Bab 2
Kejadian itu tak terlupakan olehku sampai kini. Saat pertama kali aku ngeh akan tingginya daya tarik seksual kakakku serta reaksi orang sebagai akibatnya. Kini, setelah tujuh tahun berlalu, ia masih tetap selalu menjadi pusat perhatian laki-laki. Daya tariknya tak hanya mengandalkan modal awal wajah cantik dan tubuh indah saja. Namun ia juga rajin menjaganya. Tak lama semenjak kuliah, ia selalu berolahraga secara rutin di fitness centre yang cukup punya nama. Bahkan kadang mungkin menurutku agak too much ya. Disamping itu juga ia selalu menjaga pola makannya. Sehingga bagian perutnya sama sekali rata tak ada lemak sama sekali (meski, ehem, bagian tubuh tertentunya terlihat cukup menonjol).
Kalau kulihat, boleh dibilang pancaran kecantikan dan daya tarik seksualnya justru semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pembawaannya jadi semakin matang dan lebih percaya diri. Tubuhnya jadi semakin indah karena terlatih dan terawat. Juga ia jadi semakin berani tampil sexy (apalagi semenjak kuliah). Bahkan kadang aku merasa ia seperti sengaja menggoda kaum lelaki dengan pakaian-pakaiarınya yang cukup menunjukkan lekuk liku keindahan tubuhnya.
Lalu bagaimana dengan aku, sebagai adik laki-lakinya yang tinggal serumah dengannya? Jujur saja, bahkan aku pun kadang sering dibuat "senat senut" oleh kakakku ini. Di dalam rumah saat kita sendirian, pada umumnya ia cukup cuek dalam berpakaian. Dari celana pendek dan kaus tanktop sampai daster tidur yang tipis menerawang, menjadi pemandangan sehari-hari bagiku. Kadang sepulang dari kuliah (dan belakangan setelah ia kerja), rok/celana bawahannya dilepas. la seliweran atau duduk lama nonton TV hanya dengan ed di bagian bawah dan pakaian atasan lengkap seperti itu. Sikapnya biasa saja seperti tak ada yang aneh. Saat menjelang tidur, kadang piyamanya terjuntai sampai ke pangkal paha tanpa bawahan. Kalau pas duduk seringnya cd-nya kelihatan and she doesn't bother that. Sikapnya biasa-biasa saja. Saat selesai mandi, kadang aku melihat dia keluar dengan tubuh hanya terbalut handuk saja. Ketika malam menjelang tidur cukup sering aku melihat ia braless di balik daster / piyama / baju kausnya. Membuat payudaranya yang memang lumayan padat berisi itu bergoyang-goyang di baliknya. Kadang malah puting payudaranya terlihat menyembul keluar.
Meski kadang aku suka penasaran membayangkan bagaimana seluruh tubuhnya saat ia fully naked, namun aku tak pernah melakukan tindakan atau bahkan membayangkan berbuat tak senonoh dengannya. Anyway, dia adalah kakakku sendiri.
Juga, jujur kuakui, sebagai kakak yang 3 tahun lebih tua dariku, aku sungguh kalah wibawa dengannya dalam segala hal. Selain itu, ia punya segala kelebihan dibanding diriku. Sejak kecil semua orang selalu memuji-muji kecantikannya ditambah dengan pembawaannya yang cenderung disukai banyak orang, juga prestasinya di sekolah cukup cemerlang, dan bla bla bla. Sebaliknyanya aku, wajahku biasa-biasa saja dan kulitku tak seputih dia. Aku cenderung agak kuper dan tak suka bersosialisasi. Prestasiku di sekolah biasa-biasa saja bahkan aku cenderung suka melamun dan larut dalam duniaku sendiri. Dalam pertemuan keluarga, kakakku selalu dibicarakan dan menjadi pusat perhatian semua orang. Sementara aku biasanya hanya diam menyendiri di tepi. Kadang aku justru lebih suka duduk di luar dan bermain-main dengan anjing selama berjam-jam. Biasanya, tak ada orang yang notice ketidakhadiranku sampai saat menjelang pulang. (Maaf, kok jadi curhat ya).
Balik ke topik, dengan keadaan psikis seperti itu, boro-boro perbuatan nyata.. aku bahkan gak punya nyali untuk berfantasi membayangkan aku berbuat sesuatu dengan dia. Namun tak dapat kupungkiri ada pikiran lain yang secara konstan menyeruak dalam diriku dan semakin lama semakin kuat intensinya. Aku jadi semacam "little cuckold" dengan suka membayangkan kakakku "digituin" oleh orang-orang yang kujumpai di dunia nyata yang terlihat mupeng kepadanya. Entahlah apakah ini adalah pelampiasan dari hasrat terpendam yang kutahu pasti tak akan terwujud, atau ini adalah akibat terlalu seringnya aku melihat reaksi orang-orang di dunia nyata terhadap kakakku, atau karena tingkat kepercayaan diri yang amat rendah dalam diriku, atau kombinasi semuanya. Yang pasti, ada rasa kepuasan tersendiri saat aku masturbasi membayangkan kakakku berhubungan seksual dengan orang-orang tak dikenal itu. Semakin rendah/tua/tak pantas/tak sepadan orang itu dengan kakakku, justru semakin nikmat rasanya.
dan menghampiri Papaku yang duduk di belakang meja.
"Siang Koh. Bisnis lancar?" beberapa anggota organisasi preman setempat tiba-tiba masuk ke dalam toko kami
"Ya lumayanlah," jawab Papa sambil mengeluarkan segepok uang dari laci meja.
"Makasih Koh," kata mereka yang kemudian berjalan keluar.
"Koh, minta ini satu ya," kata salah seorang.
Tanpa menunggu jawaban langsung diraih dan dibawanya satu kaleng cat warna krem.
Demikianlah kejadian rutin yang telah berlangsung lama. Setiap Jumat siang mereka selalu datang minta uang keamanan. Bagi pedagang / pengusaha kecil seperti Papaku ini, kepastian berusaha sangatlah penting. Untuk itu, ia tak segan mengeluarkan uang ekstra. Toh selama ini cuan yang ada masih mampu meng-cover itu semua. Suka tak suka, stigma "pedagang Cina" terlanjur kental dengan harta melimpah sehingga sering jadi sasaran permintaan sumbangan sana sini, baik yang resmi, semi resmi, atau uang keamanan seperti ini.
Keluarga kami bukanlah kelompok elit atau orang super kaya di kota kami. Namun kami termasuk kelompok menengah ataslah disini. Karni punya toko di jalan utama yang harga tanahnya sekarang cukup tinggi. Selain itu, kami tinggal di rumah yang cukup besar yang letaknya agak di pinggir kota. Sehari-harinya aku dan kakakku naik kendaraan antar jemput ke sekolah. Di rumah kami ada dua orang pembantu perempuan. Papa dan Mama bercerai saat kami masih agak kecil. Sesekali kami bertemu Mama yang telah menikah lagi dengan orang Singapura dan sekarang tinggal disana. Sementara sampai sekarang Papa tak menikah lagi.
Keluarga Papaku dulunya adalah orang yang kaya raya disini. Ayah dari kakekku adalah pedagang besar hasil bumi di jaman Belanda dan konon kabarnya adalah orang terkaya di kota ini. Namun sebagian hartanya dirampas ketika Jepang masuk. Ketika jaman proklamasi, ia adalah simpatisan kaum pejuang. Sejak dulu memang ia banyak berteman dengan semua golongan termasuk kalangan pejuang. Saat itu ia memiliki banyak rumah sepanjang jalan utama dan banyak dari rumah-rumah tersebut disumbangkan ke pemerintah setempat yang lalu dijadikan kantor pemerintahan dan markas militer,
Setelah meninggal, harta dan usaha dibagi ke anak-anaknya yang sebagian jatuh ke kakekku. Kalau menurut cerita yang kudengar, kakekku hanya mewarisi sebagian kecil saja sementara sebagian besar jatuh ke kakaknya yang paling sulung. Kini, toko yang sekarang dijadikan tempat usaha oleh Papa adalah sisa rumah yang diwariskan dulu.
Dulu waktu kecil aku sering mendengar kata-kata kakek," Kondisi sekarang ini sebenarnya nggak jauh beda dengan jaman Belanda. Kalau dulu golongan pertama adalah orang-orang Belanda, golongan kedua adalah kita-kita ini orang Timur Asing, Arab, Yahudi dan dil, golongan ketiga adalah kelompok pribumi. Sekarang, golongan pertama adalah pejabat-pejabat pribumi yang berkuasa. Kita masih tetap menjadi golongan kedua. Golongan ketiga masih sama yaitu mayoritas orang-orang pribumi yang tidak mampu. Kita adalah golongan menengah yang tidak punya akar kuat ke bawah juga tak punya sandaran kuat ke atas. Seringkali kita jadi sasaran kebencian kalangan bawah. Sementara bagi orang kalangan atas, kita hanya dijadikan alat saja. Mereka membela kita selama kita ada manfaatnya. Disaat sudah tidak berguna lagi, mereka tak peduli dengan nasib kita. Oleh karena itu, supaya bisa eksis kita harus kuat secara ekonomi disamping membina hubungan baik dengan semua pihak. Apabila kita kekurangan maka kita tidak akan dihargai bahkan dihina oleh semua orang."
Masa krusial bagi keluarga kami adalah saat tahun 60-an ketika paham komunis tumbuh berkembang di kota-kota kecil dan menengah, dan awal Orde baru. Karena saat itu keluarga kami diincar oleh kedua belah pihak.
Saat kaum komunis mendapat angin, mereka memusuhi orang-orang seperti kami yang dianggapnya kaum kapitalis. Selain itu juga mereka memusuhi banyak pemuka-pemuka desa yang memiliki tanah dan sawah luas yang beberapa diantaranya adalah relasi bisnis kakekku.
Setelah Orde Baru berkuasa, situasi berubah 180 derajat. Kaum komunis yang dulunya memburu jadi balik diburu. Pada jaman itu keluarga kami kembali dicurigai sebagai antek komunis karena ras kami sebagai orang-orang Tionghoa, meski mungkin ujung-ujungnya sebenarnya adalah urusan harta saja. Untungnya sebelumnya kakek menolong beberapa pemuka-pemuka desa yang cukup punya pengaruh saat mereka dulu dikejar-kejar kaun komunis. Dan kini mereka balik menolong kakek. Pada akhirnya keluarga besar kami tak pernah diganggu-ganggu lagi apalagi setelah kakek memberi sumbangan sukarela kepada penguasa setempat.
Jaman akan selalu berubah. Demikian pula dengan peruntungan kita. Hal itu terjadi pada keluarga kami. Sejak dari masa ayah kakekku sampai ke ayahku sekarang ini, boleh dikata terjadi trend yang menurun bagi peruntungan ekonomi keluarga karni. Kakekku bisa dibilang termasuk cukup kaya, namun kalah jauh dibanding ayahnya. Demikian pula dengan ayahku yang cukup lumayan namun beda level dibandingkan kakekku. Belakangan, dengan jaman yang serba digital dan online serta adanya perubahan lalu lintas di jalan tempat toko kami, usaha toko konvensional Papa semakin lama semakin menurun. Hal ini sangat mengubah gaya hidup keluarga kami.
"Koh, mana uang setorannya!" beberapa orang anggota organisasi preman yang sama masuk ke dalam toko dan berbicara dengan nada setengah membentak kepada Papaku yang duduk di belakang meja. Sikap mereka kini
jauh berbeda dibanding dulu ketika kami membayar secara rutin.
"Jangan bilang bisnis sepi lagi ya Koh. Itu bukan urusan kita."
"Wah tapi memang bisnis belakangan ini sepi banget. Hari ini aja ga ada satu pun orang beli."
"Kita ga mau tahu!" kata pimpinannya sambil menggebrak meja.
"Pokoknya mana uangnya!"
"Ok" jawab Papa sambil pasrah. Lalu dikeluarkannya segepok uang dari lacinya.
Lho apa-apaan ini! Masa jumlahnya cuman segini! Engkoh jangan main-main dengan kelompok kami ya!"
"Memang saat ini adanya cuman segitu. Lihat nih, ga ada duit sama sekali, cuman recehan," kata Papa sambil membuka lebar lacinya.
"Khan bisa ambil duit dari ATM. Atau Engkoh pengin kita obrak-abrik tempat ini!"
"Atau... kita gebukin anakmu itu," kata yang lain sambil menunjuk tangannya ke arahku. Aku yang saat itu berumur 14 tahun sungguh ketakutan.
"Hahahaha... kayaknya anakmu ini penakut ya. Ayo kamu berani ga berkelahi," kata salah seorang menantang
dengan tatapan mengejek ke arahku.
"Pasti ga berani lah. Wong tampangnya kayak banci penakut gitu."
"Hahahaha.."
Saat itu terjadilah hal yang tak kami harapkan. Karena tiba-tiba kakakku muncul dari dalam. Rupanya ia tak sadar
adanya kehadiran orang-orang itu disini.
"Eh, liat tuh."
"Wow!"
"Suitt.. suitt."
"Stefany, kamu masuk!" kata Papa.
Namun terlambat!
Salah seorang dari mereka telah berjalan mendekati kakakku.
"Ini anaknya ya Koh? Wah ternyata cantik juga ya anaknya. Heheheh."
"Bodinya sexy lagi."
"Dan dadanya montok."
"Hahahaha," mereka berlima tertawa terbahak-bahak. Mata mereka berlima menatap sekujur tubuh kakakku
seperti menelanjanginya.
Saat itu kakakku memakai pakaian yang biasa saja sebenarnya. Celana selutut dan baju kaos biasa. Namun memang wajahnya yang cantik dan kulitnya yang putih tak dapat ditiadakan daya tariknya. Juga kaosnya, meski tak terlalu ketat namun tak dapat menyembunyikan payudaranya yang memang lumayan berisi. Tentunya hal ini membuat orang-orang yang sebenarnya berjiwa bejat itu jadi semakin liar.
Saat itu kakakku (baru) berusia 17 tahun, Aku ingat persis karena itu saat liburan kenaikan kelas. Oleh karena itu siang itu kami berada di toko. Sementara mereka usianya sekitar pertengahan dua puluhan bahkan mungkin ada yang hampir tiga puluh tahun.
Namun kakakku tak terlihat takut. Bahkan ketika orang yang mendekatinya itu akan meraba pipinya, dengan cepat ja menyibakkan tangan orang itu. Seolah tak sudi orang itu menjamah dirinya.
"Aduh cantiknya dan mulusnya......
Plakkk! Belum sampai tangan iseng itu menyentuh wajah kakakku, telah tersibak oleh tangan kakakku yang
menampelnya dengan sekuat tenaga.
"Eh, kurang ajar kamu yah. Berani melawan!" tatapnya dengan pandangan marah. Membuat jaritungku seketika
berdegup keras. Karena kemungkinan terburuk dapat terjadi.
"Aku telanjangi disini baru tau rasa kamu!" hardik orang itu.
"Pingin diperkosa kamu yah didepan ayah dan adikmu!" tambahnya lagi sambil memandang dada kakakku
sebelum menatap matanya lagi.
Orang itu terlihat marah sekali. Matanya melotot seolah ingin menerkamnya.
Sementara kakakku juga tak terlihat takut. Ditatapnya balik orang itu dengan muka marah.
Untungnya, meskipun terlihat sangat marah, orang itu tak melakukan ancamannya atau melakukan sesuatu,
"Mas, tenang Mas. Ini khan masalah uang setoran. Kok jadinya mas mengancam putri saya yang masih anak-
anak," kata Papa yang di saat kritis maju dan menengahi.
"Stefany, kamu masuk dulu," katanya ke kakakku yang segera dituruti olehnya.
Sementara itu keributan ini rupanya mengundang perhatian orang di luar. Terlihat sejumlah orang menonton namun tak ada satupun yang masuk ke dalam atau berani ikut campur.
Entah karena merasa tak enak atau mungkin karena dilihat banyak orang, akhirnya mereka jadi agak melunak.
"Baiklah Koh, untuk minggu ini sementara segini cukup," kata pemimpinnya sambil meraih uang itu.
Tapi minggu depan setorannya harus dobel. Ingat itu! Dan awas! Jangan berani macam-macam kalau ga ingin
sesuatu terjadi kepada anak-anak Engkoh!" ancamnya.
"Kita tahu dimana rumah Engkoh. Juga dimana sekolah anak-anak Engkoh. Jangan sampai anak gadis Engkoh
tahu-tahu disakiti orang," tambahnya lagi.
"Minggu depan kalau ga bisa bayar, kita telanjangi aja anak gadisnya di tengah jalan biar dilihat oleh semua
orang!"
"Mending kita perkosa aja rame-rame. Lumayan tuh nyicipin anak juragan Cina."
"Hahahaha..."
"Yuk, kita cabut," kata pemimpinnya.
"Minggu depan anakmu tak encuk"!" kata laki-laki yang merusaha menjamah kakakku tadi sambil mengangkat
jari tengahnya.
Lalu ia melakukan gerakan memaju-mundurkan pinggangnya seperti sedang menggagahi wanita dengan
senyum mengejek ke arah Papa.
"Hahahahaha," teman-temannya tertawa melihat tindakan dan ekspresi wajahnya.
(*encuk disetubuhi, tak encuk artinya aku setubuhi)
Brakkk!!! Sambil berjalan keluar mereka mengayunkan tangannya sehingga barang-barang yang dipajang di etalase banyak yang jatuh berantakan.
Itulah kejadian enam tahun lalu dan penyebab kami secara mendadak dikirim ke ibukota.
Mungkin mereka hanya melakukan gertak sambal. Namun Papa tak ingin mengambil resiko terutama ancaman terhadap kakakku mengingat fatalnya konsekuensinya apabila sungguh terjadi.
Dua hari setelah itu, hari Minggunya aku dan kakakku meninggalkan kota kami dan menjejakkan kaki di ibukota yang amat asing bagi kami.
