Pustaka
Bahasa Indonesia

His Half

41.0K · Tamat
Nana RM
31
Bab
349
View
7.0
Rating

Ringkasan

Sagar putus asa ketika dokter menyatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Tetapi Tuhan memberi kesempatan pada Sagar. Dia akan sembuh jika Sagar berhasil merubah seseorang menjadi lebih baik.Dan pilihannya jatuh pada Rhea-cewek nakal yang suka ngerusuh di sekolah, sombong dan malas belajar. Sagar harus berusaha untuk membuat Rhea jadi anak baik."Oke, gue bakal berubah. Tapi dengan satu syarat ... Kita barter. Lo kalahin Feri dan gue perbaiki nilai gue."-Rhea"Deal. Aku bakalan kalahin Feri dan nerima resiko dia bakal mukulin aku. Tapi selama kita pacaran, aku harap kamu nggak pernah melibatkan perasaanmu!" -SagarLalu bagaimana jika dunia mereka terbalik? Rhea jadi anak baik dan Sagar jadi cowok nakal?

TeenfictionMetropolitanRomansaDokterRevengeSalah PahamKampusKeluargaMenyedihkanBaper

Bab 1

Pertama

(Sehari Setelah Bertemu Dia)

"Bolos lagi, Rhea?" Wanita dewasa dengan make up tebal bertanya dengan nada galak.

Rhea yang menjadi obyek kemarahannya hanya bisa mendecak dalam hati. Gesture tubuhnya benar-benar sangat tenang—seolah tidak memedulikan peraturan sekolah yang sudah dilanggarnya.

"Kamu dengar saya, Rhea?" bentak bu Dinar kesal.

Rhea mengangkat kepalanya, nyengir. "Tentu saja, bu. Suara ibu terlalu lembut buat dilewatin." Rhea menyahut asal, namun malah menimbulkan kemarahan bu Dinar.

Ditahannya amarah yang dirasakannya, menatap muridnya yang hampir setiap waktu selalu melanggar peraturan sekolah. "Saya akan memanggil orangtuamu untuk datang ke sekolah agar mereka tahu kelakuanmu seperti apa juga berharap agar mereka bisa membimbingmu secara intensif."

"Memangnya ibu pikir mereka akan datang?" Rhea terkekeh pelan, menghela napas panjang, punggungnya menyandar santai ke kursi sedangkan matanya menatap bu Dinar jenaka. "Meski ibu kirim seratus surat ke orangtua saya pun, percuma saja mereka nggak akan nanggapi apalagi itu tentang saya."

Bu Dinar diam sesaat, ucapan Rhea terlampau santai didengar untuk suatu hal yang seharusnya membuat orang-orang sedih atau setidaknya merasa kesal. "Setidaknya ibu sudah mencoba daripada tidak sama sekali. Ibu akan tetap menyuruh orangtuamu datang, dan kamu boleh pergi."

Rhea mengangguk-anggukan kepalanya, sama sekali tidak peduli jika orangtuanya mau datang atau tidak. Itu bukan urusannya, salahkan saja guru konselingnya ini yang memaksa untuk menyuruh mereka datang.

"Ya sudah, saya permisi."

Tatapan bu Dinar menajam. "Langsung masuk ke kelas! Jangan coba-coba untuk bolos."

Rhea nyengir lebar. "Yahh, ketahuan duluan! Iya deh, sehari ini saya janji nggak bakalan bolos. Permisi, bu."

Bu Dinar hampir saja melempar pulpennya andaikan saja Rhea tidak keburu menghilang dari ruangannya. Dasar anak satu itu, bandelnya minta ampun. Telat tiap hari, bolos mata pelajaran, rambut dicat warna-warni, benar-benar mencerminkan anak muda zaman sekarang yang semaunya sendiri.

Rhea menepati janjinya untuk tidak bolos sekolah, sepanjang hari dia mendekam di dalam kelas. Tentu saja bukan untuk belajar—akan jadi keajaiban jika Rhea mau belajar—melainkan tidur karena kemarin malam dia begadang demi main game di warnet dekat rumahnya. Guru-guru juga mengabaikannya—bukan karena acuh namun terlampau kesal juga bosan dengan kelakuan Rhea yang seenaknya. Cewek itu akan kesenangan jika mereka menyuruh Rhea keluar. Bukannya berpikir dan merenungi kesalahannya, Rhea malah nongkrong di kantin bersama anak lainnya.

Namun tidur Rhea harus terusik ketika telinganya menangkap suara cempreng milik sahabatnya yang berteriak heboh sambil menggoyangkan bahunya—menyuruh Rhea untuk bangun.

"Rhe, Rhe, bangun deh, bangun!" pekiknya seperti kesetanan.

Rhea menggeram kesal, dengan mata setengah terpejam dia memandang Sania. "Apaan sih, berisik banget!" katanya setengah menggumam.

Dengan seenaknya Sania kembali mengguncang tubuh Rhea—tadinya dia berniat untuk menyadarkan Rhea sepenuhnya namun malah membuat Rhea semakin pusing hampir saja muntah kalau Sania tidak segera menghentikan aksi gilanya.

"Ya Allah, San. Lo bar-bar banget sih, perut gue sakit," katanya kesal.

Sania hanya nyengir lebar. "Sori, habisnya lo susah dibanguninnya sih."

Rhea mencebik. "Terus kenapa lo bangunin gue? Lagi enak-enak tidur juga." Tadinya Rhea mau tidur lagi tapi Sania malah menampar pipinya cukup keras. Sontak saja dia kesal setengah mati. Ni anak maunya apa sih.

"Peace, jangan marah dulu dong," kata Sania buru-buru ketika Rhea melayangkan tatapan kesal padanya. "Tuh liat ke depan, ada KetOs."

Rhea mengangkat sebelah alisnya. KetOs? Apa hubungannya ketua OSIS dengan dirinya? Sania memang aneh. "Nggak penting. Gue mau tidur lagi."

"Eh, eh, lo hobi banget ya tidur. Sini deh." Dengan seenaknya Sania memegang wajah Rhea lalu mengarahkannya ke depan kelas, tempat di mana tiga cowok ganteng sedang berdiri dan bicara beberapa hal tentang festival seni yang selalu diselenggarakan setiap tahun untuk menyambut Ujian Nasional.

"Gue harap kalian semua mau berpartisipasi dalam acara ini. Gue percaya banget sama kemampuan kalian. Kalau mau lebih tau lagi kalian bisa tanya-tanya sama gue atau Farhan, dia panitia dari kelas ini—"

"Yon!" seru seseorang berteriak pada Leon.

Semua orang melihat ke arah pintu, di sana ada cowok sedang berjalan menuju Leon dan memberikan formulir. "Hani nyuruh gue ngasih ini ke elo."

Leon menerima formulir tersebut. "Lo nggak ikutan jadi panitia, Sagar?"

Cowok yang dipanggil Sagar hanya menaikan sebelah alisnya dan tersenyum kecil. "Nggak deh buat taun ini. Sibuk gue," sahutnya. Kemudian dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas yang juga sedang menatapnya. Sampai kemudian mata Sagar berhenti tepat di bangku yang diduduki oleh Rhea dan Sania.

Senyuman miring tercipta di bibir Sagar, dia berbalik menatap Leon sekilas. "Udah gitu aja. Gue pergi dulu, ya." Sagar melihat Rhea sekilas sebelum pergi ke luar kelas 3-2.

"Kalau lo berubah pikiran kasih tau gue aja!" kata Leon pada Sagar yang sudah hampir keluar kelas.

"YOII!!" balas Sagar berteriak kemudian benar-benar menghilang dari kelas.

Sontak semua orang menghela napas, sepertinya saat Sagar datang hampir semua cewek yang ada di kelas 3-2 menahan napas saking takjubnya. Kapan lagi mereka bisa lihat cowok keren kayak Sagar. Namun tidak untuk Rhea yang memutar bola matanya dengan malas, sama sekali tidak peduli dengan keadaan sekitar yang terlihat heboh.

"Sumpah demi apa? Tadi itu Sagar bukan sih? Gila! Ganteng banget," pekik Sania heboh. "Kok, gue nggak pernah liat dia ya."

Rhea hanya memutar bola mata. "Gue juga nggak tau kalau di sini ada yang namanya Sagar."

"Gitu banget sih, tapi tau nggak tadi Sagar senyum ke elo. Jangan bohong deh, lo kenal ya sama Sagar?"

"Gue? Kenal dia? Ketemu juga belum pernah."

"Tapi tadi kok dia senyum ke elo."

Rhea mengangkat bahunya. "Lagi khilaf mungkin dianya."

Sania mencebik kesal. Dia malah pergi ke belakang, ikut menggosipkan tentang Sagar yang baru mereka lihat. Biasanya cowok itu duduk manis di kelasnya tiap hari makanya tidak ada orang yang tahu tentangnya. Tetapi setelah mereka melihat tampangnya langsung, mereka terpesona begitu saja pada Sagar.

Rhea yang sudah tidak mood meneruskan tidurnya lebih memilih pulang saat bel berbunyi. Dia meninggalkan Sania begitu saja yang masih asik bergosip tentang cowok kelas 3-3 IPA, namun menyempatkan diri untuk mengirimkan pesan kalau dia pulang dahulu.

Dalam hati Rhea mendesah panjang, apa yang bisa dibanggakan dari seorang pria atau lelaki atau cowok. Apa karena mereka keren makanya para cewek bisa suka gitu saja. Apa karena mereka pintar menggombal makanya cewek-cewek langsung klepek-klepek. Hah, semua itu hanya omong kosong untuk Rhea yang sama sekali tidak peduli dengan makhluk berjenis pria. Baginya cowok itu di mana-mana: sama. Sama-sama menyebalkan, juga sama-sama monster. Hanya sedikit dari mereka yang benar-benar menyayangi pasangannya.

Andaikan saja ayahnya tidak seperti itu mungkin saja pandangan Rhea tidak akan seperti itu. Tidak akan terlalu membenci makhluk jenis pria. Tapi mau bagaimana lagi—

"RHEA, AWASS!" teriak seseorang, menyadarkan Rhea dari lamunannya.

Ketika Rhea mengangkat kepalanya, matanya langsung melotot kaget melihat kereta yang tengah melaju ke arahnya. Siap menabraknya. Kenapa dia tidak sadar kalau dia sudah berjalan di tengah rel kereta api?

Bukk

Rhea memejamkan matanya erat, dia yakin saat ini tubuhnya sudah hancur ditabrak kereta api. Dia benar-benar siap andaikan para malaikat yang selama ini mencatat segala amal perbuatannya beserta malaikat pencabut nyawa membawanya pergi ke akhirat. Rhea akan benar-benar sangat senang jika dia mati saat ini.

Lama Rhea menunggu, namun orang yang menjemputnya tak kunjung datang juga. Dia merasakan belakang kepalanya terasa hangat, ketika Rhea membuka matanya karena penasaran, semula dia melihat kerikil batu serta lengan yang memeluknya dari belakang.

Apa dia selamat?

Benar, Rhea masih hidup. Seseorang menyelamatkannya dari tabrakan kereta itu. Tapi siapa orang yang berani menyelamatkannya padahal kereta sudah sangat dekat dengannya. Buru-buru Rhea melihat ke belakang, terkejut melihat siapa orang yang sudah menolongnya.

"LO!!"

***