Bagian Enam
Happy Reading !!!
***
“Oke, Ka. Sampai ketemu di kampus,” Rhea menutup panggilan teleponnya, lalu memasukan benda pipih itu ke dalam tasnya dan Rhea siap untuk berangkat. Di lantai satu rumahnya, Rhea mendapati ibu dan adiknya duduk di meja makan, menikmati sarapan yang selalu Diana siapkan untuk anak-anaknya.
“Selamat pagi, Ma,” Rhea menyapa seperti biasa, meninggalkan kecupan di pipi wanita kesayangannya itu. Di lanjut mengecup pipi adik lelakinya yang masih duduk di bangku SMA kelas dua. Setelah itu barulah Rhea mengambil duduk di samping Ryan -adiknya- dan menikmati sarapan mereka dengan diselingi obrolan seputar kegiatan mereka masing-masing.
Lima tahun hanya hidup bertiga tanpa sosok kepala keluarga, mereka masih dapat melaluinya dengan baik, meski luka di masing-masing hati tidak dapat diobati sepenuhnya. Namun baik Rhea mau pun Ryan bersyukur mereka masih memiliki satu sama lain. Memiliki ibu yang terus berjuang menghidupi mereka, menyayangi, dan juga melindungi. Di tengah kesibukan dan rasa lelahnya, Diana masih menyempatkan diri ada untuk anak-anaknya. Dan waktu sarapan seperti ini tidak pernah mereka sia-siakan. Karena sadar bahwa hanya di waktu inilah mereka bisa berkumpul. Beruntung Ryan paham keadaan keluarganya, hingga remaja lelaki itu tak menuntut banyak hal. Cukup dengan seperti ini, berkumpul dan bisa berbagi cerita. Kebersamaan yang tak lama tapi cukup berarti untuk mereka.
“Bareng gue gak, Sis?” tanya Ryan saat mereka sama-sama keluar dari rumah setelah menyelesaikan sarapannya.
“Gak deh, lo telat nanti kalau nganter gue dulu,” tolak Rhea sedetik setelah melirik jam di pergelangan tangannya.
“Oke deh, kalau gitu gue duluan, ya,” ucapnya seraya mengecup pipi Rhea seperti biasa, lalu menyalami tangan ibunya dan juga mencium kedua pipi orang tua tunggalnya itu. Barulah setelah itu Ryan berangkat. Meninggalkan Rhea dan Diana yang masih berada di teras rumah.
“Kamu di jemput Trika, Re?” karena biasanya memang begitu. Diana sudah terlampau sering mendapati kedatangan sahabat putrinya.
“Enggak, Ma. Hari ini Trika gak ada kelas pagi. Jadi nanti kita ketemu di kampus aja,”
Tak banyak bertanya, Diana hanya mengangguk paham. “Mama anterin kalau gitu, yuk?”
Namun cepat-cepat Rhea menggelengkan kepalanya, sedikit panik, tapi berusaha kuat untuk tak berlebihan, karena bisa-bisa ibunya itu curiga. “Rhea udah pesan taksi,” ucapnya seraya menunjukkan aplikasi taksi online kepada ibunya. “Mama langsung ke restoran aja. Lagi pula kampus Rhea berlawanan arah sama restoran Mama.” itu memang benar, dan Rhea tak ingin ibunya kelelahan.
“Bulan depan Mama janji beliin kamu kendaraan untuk kamu gunakan ke kampus,” kata Diana yang merasa tak tega membiarkan putrinya pulang pergi harus dengan angkutan umum. Terlebih jika anaknya itu harus pulang malam. Sebagai ibu Diana khawatir.
“Jangan, Ma,” tolak Rhea tak setuju. “Rhea bisa naik ojek atau taksi. Lagi pula Rhea juga lebih sering di antar jemput Trika. Uangnya lebih baik mama tabung aja untuk biaya kuliah Ryan.”
“Ta—”
“Rhea gak terlalu suka berkendara, Ma,” selanya cepat seraya mengulas senyum lembut. “Taksi Rhea udah sampai. Rhea berangkat duluan gak apa-apa?” melirik taksi yang berhenti di depan pagar rumahnya sejenak, Rhea kemudian menoleh kembali pada wanita paruh baya kesayangannya itu. Memeluk singkat sang ibu, Rhea tak lupa mengecup pipi Diana sebelum kemudian berlalu dengan taksinya dengan tujuan apartemen Xyan. Sesuai pinta laki-laki itu yang menginginkannya datang pagi ini.
Cukup lama Rhea menempuh perjalanannya karena macet yang tidak bisa di hindari. Tapi akhirnya Rhea tiba juga di tempat tujuan, berdiri di depan pintu apartemen Xyan dengan perasaan bimbang. Rhea bingung harus menekan bel atau justru langsung masuk menggunakan kartu yang semalam Xyan berikan.
Lama berpikir, Rhea akhirnya memutuskan untuk menekan bel dan menunggu Xyan membukakan pintu. Tapi sudah lima menit menunggu Rhea tak juga mendapati pintu di depannya terbuka. Sampai akhirnya Rhea memilih menggunakan kartu akses itu.
Keadaan di dalam begitu sepi, tidak sama sekali ada tanda-tanda penghuni. Membuat Rhea terus melangkah dan mengecek setiap sudut rumah demi mencari Xyan. Tapi sama sekali Rhea tidak menemukannya, dan berakhir memilih duduk di ruang televisi, menonton film sambil menunggu kedatangan Xyan yang bisa saja masih berada di rumahnya, mengingat laki-laki itu memiliki Trika sebagai anaknya. Ya, meskipun Trika bukan lagi balita, tetap saja Trika anak yang butuh perhatian orang tuanya. Dan Rhea memahami itu.
Larut dalam tontonannya, Rhea sampai tak sadar kehadiran sosok yang di tunggunya, hingga membuatnya tersentak begitu Xyan menghampiri dan langsung memeluknya, membuat Rhea terjatuh berbaring di atas sofa dengan posisi Xyan yang ada di atasnya.
“Sudah lama?” tanya Xyan sedikit berbisik.
“Lumayan,” berusaha bangkit dari posisinya, Rhea cukup kesulitan mengingat postur tubuhnya jelas kalah dengan Xyan. Namun membiarkan posisi ini pun jelas tidak bisa. Ini berbahaya untuk dirinya yang lemah. Namun sepertinya Xyan tak menginginkan itu, karena bukannya melepas, Xyan malah justru semakin mengeratkan pelukannya, menyembunyikan tubuh Rhea di bawah tubuhnya.
“Daddy, berat.” Kembali berusaha mendorong, Rhea akhirnya bisa menghela lega saat Xyan memilih untuk bangkit dan mengembalikan Rhea pada posisi sebelumnya. Namun sial karena ternyata itu tidak berlangsung lama sebab selanjutnya Xyan malah justru mengangkat tubuh Rhea duduk di pangkuannya, kembali melingkarkan tangan di pinggang ramping Rhea.
“Cantik,” pujinya, membuat wajah Rhea seketika memerah, dan langsung memalingkan wajah demi menyembunyikan itu, meskipun sudah amat terlambat, karena jelas Xyan sudah lebih dulu melihatnya. “Tadi Trika cerita. Tidak, lebih tepatnya izin. Dia bilang mau meminjamkan kamu uang untuk membayar kuliah. Benar?” tanya Xyan, seraya mengarahkan wajah gadis di depannya agar membalas tatapannya.
Dan tak bisa berbohong, Rhea memilih mengangguk walau dalam hati merutuki sahabatnya itu. “Tadinya aku minta Trika bantu aku cari kerja. Tapi dia malah mengusulkan itu,” ucapnya mendesah pelan. Rhea tak berniat bercerita awalnya. Tapi sudah terlanjur. Gara-gara Trika, ia terpaksa harus mengatakannya. “Aku gak tahu kalau Papa menyetop biaya kuliahku. Baru beberapa hari ini, dan beruntung aku memiliki tabungan hingga bisa menutupi sebagiannya. Sebenarnya aku bisa minta Mama untuk sisanya. Tapi—”
“Jangan di lanjutkan. Aku sudah mendengar dari Trika tadi,” potong Xyan cepat. “Lalu kenapa tidak meminta padaku?” lanjutnya kemudian. Membuat Rhea sontak mengangkat kepalanya, menatap Xyan dengan pandangan yang sulit di artikan.
“Aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan, baby. Termasuk melunasi biaya kuliahmu.”
“Ta—”
“Mulai saat ini kamu tidak perlu khawatir. Semua biayamu akan aku tanggung hingga kamu dinyatakan lulus. Dan jangan sungkan untuk mengatakan apa yang kamu inginkan. Aku akan memberikannya untukmu. Tapi kamu tahu bukan bahwa semua itu tidak gratis?”
Rhea tahu. Dan Rhea sadar bahwa untuk semua ini ada hal yang harus di korbankan. Meski terkesan lugu, Rhea tidak sebodoh itu. Ia tahu bayaran apa yang Xyan inginkan.
“Kamu cukup berada di sampingku kapan pun aku membutuhkan kamu. Menemaniku, dan … menyenangkanku,” bisik Xyan di akhir kalimatnya. Membuat Rhea sontak merinding, karena setelah membisikkan kata itu, Xyan langsung menjatuhkan kecupannya di telinga Rhea, lalu memberinya jilatan-jilatan kecil yang berangsur turun ke leher jenjangnya.
Cukup lama Xyan mengeksplor lehernya tanpa meninggalkan bekas, mencari titik sensitif Rhea di sekitar itu. Sampai kemudian tangan yang semula digunakan untuk menahan tengkuk dan pinggang Rhea kini bergerak pelan menyusuri punggung Rhea yang membuat gadis itu semakin melengkungkan tubuhnya, menghadirkan gesekan lembut antara dada Rhea dan Xyan yang masih lengkap dengan pakaian masing-masing.
“Kamu paham ‘kan, Rhe?” ucap Xyan di tengah kegiatannya. Dan Rhea hanya bisa mengangguk dengan raut wajah menahan sesuatu.
Xyan yang melihat itu hanya menarik senyumnya, lalu memagut bibir Rhea yang sejak tadi perempuan itu gigit, demi menahan diri. Namun kali ini, Xyan tidak akan membiarkan hal itu. Ia akan membuat Rhea melepaskannya.
Xyan tak berniat melakukannya sekarang, menurutnya masih banyak waktu untuk itu. Sekarang ia hanya ingin bermain-main lebih dulu, mengenali hasrat Rhea dan menemukan titik-titik sensitif perempuan itu. Lagi pula Xyan tahu bahwa Rhea pastilah belum siap untuk itu. Sentuhan-sentuhan seperti ini sudah cukup untuk sekarang.
“Sore nanti aku harus ke Thiongkok. Ada pekerjaan untuk beberapa hari. Aku membebaskan kamu datang ke sini. Tapi jangan pernah ajak siapa pun termasuk Trika. Tempat ini khusus untuk kita berdua. Kamu mengerti?” Rhea kembali mengangguk. Karena merasa tidak ada lagi jawaban selain itu. Lagi pula Rhea terlalu kalut dengan sentuhan-sentuhan Xyan di tubuhnya. Meskipun masih terhalang pakaian, sentuhan itu begitu terasa di tubuhnya. Xyan benar-benar pandai membangkitkan gairahnya. Dan kini Rhea merasa pening, terlebih ketika Xyan meremas kedua dadanya cukup kuat, sukses membuat lenguhan Rhea meluncur setelah sejak tadi selalu di tahannya.
“Kamu benar-benar terlihat seksi jika seperti ini, Rhe. Raut wajahmu begitu menggairahkan,” bisik Xyan sebelum kembali menyambar bibir Rhea dan melumatnya rakus. Xyan tak lagi bisa menahan diri, dan Xyan butuh mencium Rhea untuk melampiaskannya.
Cukup banyak waktu yang mereka habiskan, hingga akhirnya Rhea harus pergi karena jam kuliahnya menunggu, belum lagi Trika yang terus menghubungi dan menanyakan keberadaannya. Membuat Xyan dengan berat hati harus melepaskan gadisnya, dan mengantarkan Rhea ke kampusnya.
***
To be continue ...
