Pustaka
Bahasa Indonesia

Her Husband

31.0K · Tamat
Pororo90
30
Bab
14.0K
View
7.0
Rating

Ringkasan

Siapa sih suaminya? Kok diumpetin meluluKatanya lagi di luar negri ya?Mereka nikah sejak lulus SMAAstaga?Kok belum punya anak sih?Udah tauk. Anaknya udah ABG.Hanjir?!Pasti suaminya tajir melintir.Bisa jadi kan, secara barang yang dipakai branded semua. Huhuhu.. envy!Eh, dia nikah sama sugar daddy ya? Hari gini kalau cowok seumuran pasti gak bakalan kaya lah.Hush... denger-denger sih nikah ama almamater kita juga.Eh, masa sih?!CEO ganteng, muda, billioner, pemilik perusahaan berbasis tekhnologi.

PresdirCinta Pada Pandangan PertamaBillionaireKeluargaDewasa

Prolog

Prolog

Hujan di pagi hari membuat mood Hinata memburuk. Tidak ada yang lebih mengesalkan dari cuaca awal musim semi yang tidak menentu semacam ini. Alih-alih membuat toast dan menggoreng telur kesukaan sang putra, Hinata malah menyeduh teh—tentu saja untuk dirinya sendiri, daripada kopi untuk suaminya atau susu hangat untuk anaknya. Karena Hinata yakin sekali, keduanya bahkan belum membuka mata.

Hinata dan hujan memang tidak pernah akur. Teringat kembali akan pertemuan dengan lelaki yang kini menjadi suaminya. Bukannya ia tak bersyukur karena hujanlah yang membawanya bertemu, tapi sesuatu yang menggenang dan lembab itu membuat risih.

Suara langkah kaki membuat Hinata menoleh dari pandangannya yang sedari tadi mengamati hujan dari pintu kaca transparan yang menampilkan pekarangan belakang rumah. Tanpa sadar membuat perempuan berumur tiga puluh enam tahun itu mencebik.

"Mom.." suara serak itu mengganggu pendengaran Hinata.

Tampaknya anaknya tidur sambil jalan, muka bantalnya membuat Hinata mengernyit. Piama dengan nama warna internasional; green sage kusut di semua bagian begitupula dengan jubah rajut warna coklatnya. Dan astaga! apa yang terjadi pada rambut kopi—hitam namun ketika terkena cahaya matahari akan berubah menjadi kecoklatan, yang terlihat begitu kumal dan berantakan. Hinata mendesah, "sudah berapa hari kau tidak mandi?!"

Mata anaknya masih terkatup, tapi jelas mulutnya lebih aktif dengan menjepit roti dengan tangan kanan yang sudah meraih susu hangat yang ada di tengah meja.

"Jun!" Seru Hinata.

Si anak mengerjap, mengerang dengan suara aneh yang teredam roti, terjaga sempurna. Tangan kanannya melepaskan gelas, membiarkan utuh gelas susu dan memutuskan mengambil roti yang bergelantungan di mulutnya, menaruhnya dengan benar di piring. "Aku mandi, kok." Katanya dengan cengiran yang membuat Hinata tambah kesal.

"Kau keramas?" Hinata maju untuk mengambil piring milik Jun, dan memasukkan dua lembar roti yang dilumurinya dengan mentega ke mesin toast.

Si anak menggaruk rambutnya yang sudah memanjang, "belum."

Hinata mendesah. Sudah kuduga, batinnya menjerit. "Rambutmu seperti guinea pig!"

"British bilang ini; Henry Styles, Mom!"

"Terus saja membantah!" Hinata menggeram. "Dan kau belum cuci tangan! Astaga! Apa yang diajarkan Dad-mu selama aku pergi?!"

"Eeung... Berhitung." Jun terdengar tidak yakin.

Hinata menepuk dahinya, "Kapan Dadmu normal?! Pasti tidak hanya itu. Aku tidak percaya!" Tuduhnya.

"Ekonomi." Tambah Jun nyengir.

Mata Hinata menyipit, "maksudku yang seperti itu." Koreksi anaknya.

"Kau mau bilang Dadmu mengajarimu berjudi begitu?!"

Si anak langsung melotot, "tentu saja tidak!"

"Makanya jawab yang benar!"

Si anak menarik napas. Masih enggan menjawab sementara perutnya keroncongan. Hinata berdecak, sebal menghadapi pemuda tanggung bernama Junichiro ini. Entah mengapa belakangan ini ia menjadi sangat sensitif, apalagi mengingat bahwa ia memang sudah telat.

Ya... Ya... Hamil di usia tiga puluh enam—menjelang tiga puluh tujuhlah yang membuatnya menjadi singa lapar. Ia tak mengantisipasi, atau lebih tepatnya kebobolan. Salahkan pria itu! Hinata mengerang.

Sejujurnya, setelah melahirkan Jun, ia tak berencana memiliki anak lagi. Karena ia sudah terlalu sibuk mengurus rumah, mengurusi Jun dan ayahnya Jun.

Kedua laki-laki itu senang sekali membuatnya repot, dan Hinata memang memiliki kecenderungan OCD, yang tidak suka semua benda berantakan, apalagi kotor. Bisa dipastikan kalau dua orang itu bisa dikatakan musuh besarnya.

"Aku heran kenapa Mom bisa bersama Dad."

Hinata mengernyit ketika anak lelakinya tiba-tiba ingin tahu. Biasanya si putra memang cenderung acuh dan jual mahal terhadapnya.

"Untuk apa bertanya?!" Tanpa sadar suara Hinata terdengar ketus.

Si anak justru terkekeh. Tapi kalau diingat-ingat kembali, Hinata ataupun ayahnya Jun memang tidak pernah menceritakan apapun pada anaknya, pula kepada orang lain. Bisa dibilang mereka memang tertutup mengenai kehidupan pribadinya. Bahkan, di akun IG milik Hinata, tidak ada gambar ayahnya Jun sama sekali.

"Apa Dad dan Mom dulu menikah karena, kecelakaan?!"

Mata Hinata melotot, astaga! Kenapa anaknya bisa berpikir demikian?!

Hinata bersiap dengan ledakan emosinya ketika terdengar bunyi mesin pemanggang roti yang berdenting. Menekan amarah dan justru mengambil dua lembar roti itu dan segera mengoleskan mentega ke dua lembar roti yang lain. Ia tahu, bahwa napsu makan anaknya memang oke. Tak akan menyisakan apapun yang dimasak olehnya. Tapi melihat anaknya yang kelaparan menerbitkan perasaan iba.

"Kami menikah delapan belas tahun yang lalu. Pikirlah sendiri." Ucap Hinata lembut.

"Ugh, dua tahun kemudian aku lahir, ya. Berarti ibu baru lulus SMA dong?"

Tanpa sadar Hinata tersenyum, "iya, dan ayahmu sedang menyusun skripsinya."

"Ah, jadi ayah kakak kelas ibu?"

Tawa Hinata berderai, "bisa dibilang begitu sih."

Suara mesin toast berdenting kembali. Lalu Hinata dengan sigap memindah roti yang telah dibakar sempurna itu ke piring kemudian berjalan ke meja makan dan menyerahkannya pada Jun.

Si anak menerima makanan itu bengan tatapan berbinar dengan segera mengoleskan selai berwarna merah itu ke lembaran roti.

"Tumben kau tidak pakai selai kacang?" Hinata takjub anaknya memilih selai strawberry yang kemarin baru dibelinya.

Si anak angkat bahu, ia memang tak masalah makan apapun. Mata Jun kembali menatap Hinata dengan isyarat permohonan untuk melanjutkan cerita. Tapi Hinata lebih suka mengamati hingga selesai anaknya sarapan.

"Apa Dad dulu terkenal Mom?" Ketika empat lembar roti yang berlumur selai itu sudah lenyap dari piring dan potongan terakhirnya sudah tertelan dalam mulut, Jun mengajukan pertanyaannya kembali.

Hinata mengalihkan tatapannya dari sang anak dan memilih mengamati cuaca yang berangsur menjadi lebih baik dari pintu kaca di dalam ruang makan. "Hm..." Hinata mencoba menggali ingatannya, "bisa dibilang ya dan tidak."

Si anak terkekeh, "Dad dulu pasti memiliki banyak fans."

"Pernyataan macam apa itu?!" Hinata segera menoleh kembali ke arah anaknya, "kau ingin bilang aku tidak pantas untuknya begitu?!"

"Tsk!" Si anak manyun, "aku melihat foto Mom waktu SMA, dan selera fashion Mom sangat payah!"

"Kau pikir selera Dadmu lebih baik dariku? Dia juga payah tahu!"

Si anak nyengir, "setidaknya Dad tidak mengancingkan seluruh kancing kemejanya hingga mencekik leher, Mom terlihat seperti nerd."

"Kau juga nerd!" Hinata mendengkus, melihat anaknya dari bawah ke atas sambil melipat tangan di dadanya. Menunjukkan kekuasaan sebagai ratu di rumah itu.

"Aku nerd yang berkualitas Mom! Semua barangku branded!"

Hinata tertawa kering, "ya ya... Setidaknya aku punya kawan sementara kau tidak!"

Jun berdecih, "setidaknya rekor Dad dalam berteman, lebih baik dari kita."

"Dadmu memang terkenal suka membantu temannya."

Si anak tersenyum miring, "termasuk menikahi Mom itu termasuk bantuan kan." Jun mengangkat sebelah alisnya menggoda sang ibu.

"Dasar anak kurang ajar!" Seru Hinata sambil melempar serbet yang ditangkap anaknya dengan kecepatan mengagumkan.

"Dad tidak jelek tapi jelas bukan orang yang bisa dideskripsikan sebagai lelaki tampan." Anak itu mulai berbicara, "Dad tidak suka dibilang tampan juga." Sambil mengendik Jun lantas mengambil gelas susunya dan meneguknya.

Setuju dengan sang anak. "Awalnya aku juga heran kenapa Dadmu memilihku. Padahal jaman itu, aku masih biasa saja."

"Itu karena Dad orang baik..."

Hinata mencebik, "kata siapa?"

Si anak ganti mencebik.

"Dari semua orang yang kukenal, Dad-mu lah yang paling licik."

***TerusBesokCapcusupdate***