Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Pantai

Revan mengetuk pelan pintu kamar Anggia, lalu dia membukanya setelah ada izin untuk masuk. Revan melihat sekeliling, dan kamar Gia masih rapih. Pertanda kalau Gia tak melampiaskan sakit hatinya pada barang-barang di sekitarnya.

"Patah hatinya jangan lama-lama. Dia sama sekali udah gak mikirin kamu," ujar Revan. Gia yang sudah menahan diri sekuat mungkin akhirnya terisak lagi setelah mendengar kata-kata Revan barusan.

"Kenapa dia jahat sekali padaku, Kak? Dia bahkan berkata selalu ragu untuk melamarku. Dan dia mengatakan itu tanpa rasa bersalah sedikit pun," ucap Gia disela isak tangisnya. Revan menghela nafas mendengar itu. Dia lalu duduk di pinggir ranjang dan menatap adiknya tersebut dengan tatapan yang dalam.

"Kakak sudah memperingati kamu sejak empat tahun yang lalu. Tapi kamu selalu menyimpan harapan. Akhirnya? Ternyata dia memang tak ada niat serius denganmu," ucap Revan. Gia tak membalas, namun dia ingat apa yang dimaksud Revan.

Aksa memang selalu menunda untuk melamarnya dengan berbagai macam alasan. Alasan pertama, katanya mau menyelesaikan S1-nya dulu. Setelah lulus S1, alasannya adalah ingin dapat pengalaman kerja dulu. Setelah satu tahun kerja, alasannya yang selanjutnya adalah ingin mencicil rumah dulu. Dan sekarang, setelah cicilan rumahnya selesai, ternyata yang dilamar Aksa bukanlah Gia. Tapi wanita lain.

"Dia selalu saja buat alasan mengundur waktu untuk melamarmu. Dan ternyata akhirnya memang begini. Sejak awal dia tak niat serius denganmu," ujar Revan lagi. Gia masih tak bersuara dan kini menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Yang dikatakan kakaknya barusan memang benar. Sejak tahun-tahun lalu Aksa memang selalu membuat alasan saat Gia meminta pria itu untuk melamarnya.

"Masih banyak laki-laki yang mau sama kamu, Gia. Buka hatimu untuk yang lain. Jangan terus meratapi dia yang sudah tak peduli lagi padamu," lanjut Revan. Tangannya terulur untuk mengusap pelan kepala Gia. Revan sebenarnya kasihan juga melihat adiknya seperti ini. Tapi hati kecilnya merasa bersyukur Gia putus dari Aksa. Entah kenapa, firasatnya sebagai seorang kakak sejak awal kurang baik terhadap Aksa.

"Besok libur kerja kan? Kakak dan Meira mau main ke pantai. Kamu harus ikut," ujar Revan. Kepala Gia bergerak menggeleng pelan, sebagai jawaban kalau dia menolak ajakan kakaknya tersebut.

"Tak ada penolakan, Gia. Besok kita berangkat pukul sembilan pagi," ujar Revan dengan nada tegas, pertanda kalau dia tak ingin dibantah. Gia tak membalas. Dalam hati dia berteriak kesal pada seluruh keluarganya yang tak mengerti bagaimana sakit hatinya sekarang.

Move on. Move on. Terus saja mereka berkata seperti. Padahal kenyataannya melupakan kenangan selama tujuh tahun sangatlah sulit.

"Istirahatlah. Jangan sampai bangun kesiangan. Mungkin saja kamu ketemu jodohmu besok," celetuk Revan. Gia merengut kesal mendengar itu. Sedangkan Revan hanya tertawa. Sebelum pergi dari kamar Gia, dengan sengaja Revan mengacak-acak rambut Gia. Dan hal itu berhasil membuat Gia berseru marah.

***

Patah hati membuat semangatnya hilang entah kemana. Gia yang biasanya suka dengan pantai, kini terasa malas. Dia bahkan merasa kesal melihat Revan dan Meira yang mesra-mesraan di bibir pantai dengan ombak kecil yang menghantam kaki mereka. Oh sungguh. Apa dia diajak hanya untuk melihat kemesraan mereka?

Dari pada melihat hal yang membuatnya iri, mungkin memang lebih baik dia mengurung diri saja di kamar. Berada di pantai pun sekarang tak membuatnya merasa senang. Justru sakit hatinya bertambah karena dia jadi teringat kenangannya lagi bersama Aksa saat berada di pantai.

Sial. Gia merasakan sesak di dadanya lagi saat nama Aksa kembali muncul dalam benaknya. Gia sudah berusaha keras untuk tidak mengingat pria itu lagi. Namun jelas, semuanya tak akan selesai hanya dalam satu hari saja. Gia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa melupakan Aksa. Itu pun kalau dia bisa melupakan pria itu.

Saat sedang memperhatikan Revan dan Meira yang jauh darinya, Gia menyadari ada seseorang yang duduk di sampingnya. Dengan tatapan datar dan tak terlihat penasaran, dia menengok ke sampingnya.

"Hai. Apa aku mengganggumu?" Seorang pria berpakaian formal yang duduk di samping Gia langsung melontarkan pertanyaan saat Gia menoleh.

"Tidak. Ini tempat umum. Kamu bebas duduk di mana saja," jawab Gia dengan senyumannya yang dipaksakan. Setelah itu, Gia kembali menatap ke depan. Revan dan Meira menatap ke arahnya, dan Meira melambaikan tangan. Gia malas membalas lambaian tangan kakak iparnya tersebut. Namun ternyata, pria di sebelahnya lah yang membalas lambaian tangan Meira.

"Kamu kenal mereka?" Gia menengok dan bertanya. Oke, sekarang dia penasaran siapa pria yang melambai pada kakak iparnya barusan.

"Ya. Itu Meira, sahabatku. Sepertinya dia sedang bersama dengan suaminya," jawab pria itu. Mata Gia melebar untuk sesaat, merasa agak terkejut.

"Kamu kenal mereka juga?" Pria itu balik bertanya, ikut penasaran saat melihat reaksi Gia.

"Kak Meira adalah kakak iparku," jawab Gia singkat. Tanpa perlu di perjelas, pria di samping Gia tahu kalau Gia adalah adik dari suami sahabatnya.

"Benarkah? Wah kebetulan sekali ya." Pria itu terkekeh tak percaya. Mereka menatap ke depan secara bersamaan. Terlihat Revan dan Meira sedang berjalan beriringan mendekat ke arah mereka. Dan Meira terus menggandeng lengan Revan. Terlihat tak ada niat untuk melepaskannya walau hanya sedetik.

"Jeffan! Tak kusangka kita bertemu di sini. Kamu sedang apa di sini?" Meira bertanya dengan riang pada sahabat dekatnya yang bernama Jeffan tersebut.

"Menemani Anna. Ada temannya yang mengadakan ulang tahun di pantai ini." Jeffan menjawab.

"Biar kutebak. Kamu dijadikan gandengan adikmu sendiri?" Kini Revan yang bertanya. Jeffan tertawa pelan mendengar itu, namun dia juga mengangguk.

"Ya, beginilah resiko punya saudara perempuan yang semuanya jomblo. Selalu aku yang harus jadi pacar pura-pura mereka," jawab Jeffan disertai senyuman.

"Baguslah. Kamu jadi bisa sekalian mengawasi mereka," timpal Meira. Gia yang berada di sana hanya diam saja tak bersuara. Dia hanya menyimak saja. Dan Gia juga baru tahu kalau ternyata kakak iparnya memiliki seorang sahabat laki-laki.

Ah, secuek itu ternyata dirinya terhadap kehidupan kakaknya. Dia terlalu sibuk dengan hubungannya bersama Aksa hingga acuh tak acuh dengan sekitar.

"Hei, aku lapar. Sepertinya calon bayiku ingin makan sesuatu yang ada disekitar sini," ucap Meira dengan mata melihat sekitar.

"Ada sebuah pondok makan di sebelah sana. Dekat dengan tempat perayaan ulang tahun teman adikku," ucap Jeffan seraya menunjuk ke arah selatan. Meira tersenyum lebar mendengar itu. Dia lalu menatap Revan seolah meminta persetujuan. Dan Revan mengangguk.

"Tentu. Kita makan di sana saja." Revan berucap. Meira terlihat senang mendengar itu.

"Gia, Jeffan, kalian harus ikut kami," ucap Revan mengajak adik juga sahabat istrinya tersebut.

"Itu benar. Kalian harus ikut makan bersama kami. Lagi pula, kalian cocok. Sama-sama korban perselingkuhan dan ditinggal nikah juga," ujar Meira dengan santai tanpa mempedulikan respon berbeda dari dua orang yang dia maksud. Meira langsung menarik Revan untuk segera pergi dari sana. Sementara Gia dan Jeffan membisu.

Diselingkuhi dan ditinggal nikah.

Tragis sekali nasib mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel