Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Harta

Di hari sabtu, Aksa memutuskan untuk bekerja di rumah. Jika biasanya dia bekerja di kantor setengah hari tapi kali ini tidak. Tidak ada yang menjaga Bian hari ini. Ibunya tengah pergi bersama teman-temannya untuk menjernihkan pikiran. Aksa membiarkannya, dia senang jika ibunya kembali beraktivitas seperti biasa.

Sebuah tarikan pada celananya membuat Aksa menoleh. Dia mendapati Bian tengah duduk di lantai dengan bibir yang maju. Melihat itu, Aksa menggendong Bian dan mendudukkannya di pangkuannya.

"Kenapa Bian?"

"Bian bosen, Pa. Mau main di luar," ucapnya kesal.

Sejak pagi Bian memang sudah berada di ruang kerja Aksa. Dia sudah bosan bermain lego yang dia mainkan sedari tadi. Bian ingin keluar dan berlarian ke sana-ke mari.

"Bian main di sini dulu ya. Papa nggak bisa awasin kalau main di luar."

Aksa sadar jika menjadi orang tua tunggal sangatlah sulit. Selama ini dia terbiasa hidup sendiri di luar kota dan orang tuanya yang menjaga Aksa. Saat kembali ke rumah ini, Aksa mulai merasakan betapa sulitnya menjaga anak aktif seperti Bian.

"Aku bosen, Pa. Nenek kapan pulang?"

"Nenek pulang nanti sore." Aksa mengelus rambut Bian sayang.

Bibir Bian semakin maju. "Bian mau ke panti, Pa. Main sama kak Era."

Alis Aksa terangkat mendengar itu. "Kak Era kan sekolah, Bian."

Bian menghentakkan kakinya kesal. "Bian bosen, Pa!"

Aksa menghela nafas lelah dan mulai berpikir. Dia tidak akan bisa fokus bekerja jika Bian terus merengek. Dia juga tidak bisa mengantar Bian ke panti karena harus bekerja.

Dengan ragu, Aksa mulai mengambil ponselnya. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi. Sepertinya Era masih berada di sekolah.

Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, akhirnya Aksa memilih untuk menghubungi Era. Aksa mendengkus saat Era menolak panggilannya pada dering pertama. Tidak ingin menyerah, Aksa kembali menghubungi Era. Kali ini Era tidak lagi menolak panggilannya.

"Ada apa sih, Pak? Saya lagi di kelas." Era terdengar berbisik di seberang sana.

"Ijin ke luar dulu, Ra." Mendengar itu, Bian melihat Ayahnya dengan maya yang berbinar. Ternyata Ayahnya yang menghubungi Era.

"Saya udah di luar. Ada apa, Pak?" tanya Era.

"Kamu pulang jam berapa?" tanya Aksa langsung.

"Jam 11. Kenapa?"

Aksa kembal melirik jam dan mengangguk. "Pulang sekolah langsung ke rumah saya. Bian pingin ketemu sama kamu."

"Kenapa nggak Bapak anter aja ke panti?" Aksa dapat mendengar nada enggan dari suara Era.

"Saya sibuk. Lagian kalau di panti saya nggak bisa awasin Bian."

Era mendengkus. "Bu Ratna ke mana, Pak?"

"Mama saya ke luar."

"Anter Bian ke panti aja lah, Pak. Saya mau nugas juga soalnya."

"Kamu bisa ngerjain tugas di rumah saya."

"Pak Aksa ih! Kok maksa."

Tanpa disangka Aksa tersenyum mendengar Era. Gadis itu selalu jujur dengan perasaannya. Jika sedang kesal maka Era akan menunjukkannya.

"Saya nggak maksa. Saya cuma mau minta tolong jaga Bian sebentar sampai mama saya pulang."

"Saya males ketemu Bapak."

Mendengar pengakuan itu, Aksa kembali terkekeh. "Saya punya makanan banyak di rumah."

"Nggak minat."

"Saya punya es krim banyak di kulkas."

"Saya bisa beli sendiri."

Aksa kembali tersenyum, "Ya udah, kalau gitu jangan marah kalau saya laporin semua tingkah kamu ke mama."

"Heh! Kok ngancem?!" Era terlihat semakin kesal dengan tingkah Aksa.

Aksa mengabaikan Era dan kembali berbicara, "Pulang sekolah langsung ke rumah saya. Nanti saya kirim alamatnya. Sampai jumpa, Era."

Setelah memutus panggilannya, Aksa mulai menatap Bian yang berseri-seri. Hal itu sedikit membuat Aksa cemburu. Bian terlihat lebih suka bermain dengan era dibanding dirinya.

"Kak Era mau ke sini, Pa?"

Aksa mengangguk, "Iya, nanti pulang sekolah kak Era ke sini. Sekarang Bian main sendiri dulu ya. Papa mau kerja."

"Siap, Bos!" Bian turun dari pangkuan Aksa dan kembali bermain lego.

Bian tidak sabar untuk bertemu dengan Era. Dia ingin meminta Era membuat kapal dari kertas lipat miliknya.

***

Era menatap ponsel dan rumah di hadapannya berulang kali, mencoba memastikan jika alamat yang Aksa berikan sudah benar. Era menggaruk lengannya bingung. Rumah Aksa begitu besar dengan pagar yang tinggi menjulang. Melihat itu, Era bingung untuk memasukinya.

"Permisi," ucap Era pada pos satpam yang terletak di samping pagar.

"Ya, Mbak?"

"Ini rumahnya Pak Aksa, Pak?" tanya Era hati-hati.

"Oh, Mbak namanya Mbak Era ya?" tanya satpam itu. Dia sempat diberi pesan oleh Aksa untuk membukakan pintu untuk gadis yang bernama Era.

"Iya, Pak. Saya Era."

"Udah ditunggu pak Aksa, Mbak. Silahkan masuk."

Pagar mulai terbuka dan Era semakin tercengang dengan rumah yang ada di dalamnya. Begitu luas dan megah. Namun rumah Aksa juga terlihat asri dan sejuk dengan tanaman di halaman yang tertata rapi.

Era mulai masuk dengan mengendarai motornya. Melihat halaman yang sangat luas membuat Era meringis. Dia yakin jika akan kelelahan jika berjalan kaki.

Pintu utama terbuka dan muncul Bian yang berlari ke arahnya. Era merentangkan kedua tangannya untuk menyambut pria kecil itu.

"Kak Era!" Bian tertawa saat sudah berada di pelukan Era.

"Hai, Bian. Apa kabar?" tanya Era menunduk untuk menyamakan tingginya dengan Bian.

"Bian bosen, Kak."

Era tersenyum. "Bian mau main apa?"

"Bian mau main bola, bikin kapal dari kertas, terus berenang!" Bian menarik tangan Era untuk masuk ke dalam rumah.

Era hanya mengangguk dan menurut. Matanya lagi-lagi dibuat takjub dengan rumah Aksa. Era merasa heran saat rumah sebesar ini hanya dihuni oleh tiga orang.

Saat sudah berada di ruang tengah, Bian berlalu untuk mengambil mainannya. Era bingung harus bagaimana sekarang. Apa dia sudah boleh duduk?

"Era?" Panggil Aksa yang tiba-tiba muncul.

"Pak Aksa," sapa Era mengangguk. Dia masih sedikit kesal denan pria itu karena mengganggu tidur siangnya di ruang kesehatan dulu.

"Akhirnya kamu dateng juga." Aksa tersenyum mengejek. Lagi-lagi senyum yang membuat Era kesal.

"Kalau nggak diancem, saya udah culik Bian ke panti."

Tanpa diduga Aksa tertawa. Dia berjalan mendekat dengan membawa sesuatu. Saat sudah berada di depan Era, Aksa memberikan es krim yang selalu tersedia di kulkasnya.

"Apa nih?" Mata Era menyipit melihat apa yang Aksa berikan.

"Buat kamu, ucapan selamat datang."

"Pak Aksa suap saya?" Era masih tidak yakin dengan kebaikan Aksa.

Mendengar itu, Aksa berdecak dan mendorong kepala Era pelan. "Kepala kamu isinya negatif terus."

"Kalau sama Pak Aksa saya nggak bisa berpikir positif. Tiap ketemu bawannya ngajak berantem mulu," ucap Era jujur.

Aksa tertawa mendengar itu. Dia menarik tangan Era dan meletakkan es krimnya di sana.

"Tolong jaga Bian, ya. Saya mau kerja dulu. Kalau ada apa-apa kamu panggil saya." Aksa menujuk ruang kerjanya.

Era mangangguk pelan. Perlahan senyumnya merekah saat melihat es krim di tangannya. Tidak ada makanan yang berhasil mengubah perasaannya menjadi lebih baik selain es krim.

Hal itu tidak luput dari pandangan Aksa. Dia ikut tersenyum melihat Era yang bahagia hanya karena es krim.

"Anggap aja rumah sendiri," ucap Aksa mengacak rambut Era sebentar sebelum berlalu ke ruang kerjanya.

Era menatap kepergian Aksa dengan bingung. Bagaimana bisa pria itu bertingkah menyebalkan dan baik di saat yang bersamaan?

***

TBC

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel