Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Waitsfield

Bab 2 Waitsfield

Ford Fiesta berwarna hitam yang dikendarai Edmund berhenti di depan sebuah gedung minimarket—yang lebih terlihat seperti toko kelontong biasa—dengan warna turangganya yang mulai memudar. Sejenak kukira minimarket itu sudah tidak beroperasi, sampai aku melihat seorang wanita yang sedang mengunyah permen karet keluar dari bangunan itu dengan membawa kantong kertas dalam dekapannya.

“Inikah Waitsfield?” Aku menyingkirkan helaian rambut yang menutupi sebagian wajahku.

Edmund mengernyitkan dahi. “Ini minimarket.” Ia menunjuk kata W-MART berwarna hijau usang yang terpampang besar di atas bangunan beratap datar itu. Huruf-huruf yang berderet itu terlihat menyebalkan.

“Jadi kita belum sampai?” tanyaku lagi.

“Hampir. Kurasa aku butuh sekaleng bir. Kau butuh sesuatu?”

“Air mineral, Hershey’s, dan macaron untukku, dan bukan bir untukmu,” jawabku menginginkan Hershey’s alias snack coklat khas Amerika.

“Tapi aku mau bir. Dan aku tidak yakin kalau mereka memiliki macaron.”

Aku mengangkat bahuku. “Tidak masalah jika tidak ada macaron, tapi aku tidak mau menambah resiko kecelakaan. Dan aku tidak mau mencium bau alkohol di dalam mobil saat aku masih belum bisa menghilangkan nyeri di kepalaku.”

“Kalau begitu air mineral, Hershey’s, macaroon—jika ada, bir untuk sesampainya di Waitsfield, dan aspirin. Oh, dan kau, sayangku, tunggu saja di sini.”

Aku tergelak sinis. “Aku sudah punya obat sakit kepala, meski aku tidak yakin kalau itu aspirin.”

“Aku akan tetap membelinya.”

Aku menelengkan kepalaku tanpa berkata apa-apa lagi. Saat itu pula Ed tersenyum dan pergi memasuki W-MART—atau apalah itu.

Tidak ada kesan lain tentang daerah yang saat ini kusinggahi selain sejuk dan sunyi, bahkan di penghujung musim semi dengan hawa panas yang kian menguasai udara. Benar-benar kota kecil yang tenang, dan memang ini yang kuinginkan. Tetapi, entah kenapa aku merasa ada yang aneh. Udara dingin yang kurasakan terasa berbeda. Begitu menusuk. Pepohonan yang menyelangi deretan bangunan kecil di sepanjang jalan pun terlihat misterius. Teduh dan rimbunnya daun pepohonan seolah menyembunyikan sesuatu.

Aku merasakan suatu firasat buruk. Kuharap itu hanya perasaanku saja.

“Maaf membuatmu menunggu.”

Aku terhenyak saat mendengar suara Edmund yang nyaring. Sesaat Edmund terdiam, hingga pada akhirnya ia terkekeh kecil melihatku yang terkejut karena suaranya yang menyebalkan.

Edmund masuk ke dalam mobil. Dengan riangnya ia kembali menyalakan mesin dan mengambil alih kemudi. “Kau siap?”

Senyuman tipis tergurat di bibirku, dan aku pun mengangguk. Mobil kembali berjalan saat Ed mengoper gigi dan menginjak pedal gasnya dengan perlahan. Perjalanan menuju Waitsfield pun dimulai kembali.

Waitsfield adalah sebuah kota yang terletak di lembah Mad River, di antara pegunungan Green dan pegunungan Northfield di negara bagian Vermount. Karenanya, kota ini memiliki udara yang sejuk dengan pemandangan berwarna hijau yang indah. Tidak ada bunyi bising yang memekakkan telinga dan polusi udara yang membuat asmaku kambuh seperti di NYC. Bahkan langit biru yang menaungi kota ini terlihat begitu jernih, tidak seperti di kota-kota besar yang sudah tercemar oleh segala macam polutan. Sekarang aku mengerti kenapa Edmund mengajakku berlibur ke sini.

Hampir tidak ada gedung yang tinggi selain menara lonceng sebuah gereja bercat putih yang tingginya hanya beberapa kaki lebih tinggi dari pohon ek yang berdiri di sampingnya. Terdapat barisan bangunan berwarna senada dengan atapnya yang kelabu, berderet rapi dengan diselingi pohon berdaun rindang yang mengisi setiap ruang kosong di semua sudut kota. Semua tampak begitu seragam, melebur satu sama lain di atas bentangan muka tanah yang hampir setiap jengkalnya ditutupi oleh hijau rumput yang tampak begitu segar.

Edmund dan aku melangkah keluar dari mobil. Koperku terasa begitu ringan saat aku menariknya keluar dari dalam mobil menuju sebuah hostel kecil yang kami jumpai. Udara di sini terasa begitu sejuk. Rasanya saluran pernafasanku telah terbersihkan dari berbagai kotoran yang sudah sejak lama mencemarinya. Mungkin karena itu juga aku bisa menarik koperku dengan mudah—dan ringan.

“Biar aku saja.” Edmund merebut gagang koperku, lalu berjalan mendahuluiku menuju meja resepsionis setelah melontarkan sebuah senyuman menggodanya yang khas. Lelaki jangkung yang urakan itu selalu saja membuatku merasa senang dengan cara yang sederhana. Mungkin karena itu pula yang membuatku jatuh cinta padanya.

“Selamat datang, tuan dan nona. Ada yang bisa saya bantu?” Wanita Negroid yang berdiri di belakang meja resepsionis menyambut kami dengan hangat. Senyuman manis yang memperlihatkan deretan giginya yang putih membuat Edmund terpaku untuk beberapa saat. Aku tahu apa yang dipikirkannya, karena aku pun berpikir demikian. Wanita bertubuh semampai itu terlihat cantik dengan setelan santainya—kaus putih dan kemeja katun berwarna aprikot yang tidak dikancingkan—meski kelopak matanya terkesan agak malas.

“Tolong dua kamar single untuk dua malam,” pintaku pada sang resepsionis.

“Ah, iya. Dua kamar.” Edmund mengulang. “Tunggu dulu! Dua?”

“Ya. Dua,” ulangku pada Edmund yang memelototiku.

“Kenapa dua? Bukankah satu saja cukup?” protes Edmund dengan alis yang bertaut bingung.

Aku menelengkan kepalaku, menatap Edmund gelisah. “Ed, aku tidak mau ada resiko. Aku tahu tabiatmu yang terkesan… nakal.”

Edmund melongo dengan dahi yang berkerut seperti orang bodoh, sementara si resepsionis berkulit gelap itu mencoba untuk menahan tawanya yang nyaris meledak. Keduanya membuatku menekuk alis. Semburat kemerahan kini menjalar ke seluruh permukaan wajahku.

“Nona, aku rasa wajar saja jika pasangan muda-mudi seperti kalian menghabiskan satu malam bersama dalam satu kamar. Rata-rata setiap pasangan yang datang ke sini selalu seperti itu,” timpal resepsionis itu dengan nada yang riang.

“Masalahnya tidak sesederhana itu,” ketusku, membayangkan wajah kedua orang tuaku dengan wajah mereka yang tercengut. Setelahnya mereka pasti akan mendatangi kampus, menemui ketua prodi atau bagian kemahasiswaan, lalu bilang pada mereka kalau aku resign—atau yang terburuk mungkin mereka akan meminta pihak kampus untuk mengeluarkanku. Tindakan busuk sekecil apapun tidak akan dimaafkan oleh orang tuaku, terutama Mama. Jika aku ketahuan pergi ke Waitsfield bersama pacarku untuk berlibur—dan tidur bersama—habislah aku, meski aku tak ada rencana untuk membongkar semuanya. Ya, ini hanya masalah kecemasanku, dan kurasa itu sangat rumit.

Aku merogoh saku jaketku dan meraih beberapa lembar uang pecahan seratus dolar. Aku pun menaruhnya di atas meja resepsionis dengan diiringi sedikit hentakan yang berasal dari telapak tangan dan permukaan meja yang saling beradu. “Dua kamar single untuk dua malam.”

Resepsionis itu memandangi uang di atas meja, lalu beralih memandangiku. Ia pun melepas emosinya yang tertahan dan merubahnya menjadi sebuah senyuman miring yang terkesan satiris. “Um… Nona, biaya per malamnya hanya enam puluh dolar.”

“Ba… baiklah.” Aku meraup kembali beberapa lembar uang yang tergeletak di atas meja dan hanya menyisakan selembar uang seratus dolar dan selembar lagi uang pecahan lima puluh dolar. “Ini untuk kamarku. Dia akan membayar kamarnya sendiri.”

Resepsionis itu mengangkat bahunya, lalu meraih sebuah kunci dan memberikannya padaku. “Ini kunci kamarmu. Nikmati harimu.”

Kuterima kunci dengan gantungan pohon cemara dengan angka 22 di tengahnya, lalu berjalan menuju tangga yang terletak di sudut ruangan yang temaram, meninggalkan Edmund yang masih berhadapan dengan resepsionis itu.

“Pacarmu itu sungguh luar biasa,” ucap resepsionis itu pada Edmund.

“Ya, aku tahu,” timpal Edmund.

Aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk menimpali obrolan kedua orang yang kutinggalkan di meja resepsionis itu. Karenanya, aku lebih memilih untuk menggunakan sisa tenagaku untuk naik ke lantai atas dan mencapai kamarku yang—kuharap—bisa membawaku pergi ke alam mimpi, meski hanya sekejap.

TO BE CONTINUED

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel