Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Sisi Lain Era

Aksa menutup matanya sambil menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya. Langit yang gelap harusnya membuat penglihatannya akan ombak laut terbatas, tapi tidak untuk sekarang. Entah kenapa semua terlihat begitu jelas di matanya.

Aksa mengeratkan pelukannya pada wanita di hadapannya dan mulai tersadar. Dia tidak tahu siapa wanita yang dipeluknya. Aksa ingin melepaskan diri tapi dia tidak bisa. Tangannya seolah menempel erat dengan pinggang wanita itu.

"Makasih ya, Kak. Ini indah banget." Aksa mendengar suara wanita itu menggema.

Perlahan tubuh wanita itu berbalik dan membuat Aksa terkejut.

"Era?" panggil Aksa tidak percaya.

Era tampak anggun dengan gaun putih yang dipakainya. Rambut panjang yang teruai tampak beterbangan diterpa angin. Di bawah cahaya matahari, Era terlihat cantik dan berbeda dari pandangannya selama ini. Dia tidak melihat Era yang ceroboh dan minim akhlak seperti biasanya.

Aksa masih terpaku sampai perlahan wajah Era mulai mendekat. Dia ingin menghindar tapi tidak bisa. Kakinya mendadak kaku seperti tertimbun oleh pasir pantai.

Saat bibir mereka mulai bersentuhan, Aksa memejamkan matanya erat. Perlahan sinar terang menerpa wajahnya yang membuatnya kembali membuka mata. Kali ini bukan pantai yang Aksa lihat, melainkan kamarnya yang masih gelap.

"Mimpi lagi," gumam Aksa mengusap wajahnya lelah.

"Kenapa jadi Era gede yang muncul?" Aksa mendesah resah dan masuk ke dalam kamar mandi. Dia butuh air dingin untuk menjernihkan kepalanya yang masih terbayang dengan Era yang menciumnya di dalam mimpi.

"Perasaan gue udah doa sebelum tidur, kok mimpinya tetep serem?" Aksa menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Kali ini dia tidak lagi menangis dalam mimpinya. Entah kenapa mimpi-mimpi sedih yang dia dapat hampir seminggu ini berganti dengan kebahagian.

Apa bisa Aksa menyebut mimpi itu sebagai mimpi bahagia?

Aksa keluar dari kamar dan menuju dapur. Dia membutuhkan air untuk membuatnya tenang. Duduk sendirian di ruang makan dalam keadaan gelap tidak membuat Aksa takut. Dia masih sibuk untuk menghilangkan ingatan akan Era yang menghantui mimpinya.

Sekarang Aksa sadar kenapa dia bisa tiba-tiba bermimpi tentang Era. Mimpi itu dimulai tepat seminggu yang lalu di mana dia bertemu dengan Era di sekolah. Mungkin itu bisa jadi kemungkinan.

Era. Aksa mengenalnya sebagai gadis kecil yang selalu memberikan es krim saat dia bersedih. Gadis itu dulu masih kecil, bahkan gigi ompong masih menghiasi wajahnya. Aksa tidak menyangka jika Era akan berubah menjadi gadis bar-bar seperti ini.

Pertemuan Aksa dan Era kecil hanya berlangsung sebentar karena tak lama setelah itu Aksa harus ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahnya. Sejak saat itu Aksa tidak pernah melihat Era. Tepat satu minggu yang lalu, dia kembali bertemu dengan Era. Tidak lagi sebagai anak kecil, tapi gadis remaja yang suka membuat ulah.

Aksa terkekeh pelan mengingat pertemuannya bersama Era yang tak pernah luput dari pertengkaran.

"Kayanya dia nggak inget sama gue," gumam Aksa pelan.

***

Sarapan berlangsung dengan riuh. Mendadak Bian tidak mau makan sendiri dan sibuk bermain pesawat terbang yang terbuat dari kertas.

"Bian, Sayang. Ayo makan dulu, jangan lari-lari. Nenek capek." Bu Ratna tampak kewalahan dengan tingkah Bian yang aktif.

Bian berhenti berlari dan membuka mulutnya untuk menerima suapan dari Neneknya. Setelah itu dia kembali berlari dan bermain.

"Kalau makan itu duduk Bian." Kali ini Aksa yang berbicara. Dia cukup pusing melihat anaknya yang berlari mengelilingi meja makan.

"Bian dapet pesawat baru, Pa. warnanya kuning. Kak Era yang buatin semalem." Bian tampak bahagia menujukkan mainan barunya. "Nanti pulang sekolah Bian ke panti ya, Pa. Mau ngerjain PR sama kak Era."

Aksa mengangguk dan membiarkan Bian kembali bermain. Anak seusia Bian memang susah untuk dijinakkan. Anak itu sedang aktif-aktifnya bermain dan mengekspresikan diri.

"Nanti biar aku yang jemput Bian ke panti," ucap Aksa pada Ibunya.

"Bagus, Mama mau pijet. Badan Mama sakit semua."

"Bian keliatan akrab banget sama Era," ucap Aksa tiba-tiba.

Tanpa disangka Bu Ratna tertawa. "Mereka itu udah kayak partner in crime. Sukanya malakin Mama es krim."

"Aku baru tau kalau Era itu Era yang dulu." Aksa tersenyum saat mengatakan itu.

"Lah, Mama pikir kamu masih inget Era, Sa. Kalian dulu juga suka malakin Mama es krim. Sekarang Bian yang gantiin kamu."

"Lupa, Ma. Lagian Era udah berubah sekarang. Dulu dia masih kecil kayak Bian, giginya ompong. Sekarang dia udah berani ngelawan."

Bu Ratna tertawa. "Era emang agak-agak sekarang. Tapi dia baik, sering bantu Mama jagain Bian waktu kamu masih tinggal di luar kota."

"Kayaknya Era nggak inget sama aku, Ma."

Alis Bu Ratna terangkat mendengar itu. "Masa? Tapi kalian kemarin keliatan akrab."

"Jangan diingetin ya Ma. Jangan sampai dia tau kalau aku itu Kakak Es Krim-nya."

"Terserah kamu. Mama nggak tau." Bu Ratna berdiri untuk menyusul Bian yang mulai keluar ke taman belakang. "Bian! Jangan jauh-jauh. Aduh punggungku! Nenek udah tua Bian jangan lari-lari."

***

Dari dalam mobil, Aksa bisa melihat Bian dan Era tengah berbaring di rerumputan halaman panti. Mereka berdua tampak serius dengan buku yang ada di depan mereka. Aksa menebak jika Era baru saja pulang sekolah jika dilihat dari seragam SMA yang masih dia pakai.

Aksa turun dari mobil dan mulai mendekat. Dia berjalan dengan pelan berusaha untuk tidak menimbulkan suara.

"Ini coba liat. Di sini sapinya ada 3, terus di sini juga ada 2, kalau digabung jadi berapa?"

Aksa bisa mendengar Era yang tengah mengajari Bian. Gadis itu terlihat menuntun jari Bian untuk membantunya berhitung.

"Jadi berapa totalnya?" tanya Era lagi.

"Lima!" ucap Bian semangat.

"Bagus, sekarang gambar sapinya lima. Di sebelah sini." Era kembali menuntun Bian.

Interaksi Bian Dan Era membuat Aksa tersenyum di belakang mereka. Benar kata ibunya, meskipun Era aneh dan bobrok tapi dia baik. Aksa bisa melihat jika Era begitu tulus mengajari Bian.

"Ayo sekarang tinggal tugas mewarnai." Era mulai membuka buku gambar. "Bian udah tau belum kalo warna putih sama merah dicampur jadi apa?"

"Jadi apa, Kak?" tanya Bian bingung. Wajahnya terlihat lucu dengan bibir yang maju.

"Jadi warna merah muda, Bian." Aksa menyahut dan ikut duduk di samping anaknya.

"Papa!" teriak Bian memeluk Aksa erat.

"Kecut, Bian belum mandi ya?" tanya Aksa mencium pipi Bian.

"Belum mandi, Pak . Tadi dimandiin Bu Asih nggak mau. Katanya mau mandi di rumah." Era menjawab.

"Makasih udah mau bantuin Bian ngerjain tugas sekolahnya," ucap Aksa.

Era tertawa dan mengibaskan tangannya. "Nggak masalah, Pak. Bian pinter kok, cuma kalo masalah warna aja dia bingung." Era mencubit pipi Bian gemas.

Tak lama datang penjual es krim yang sudah menjadi langganan anak-anak panti. Reflek Era dan Bian saling bertatapan. Era berdehem pelan sebelum menatap Aksa yang bingung dengan insteraksi Era dan Bian yang seperti bertelepati.

"Pak Aksa," panggil Era lembut. "Pak Aksa nggak mau traktir saya es krim?"

"Aku juga, Pa!"

Mendengar itu, Aksa menghela nafas kasar. Lagi-lagi Era bertingkah di luar dugaan. Tanpa membantah, Aksa berdiri dan mulai menghampiri penjual es krim.

"Yes!" Era dan Bian kompak ber-tos ria sebelum menyusul Aksa yang juga sudah memanggil anak-anak panti lainnya.

***

TBC

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel