berhasil membuat tubuhnya tegang dengan mata membulat sempurna. Tapi akibat tatapan lembut Xyan dan lumatannya yang memabukkan Rhea di buat terpejam, meski ketegangan tak sepenuhnya menghilang.
Tidak ada balasan yang Rhea berikan untuk ciuman Xyan. Namun tidak juga ada berontakan yang dilakukan. Rhea diam, menikmati usapan hangat bibir lembut Xyan di bibirnya, hingga gerakan itu terhenti dan Xyan sedikit menjauhkan wajahnya, menatap Rhea tak lagi datar seperti sebelum-sebelumnya.
“Menjadi sugar baby-ku, mau?”
***
Sampai sekarang Rhea masih tidak dapat mempercayai apa yang semalam terjadi. Mulai dari Xyan yang mengantarnya pulang, ciuman yang terjadi begitu saja, dan kalimatnya yang tak pernah Rhea sangka. Menjadi sugar baby tidak pernah ada dalam bayangannya selama ini. Tapi tawaran Xyan semalam terasa menggiurkan. Bukan karena pria itu mengatakan akan memberikan apa pun yang diinginkannya, tapi karena gejolak rasa yang sejak awal ada.
Rhea akui bahwa dirinya juga tengah kebingungan mencari biaya untuk kuliahnya, dan tawaran Xyan semalam cukup menguntungkan, karena dengan begitu ia tak perlu bekerja demi untuk mendapatkan uang. Tapi bagaimana dengan Trika jika sahabatnya tahu Rhea memiliki hubungan itu dengan ayahnya?
Rhea tidak ingin Trika kecewa. Hanya perempuan itu yang menjadi sahabatnya selama ini. Hanya Trika yang baik terhadapnya sejak kedatangannya ke kampus ini dua tahun lalu. di kota ini, Trika tidak memiliki teman sama sekali. Ia dan keluarganya hanya pendatang yang berusaha mencari peruntungan. Dan Rhea bersyukur ketika bertemu dengan Trika. Tapi bagaimana jadinya jika suatu saat sahabatnya tahu mengenai dirinya dengan ayah gadis itu. Ya, meskipun Rhea belum memberi jawabannya semalam, dalam hati Rhea sudah memutuskan untuk menerima. Namun masih sedikit ragu.
“Masih mikirin soal biaya sekolah lo?” tegur Trika yang sejak tadi memperhatikan sahabatnya melamun. Dan Rhea memilih mengangguk saja, karena tak memiliki alasan lain. “Kalau memang lo gak bisa terima pemberian gue, gimana kalau gue kasih pinjam aja? Lo bisa kapan aja ngembaliinnya. Gimana?” tawarnya, benar-benar berniat membantu. “Lagi pula dengan kerja lo gak akan dapat uangnya langsung. Lo perlu nunggu gajian dulu,”
Itu memang benar, dan Rhea sempat memikirkan itu beberapa hari ini. Ulangan semester akan berlangsung satu bulan lagi, waktunya tidak akan cukup untuk Rhea mengumpulkan uang itu. Dengan berat hati, akhirnya ia memilih menerima tawaran Trika. Dengan janji akan segera mengembalikan uang sahabatnya itu.
Hari ini mereka hanya memiliki satu mata kuliah dan itu selesai pukul sebelas siang, yang mana siang ini mereka tidak lagi memiliki kegiatan lain. Trika memutuskan untuk mengajak Rhea ke café, nongkrong sekaligus makan siang. Tapi Rhea lebih memilih membawa sahabatnya itu ke restoran milik ibunya agar ia pun bisa membantu wanita paruh baya yang sudah melahirkannya ke dunia dua puluh tahun lalu. Dan beruntung Trika tidak keberatan, bahkan sahabatnya itu tak segan ikut membantu, melayani pelanggan yang datang demi mengisi perut mereka, mengingat ini sudah masuk jam makan siang.
Restoran yang belakangan terlihat sepi, kini mulai kembali ramai, dan itu membuat Diana -ibu Rhea- tersenyum bahagia. Begitu pula dengan Rhea. Dan kini Rhea mulai berpikir bahwa membantu ibunya di restoran lebih baik dari pada mencari pekerjaan lain. Dengan begitu ia bisa mengurangi pengeluaran sang ibu, dan meringankan beban wanita paruh baya itu.
“Istirahat dulu, Ka,” titah Rhea pada sahabatnya yang ikut sibuk akibat banyaknya pelanggan yang datang. Niat hati ingin nongkrong dan makan siang malah berubah menjadi kerja. Namun tak sama sekali Trika terlihat mengeluh. Membuat Rhea berterima kasih atas bantuan sahabatnya itu.
“Pesan apa aja, Ka. Mama bilang gratis untuk lo hari ini,” Rhea menyampaikan apa yang ibunya katakan beberapa menit lalu, dan itu membuat Trika berseru kegirangan.
Tanpa malu-malu Trika langsung membuka buku menu dan memanggil salah satu waiters untuk mencatat pesanannya. Rhea hanya geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu, dan memilih memainkan ponselnya, hingga satu pesan dari nomor tanpa nama yang masuk beberapa menit lalu menarik perhatiannya. Dan sontak, degup jantungnya kembali tak stabil begitu kalimat di dalam pesan tersebut sepenuhnya dapat dirinya baca dan ketahui siapa pengirimnya.
Kamu sudah memikirkan tawaran saya semalam? Jika sudah mendapatkan jawabannya, saya tunggu di apartemen XX.
Xyan.
Tak memberi jawaban, Rhea langsung meletakan ponselnya ke atas meja, lalu menikmati makanannya yang baru saja datang. Memikirkan apa yang akan dirinya lakukan setelah membaca pesan itu. Rhea ragu sekaligus malu untuk datang, namun enggan menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali bertemu dengan sosok tampan Xyan. Tapi apa yang harus dirinya katakan kepada Trika? Apa juga alasan yang akan dirinya berikan pada sang mama untuk keluar. Ini memang masih siang, tapi Rhea tak yakin bisa pergi sekarang. Dan tak yakin Xyan berada di tempat itu sekarang mengingat ini masih begitu siang dan kemungkinan besar Xyan masih berada di kantornya. Tapi laki-laki itu tidak mengatakan ia harus datang pukul berapa. Jadi, baiknya kapan Rhea pergi?
*
Mematut diri di depan cermin untuk yang kesekian kalinya, Rhea akhirnya menghembuskan napas dan memutuskan untuk pergi dengan penampilan seadanya. Tidak juga sebenarnya, karena jelas Rhea sempat memoles wajahnya dengan make up yang dimiliki, Rhea juga sempat kebingungan memilih pakaian. Sampai akhirnya pilihannya jatuh pada dress sederhana berbahan sifon tanpa lengan yang Rhea padukan dengan blazer jeans.
Pukul empat sore, Trika memutuskan untuk pulang, dan Rhea pun langsung izin kepada ibunya dengan alasan ke rumah Trika. Beruntung tadi ibunya sedang memiliki tamu, hingga Trika hanya pamit seadanya dan Rhea tak mendapat pertanyaan lebih. Saking seringnya menemani Trika, ibunya sudah begitu percaya. Sayang, kepercayaan itu malah justru Rhea dustai.
Menyampirkan lebih dulu rasa bersalahnya, Rhea turun dari kamarnya. Rumahnya sepi saat ini karena adik lelakinya pamit menginap di rumah teman. Dan itu artinya Rhea bisa pergi dengan mudah. Ibunya masih di restoran, dan biasanya akan pulang pukul sepuluh malam. Kadang memilih tidur di sana saat pekerjaannya banyak, karena pulang ke rumah hanya akan menambah rasa lelah mengingat jarak restoran cukup jauh dengan rumahnya.
Lima menit menunggu, taksi online yang Rhea pesan tiba di depan pagar rumahnya, siap mengantar Rhea ke alamat tujuan. Dan sepanjang perjalanan, Rhea sibuk dengan pikirannya. Mengenai apa yang harus dilakukannya di sana nanti, dan jawaban apa yang harus dirinya beri. Sampai Rhea tak menyadari bahwa taksi yang membawanya berhenti di depan lobi gedung apartemen mewah itu.
Beberapa saat, Rhea diliputi rasa ragu. Tapi tetap memutuskan untuk masuk dan menanyakan letak unit Xyan. Seperti memang tahu akan kedatangannya, Xyan sudah menitip pesan pada resepsionis untuk membiarkan Rhea naik ke lantai paling atas, di mana unit Xyan berada. Rhea sempat tercengang dengan kenyataan itu, tapi kemudian tak merasa heran karena memang pada dasarnya Xyan adalah pria kaya. Pria itu bisa membeli apa pun dengan uangnya, termasuk apartemen paling mewah di gedung bertingkat tiga puluh lantai ini.
Seumur hidup, ini hal tergila yang Rhea lakukan. Dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. entah dirinya menyesali, atau justru menyukainya. Yang jelas sekarang tidak ada lagi kesempatan untuknya mundur, sebab kini Rhea bahkan sudah berhadapan dengan Xyan yang baru saja membukakan pintu setelah dua kali Rhea membunyikan bel.
“Saya tidak menyangka kamu benar-benar akan datang, Rhea Adisty,” ucapnya menyambut. Lalu mempersilahkan Rhea untuk masuk. Dan kini bukan kegugupan yang Rhea rasa, melainkan rasa kagum akan kemewahan hunian yang ada di puncak gedung pencakar langit ini. Apartemen dengan tipe penthouse ini benar-benar menakjubkan, sama mewahnya dengan rumah Trika yang sering Rhea kunjungi. Namun apartemen itu terasa lebih nyaman ditinggali.
Xyan yang seolah tahu keinginan Rhea untuk menjelajah mengajak gadis itu berkeliling, dan mengenalkan setiap ruangan yang ada, sampai akhirnya mereka sampai di balkon yang menampilkan pemandangan malam yang tak kalah luar biasa untuk Rhea yang baru pertama kali melihatnya dari ketinggian seperti ini. Membuat Rhea tak hentinya berdecak kagum. Sampai kemudian dikejutkan dengan tangan yang menyelusup dan melingkar di pinggangnya.
“Saya menunggu kamu dari siang tadi,” katanya setelah menyimpan dagu di pundak Rhea yang masih menegang. Namun seolah tak peduli, Xyan tetap membiarkan posisinya. Sejak kemarin ia sudah membayangkan hal ini, dan Xyan rasanya hampir gila ketika siang tadi tak juga mendapati kehadiran gadis itu. Xyan berpikir bahwa Rhea menolaknya. Tak menyangka bahwa ternyata gadis itu datang juga.
***
See you next chap !!!
