Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Mimpi Aneh

Aksa membuka matanya saat merasakan elusan lembut pada pipinya. Matanya terbuka dan bertemu dengan mata bulat yang begitu indah. Anehnya, hanya mata itu yang bisa dia lihat, selebihnya hanya ada kegelapan yang menyelimutinya.

Aksa begitu terpaku dengan tatapan lembut dan polos itu. Perlahan perasaan gusar yang dia rasakan sedari tadi mulai menghilang tergantikan rasa tenang.

"Kakak jangan nangis. Kata mama kalau udah gede nggak boleh nangis." Suara anak kecil di depannya terdengar menggema.

Aksa mencoba meraih wajah lugu itu tapi tangannya seolah tertahan. Mata hitam itu seolah membuat Aksa terhipnotis. Bahkan untuk menjawab ucapan gadis kecil itu dia tidak bisa. Seolah ada beban yang menahan tubuhnya untuk melakukan sesuatu.

"Kalau kakak sedih makan es krim aja. Aku biasanya gitu kalau dimarahin mama, tapi jangan banyak-banyak nanti giginya ompong kayak aku." Lagi-lagi ucapan gadis kecil di depannya terdengar. Kali ini disertai kekehan yang bagitu merdu. Namun suara tawa itu perlahan menjauh membuat Aksa mengerang dan mencoba menggapainya.

Aksa berusaha untuk berteriak. Dia menggerakkan tubuhnya untuk berlari, tapi lagi-lagi usahanya tidak membuahkan hasil sampai akhirnya dia merasakan tepukan keras pada pipinya. Detik itu juga Aksa membuka matanya lebar dan tersadar jika semua yang dilihatnya hanyalah mimpi.

"Nek, Papa udah bangun!" Bian melompat bahagia dia atas kasur membuat Aksa berdecak dan menarik anaknya untuk masuk ke dalam pelukannya.

"Ya udah, kalau gitu Nenek bantu bibi bikin sarapan. Kalian berdua cepet mandi! Katanya mau ke pantai."

Perintah dari kanjeng ratu tidak membuat Aksa dan Bian bergerak. Justru mata mereka kembali terpejam sambil berpelukan. Bian yang awalnya sudah semangat untuk berangkat ke pantai harus kembali mengantuk di pelukan ayahnya yang hangat.

Hari minggu harusnya bisa menjadi waktu istirahat untuk Aksa. Namun dia sudah berjanji pada Bian untuk mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Aksa ingin menebus kesibukkannya akhir-akhir ini setelah menggantikan ayahnya. Bahkan semalam dia pulang larut karena harus menyelesaikan pekerjaannya agar bisa berlibur bersama Bian dengan tenang.

"Tadi Papa mimpi?" gumam Bian dengan mata terpejam.

Aksa hanya berdehem dan kembali mengeratkan pelukannya pada Bian.

"Tadi Papa nangis," ucap Bian lagi yang membuat Aksa membuka matanya lebar.

Dengan cepat Aksa bangkit dan melihat bayangan dirinya di depan cermin. Mata yang memerah dan basah seolah menjadi jawaban jika ucapan Bian benar adanya.

Dengan lemas, Aksa berbalik dan duduk di atas ranjang. Tangannya bergerak untuk mengusap wajahnya yang sembab. Ini bukan kali pertama Aksa menangis di dalam mimpinya. Entah kenapa selama seminggu ini dia sering dihantui oleh mimpi yang sama. Meskipun dengan jalan cerita yang berbeda tapi ada satu hal yang sama, yaitu mata bulat yang begitu menggemaskan. Aksa tidak tahu siapa pemilik mata itu, tapi yang pasti dia merasa kehilangan saat gadis kecil pemilik mata indah itu pergi menjauh.

***

Bian bertepuk tangan bahagia saat lobster besar yang dia tangkap sudah tersedia di hadapannya dalam bentuk makanan. Terlihat sangat lezat dengan makanan laut lainnya yang Aksa pesan.

Ekspresi yang Bian keluarkan berbanding terbalik dengan neneknya. Bu Ratna tampak meringis melihat makanan laut di depannya.

"Badan Mama ngilu liat ini, Aksa. Kenapa pesen banyak?"

"Bian yang minta tadi," jawab Aksa santai. Tangannya mulai meraih udang dan mengupas kulitnya untuk Bian.

"Siapa yang habisin? Mama takut kolesterol."

Aksa terkekeh, "Kalau nggak habis ya bawa pulang, Ma. Bisa dimakan lagi nanti."

"Nek, liat! Bian punya capit!" Bian tampak bahagia bermain dengan kepiting di hadapannya. Hal itu membuat Aksa dan Ibunya kompak mengukir senyum. Bian adalah sumber kebahagiaan mereka, tanpa ada pria kecil itu, hidup mereka akan sepi.

"Mama juga bisa masak lobster kan, Pa?" tanya Bian tiba-tiba.

Aksa berdehem dan mengangguk pelan. Dia melirik Ibunya yang juga menatapnya khawatir. Perlahan Aksa mengangguk untuk memberitahu bahwa dia baik-baik saja.

"Nanti kalau mama pulang, Bian mau minta dimasakan yang banyak." Bian merentangkan kedua tangannya dengan mulut yang penuh. Lagi-lagi Aksa hanya bisa tersenyum tanpa mengiyakan.

Bian masih kecil, belum saatnya Aksa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya berkata jika orang tuanya tidak akan lagi tinggal bersama dan Bian tampak bisa mengerti itu. Tentu saja dengan berbagai alasan dan kebohongan. Aksa hanya tidak tega jika mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya bahwa dia sudah berpisah dengan Renata, ibu Bian.

"Ayo, makan yang banyak lobsternya. Biar bisa hidup seperti lary." Bu Ratna tampak mencairkan suasana yang membuat Bian tertawa. Pria kecil itu semakin bersemangat untuk makan saat diingatkan dengan kartun favoritnya.

"Aku ke kamar mandi dulu ya, Ma. Titip Bian sebentar."

Kamar mandi adalah tujuan Aksa. Tidak, dia tidak ingin buang air. Dia hanya ingin menyendiri setelah mendengar pertanyaan Bian. Aksa pikir anaknya sudah lupa akan ibunya, tapi ternyata tidak. Biar bagaimanapun Aksa sadar jika Bian merindukan ibunya.

Aksa berdiri di depan wastafel dengan mata yang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Pinggiran mata yang begitu gelap menandakan jika dia kurang tidur. Tidak heran jika ibunya memintanya untuk lebih merawat diri.

Saat sudah cukup menyendiri, Aksa keluar dari toilet dengan menunduk. Langkahnya terhenti saat menabrak tubuh seseorang dengan cukup keras. Aksa terkejut saat melihat siapa yang ditabraknya. Perlahan tangannya terulur membantu gadis di depannya untuk berdiri.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Aksa dengan dahi yang berkerut.

Era mendengkus dan mengusap pantatnya yang terasa sakit. Rasa linu yang dia dapat saat kecelakaan dulu masih terasa dan sekarang dia mendapatkan serangan lagi, dan itu dilakukan oleh orang yang sama.

"Pak Aksa bisa nggak sih munculnya pas lagi enak gitu?" gumam Era tanpa sadar.

"Apa kamu bilang?"

Era dengan cepat menggeleng. Perlahan senyum menghiasi bibirnya. "Siang, Pak Aksa."

"Kamu ngapain di sini?" tanya Aksa lagi.

Era kembali berdecak saat mengingat tujuannya datang ke pantai ini. "Saya baru aja selesai ambil data, Pak," ucap Era mengangkat buku catatan yang dia bawa.

"Data?" tanya Aksa bingung.

"Seinget saya, ada yang majuin deadline hukuman karya tulis ilmiah, Pak. Makanya saya ke sini buru-buru."

Aksa tersenyum tipis mendengar sindiran Era. Gadis di depannya benar-benar luar biasa dengan sifat bebal dan beraninya.

"Kamu ambil topik pantai? Bukannya lebih enak kalau cari yang gampang mengingat deadline yang saya kasih udah besok?"

Era mengangkat bahunya acuh dan berbicara, "Saya suka pantai."

Aksa mengangguk mengerti. Dia tidak bisa melarang jika itu yang Era inginkan. Toh dia tidak ingin membatasi ide dan kreativitas anak didiknya.

"Gimana keadaan kamu?" tanya Aksa melihat tubuh Era yang sudah terbebas dari perban.

"Udah mendingan kok, Pak. Tapi pantat saya jadi linu lagi gara-gara tadi." Lagi-lagi ucapan frontal Era membuat Aksa terkejut.

"Maaf."

Era menggeleng dan tersenyum, "Nggak papa kok, Pak. Lagian saya yang harusnya minta maaf karena udah kurang ajar sama Pak Aksa."

Alis Aksa terangkat mendengar itu. "Kenapa kamu baru sadar sekarang?"

"Soalnya saya baru tau kalo Pak Aksa anaknya pak Wijaya," jawab Era jujur tanpa berbohong.

"Kamu kenal papa saya?"

"Kenal dong, Pak. Saya kan murid kesayangannya." Era menepuk dadanya bangga.

"Bisa-bisanya papa saya suka sama murid bobrok kaya kamu?" Aksa berucap sengit dan berlalu pergi dari hadapan Era.

"Bisa-bisanya papa saya suka sana murid bobrok kaya kamu?" Era mencibir sambil mengikuti ucapan Aksa dengan bibir yang maju. "Bobrok-bobrok gini juga punya piala, Pak. Lagian situ juga, ganteng-ganteng kok suka bikin naik darah."

Pak Aksa beneran butuh di-ruqyah kayanya.

***

TBC

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel